"Eh, maaf." Gadis cantik itu menunduk seraya memunguti buku-bukunya yang tergeletak di lantai kampus.
Dipagi yang mendung ini suasana hati Adonia Almas Salvina sedang tidak bersahabat. Dia terus saja menyatukan alis sesaat setelah moodnya dirusak.
Sementara seorang yang ditabrak Afma ikut tak enak hati, karena membuat beberapa lembar kertas yang sepertinya laporan tugas itu kini lusuh. Lelaki itu ikut berjongkok merapikan.
Afma kembali berdiri. Ia tersenyum pada lelaki itu. "Terima kasih." Dia tinggi juga ya, batin Afma. Namun, matanya dihentikan dengan jam tangan yang bertengger manis di pergelangan tangan lelaki itu.
Afma langsung memalingkan mukanya. Di dalam masker, tak henti mulutnya mengatakan praduga. Dulunya ia pernah bertukar kado dengan teman sekelasnya dan 1:33 jika lelaki itu mendapatkan kadonya.
"Mungkin dia pakai karena butuh, sayang banget kalau enggak kepakai. Dan jam tangan kaya gitu kan banyak."
"Eh, tapi kan gue pesan itu sesuai desain yang aku ingin." Hati Afma berkata.
Lelaki itu kemudian beranjak dengan sedikit anggukan kepala sebelumnya.
Afma melihat punggung lelaki itu. Hatinya tak karuan, seperti terbelah menjadi dua. "Syahdan Kafka Shahzaib?" gumamnya hampir tak terdengar dengan diiringi senyum yang bertengger manis.
---
Keesokan harinya, Afma memutuskan untuk pergi ke kampus. Walaupun libur semester, tetapi pondok pesantren yang Afma tempati, hanya memberi jatah 1 bulan liburan.
Sehingga saat ini Afma sedang duduk termenung sembari melihat pemandangan dari perjalanan keretanya. Tidak ada yang ia kenali selama hampir tiga tahun merantau ke kota pahlawan.
Sejujurnya, Afma cukup kerepotan saat harus membawa barang-barangnya sendiri. Tetapi independen girl sudah menjadi prinsip terdepannya.
"Haduh berat," keluh Afma. Matanya terus menjelajahi stasiun berharap ada satu keajaiban. Namun yang didapatinya adalah sesosok punggung lelaki yang begitu ia kenali, yang tercover kaos hitam.
Walaupun larinya agak dipaksakan, tetapi sebisa mungkin ia harus melewati lelaki yang sedang dikerubungi beberapa perempuan itu. "Gila! Buaya banget tuh orang."
Hampir tiga puluh menit sudah Afma duduk di motor ojek dengan panas matahari yang tak perlu diragukan lagi. Tetapi perjalanan kali ini terasa begitu panjang, padahal rutenya sama seperti perjalanan sebelumnya.
Entah kenapa di tengah cuaca yang panas ini, pikiran Afma turut panas akibat mengingat kejadian beberapa bulan lalu, siapa lagi kalau bukan berhubungan dengan lelaki pemilik punggung itu, lebih tepatnya sebut saja Kafa.
Akibat dari pesan tiket kereta mendadak, Afma memutuskan untuk bediri di gerbong daripada duduk tanpa alas di penghubung antar gerbong.
Namun hoki seumur hidupnya kali ini terpakai, ia kemudian mendapatkan tempat duduk. Seperti biasanya matanya akan memincing, menilai perangai orang sekitar. Bodo amat dikira jelalatan, lah dia sekarang pakai masker. Eits tapi apa hubungannya? Yang jelas, ia tidak perlu mearasa malu.
Matanya terus mencari mangsa. Sampai ia menemukan mata indah itu menatap ke arahnya. Tentu saja jantung Afma berdegup kencang tanpa diminta. Ia belum berani melihat ulang wajah yang begitu ingin ia lihat.
"Mirip sih? Tapi kan rumah dia jauh dari stasiun ya. Mana sama cewek lagi. Parah banget! Ngapain gue dulu suka sama modelan kayak gitu," batin Afma tak suka. Tetapi Afma sudah penasaran dengan itu, hingga ia kemudian melihat ulang dan ia menemukan senyum di sana.
Haduh, pikiran Afma kini bertambah pusing, saat ia sudah sampai di pondok pesantren, ia harus bolak balik guna menukarkan uang untuk ongkos ojek.
"Udah ketemu Kafa. Sekarang masalah uang. Gak ada hubungannya sih, ya kan tapi–" Afma tidak melanjutkan ucapannya. Tiba-tiba saja sudah ada manusia yang paling ia tunggu kedatangannya. Rindunya sudah menggebu walau hanya kurang dari tiga minggu mereka tidak bertemu.
Serindu ini ternyata, batinnya berucap.
Next part...
TETAP JADIKAN ALLAH QUR'AN SEBAGAI BACAAN UTAMA
Enjoy my story guisss...
Fyi, beberapa peristiwa di chapter ini dan all next chapter adalah kejadian nyata.