Braaak
"Aww."
Gadis itu akhirnya kembali ke alam sadarnya. Ia memutar tubuhnya untuk hendak melangkah keluar. Namun langkahnya terhenti. Dengan sedikit tergesa-gesa ia membantu memunguti buku yang berserakan di depannya.
Senyum ia paksakan dengan mata memerah, Afma berikan tumpukan buku itu kepada lelaki di depannya. Tak ada niat untuk menoleh. Tetapi, ia mengenali postur tubuh ini dan kacamata yang dipegangnya.
Dagu Afma mulai terangkat tanpa komando. Air matanya sudah siap meluncur, namun masih berusaha ia tahan. Netranya mulai melihat sosok yang begitu ingin ia lupakan.
Akhirnya Afma tersenyum tipis. Walaupun sedikit dipaksakan, ia tetap melihat lelaki yang begitu susah ia musnahkan dari hati dan pikiranya, selama satu tahun belakangan ini.
Tangannya terus menggengam tas selempangnya. Tanpa kata, Afma keluar dengan air mata yang telah luruh di pipi. Ia berjalan cepat seraya mengusap kasar pipinya.
Sesampainya di pintu masuk aula. Afma mengamati keadaan sekitar. Ia berjongkok dengan lengan bajunya yang basah karena air mata yang tak kunjung berhenti.
"Kenapa tuh cowok harus muncul sekarang?! Sakiiitt," lirih Afma dengan menekan keras kedua dadanya.
...
Acara reuni berlangsung lancar. Afma dan Attar yang ada di barisan paling belakang bernapas legah.
Acara sudah setengah jalan, Afma belum melihat batang hidung Rika. Arika adalah sahabat Afma sewaktu SMA. Mereka dipisahkan tempat pendidikan.
"Mbak Afma." Teriakan itu membuat Afma dan Attar menoleh.
"Eh, sama satunya? Ups." Rika langsung mengatupkan mulutnya rapat saat Afma mengeluarkan pelototan andalannya.
Rika dan Afma langsung berlalu meninggalkan Attar yang saat ini sudah ditemani Ila-sahabat Attar dan Kafa.
Rika dan Afma berjalan memutari SMA. Kali ini berbeda dengan pertemuan-pertemuan mereka sebelumnya, Rika sekarang lebih banyak bercerita tentang pendidikannya. Tahun depan dia akan mengambil Ners. Afma cukup senang, karena Rika dan dirinya dulu adalah salah satu umat terpinggir di kelas.
Dua tahun lalu, tepatnya saat Afma baru saja jatuh dengan sahabat Attar. Sebenarnya ada satu rahasia yang belum Afma ceritakan pada siapapun, tentang first impressions Afma tentang lelaki yang mampu menembus relung hatinya.
"Kepada Pak Attar dan Bu Afma, silahkan naik ke podium." Rika langsung terjingkat. Dia menatap tajam Afma.
Afma langsung berlari menarik Rika. Dia sangat takut jika terjadi hal-hal yang sudah ia jauhkan dari pikirannya.
Sesampainya di aula, Afma dikejutkan dengan semua panitia sekaligus Attar sudah berada di atas podium. Kini dia menjadi pusat perhatian. Mungkin karena di acara penting ini, dia tidak memoles wajahnya sama sekali. Dan jangan tanya masker Afma berada di mana.
Tiba-tiba ada lelaki yang menyodorkan masker padanya. Belum sempat mengucapkan terima kasih, lelaki itu sudah berkumpul di kerumunan para alumnus.
Memang sudah dua tahun berturut-turut Afma turut memeriahkan perhelatan acara di MAAF. Walaupun dia harus berjuang izin kepada pengasuh pondok pesantrennya.
Afma menghembuskan napasnya panjang, acara sudah selesai dan ia hendak menuju stan makanan dengan Attar berjalan di depannya.
Tuuk
Kepala Afma terantuk di punggung Attar yang tiba-tiba berhenti berjalan. Ada sedikit gurat gelisah di wajah Attar. Sebenarnya itu terlihat sejak mereka baru masuk ke aula, tetapi Afma tidak berani bertanya. Sampai dering telepon memecah keheningan mereka.
"Iya wa'alaikumsalam. Gimana kondisi nya? Udah di CT Scan?" Afma cukup kepo dengan siapa yang dimaksud Attar dalam telepon.
Setelah beberapa menit Attar berbicara di telepon, Afma cukup peka untuk menyuruh Attar pulang duluan, tetapi Attar menolak.
"Ila tadi ke mana?" tanya Afma. Karena ia tak ingin hanya diam menyelimuti mereka di kantin sore ini.
"Ila nganter Kafa ke rumah sakit." Setelah menjawab pertanyaan Afma, Attar beranjak, tetapi Afma mampu membuat Attar berhenti dengan langkahnya.
"Kafa kecelakaan?"
"Lo tahu?" Afma kelimpungan. Entah naluri darimana, dia hanya menebak apa salahnya?
"Yaa nebak aja. Kamu dari tadi gelisah. Dan aku juga tadi dichat sama Edgar-"
"Lo dichat Edgar dan enggak bilang sama gue?" sulut Attar. Nyali Afma tiba-tiba menciut. Dia berjalan mundur kemudian duduk di kursi paling ujung.
"Ternyata lo lebih mentingin images ya? Kafa temen lo juga lho! Sebegitu bencinya lo sama Kafa sampai-" Attar tak melanjutkan ucapannya.
Dia baru menyadari bahwa Afma tidak menyahut sama sekali. Attar menoleh kebelakang, ternyata Afma sudah pingsan dengan turbuhaler digenggamannya.
Attar langsung menelpon Rika. Syukur saja kalau Rika masih di sini. Tapi ternyata Rika sudah pulang.
Attar yang hendak menelpon Nasha mendapat cekalan dari tangan Afma yang sudah sadar. Namun, napas Afma masih terhambat. "Afma kita ke rumah sakit."
Di mobil, fokus Attar terbagi pada jalanan dan Afma. Ia merasa sangat bersalah bila terjadi sesuatu pada Afma. Attar tak mengetahui jika Afma mempunyai riwayat asma.
"Attar, Kafa udah enggak kenapa-kenapa. Dia cuma lecet di lengan tangannya. Kamu bisa lanjutin acara. Goodluck ya. Maaf enggak bisa hadir." Sebenarnya gadis itu bicara panjang bin lebar di telepon. Tapi tak ia hiraukan, walaupun Anindita adalah kecengannya.
"Anindita tolong lo tanya sama Edgar, penanganan buat orang asma gimana?"
"Kenapa?" tanya Anindita di seberang sana.
"Nanti gue jelasin, cepat ya." Attar langsung mendengar suara Edgar saat ponsel itu dialihkan.
"Halo? Lo langsung posisikan duduk tegak. Terus suruh tarik napas panjang. Kalau ada in healer suruh hirup 30-60 detik sekali, maksimal 10 kali. Kalau ada teh hangat, kasih dia. Udah ya, gue masih banyak pasien nih."
"Eh, btw yang sakit asma siapa, Tar?" Attar langsung menutup telepon.Attar langsung melakukan apa yang diucapkan Edgar. Attar terus menyalahkan kondisi jalanan yang macet total disenja kali ini. Ia langsung menginjak kuat pedal gas saat jalanan sudah lenggang.
"Afma, gue minta maaf."
Next chapter...
TETAP JADIKAN AL QU'RAN SEBAGAI BACAAN UTAMA
jan lupa VOTE & COMMENT...
Yeyyy chapter tigaaa.