Segmen 6

66 6 0
                                    

Bandara Haneda siang menjelang sore itu cukup ramai. Maklum saja karena ini weekend, waktunya melakukan rehat jiwa dan raga. Para pelancong internasional berbaur ramai dengan penduduk lokal yang hendak melakukan penerbangan ke berbagai tempat. Pun mereka yang baru saja tiba dari berbagai wilayah, disambut dengan hangat oleh Haneda.

Tampak di salah satu pintu kedatangan luar negeri, seorang wanita cantik berjalan dengan gemulai. Postur tubuhnya yang tinggi dan langsing terlihat sempurna oleh balutan setelan nan elegan. Siang ini tubuh semampainya dibungkus dengan celana jin ketat, sweter turtleneck, dan long coat nyaman. Sementara kaki jenjangnya terbungkus boot cokelat keluaran rumah mode Gucci nan tersohor.

Wanita itu adalah Venus Gerritsen. Seorang wanita cantik keturunan the black country berusia 26 tahun yang baru pertama kali ini menjejakkan kaki di Negeri Matahari Terbit. Penampilannya yang mencolok, dengan rambut pirang stroberi, mata biru tanpa tertutup kacamata, dan wajah secantik Nicola Peltz, seketika mengalihkan perhatian orang-orang di sekitarnya. Fokus semua orang seolah berpindah mengikuti setiap meter langkah kakinya.

Dan Venus tahu persis bagaimana memanfaatkan pesonanya. Tanpa malu ataupun sungkan, Venus menjadikan jalan keluar bandara bagaikan panggung runaway untuknya, dengan dia berperan sebagai super model yang tengah berlenggak-lenggok memamerkan baju desainer papan atas dunia. Penuh percaya diri Venus berjalan. Sorot matanya tertuju lurus ke depan, tak mengacuhkan orang-orang yang menatapnya dengan penuh kekaguman.

Namun, sebelum Venus mencapai area luar bandara, seorang wanita cantik lain menghadang jalannya. Venus tertegun seketika. Sekejap Venus merasa terintimidasi dengan kecantikan wanita ini yang jauh melebihi dirinya. Mata Venus cepat memindai outfit wanita ini dan langsung mengenali berbagai merek mewah yang melapisi tubuh seksi itu.

Berbeda dengan Venus yang berpenampilan elegan nan glamor, wanita di depannya ini tak rikuh memamerkan tubuh seksinya dalam balutan kaos Chanel ketat berpotongan dada rendah, membuat payudara berukuran 34-C milik wanita ini terekspos dengan sangat indah.

Rambut cokelat wanita ini tergerai hingga pinggul, berombak bagaikan air laut yang berdebur tenang. Namun, di atas semua penampilan wanita ini yang terbilang seksi kasual, ada satu bagian tubuh dari sang wanita yang membuat Venus tak bisa mengalihkan pandangan.

Bagian tubuh itu adalah sepasang mata yang sangat indah. Venus baru pertama kali melihat bola mata biru kehijauan seindah itu. Sepintas Venus bagai diingatkan dengan mata penyihir yang penuh aura mistis. Mata wanita ini seolah mampu berbicara dan memiliki kemampuan membaca hati siapapun yang diinginkannya.

Berhubung Venus-lah yang berada tepat di depan wanita ini, dia merasa ditelanjangi hanya dengan sorot tajam mata biru kehijauan itu. Hati Venus mendadak gelisah. Namun, sekuat tenaga dia tutupi kegelisahannya dengan senyum ramah tersungging lebar di bibir.

"Miss Gerritsen?" Wanita itu menyapa. Suaranya halus dengan aksen Amerika yang kental.

Venus terkejut saat mengetahui wanita itu mengenal dirinya. "Ya, aku. Siapa kamu?"

Wanita itu tersenyum tipis. Venus cemberut dalam hati. Bahkan senyum wanita ini juga sangat memukau. Dia terpaksa mengakui kekalahannya kali ini.

"Aku Kathleen Denise Fox. Kamu bisa memanggilku Kathleen."

Kathleen mengulurkan tangan sebagai isyarat perkenalan.

"Halo Kathleen." Venus membalas uluran tangan Kathleen.

"Aku perwakilan Safety Global Rossier. Mari, ikut denganku. Aku akan mengantarmu ke apartemen."

Bola mata Venus membulat. Otaknya langsung berputar mengirimkan ingatan tentang profil perusahaan penyedia jasa layanan keamanan terbesar di dunia ini. Salah satunya adalah Tim Sembilan yang sangat legendaris karena mereka adalah cikal-bakal berdirinya Safety Global Rossier.

Dan sekarang, salah satu anggota tim ada di hadapannya. Bahkan secara khusus menjemputnya. Ini benar-benar peristiwa luar biasa. Belum apa-apa Venus sudah merasa besar kepala.

"Oke, terima kasih untuk bantuannya." Venus tersenyum cerah.

Kathleen melirik koper di belakang Venus. "Hanya itu bawaanmu?"

"Ya, Kathleen." Venus mengangguk.

"Kalau begitu, ayo pergi."


Kathleen berjalan lebih dulu. Dari belakang, Venus mampu melihat dengan jelas bagaimana pesona Kathleen secara telak mengalahkannya.

Kathleen berjalan mantap, pandangannya lurus ke depan, tak mempedulikan orang-orang yang terus melihat ke arahnya. Bahkan Venus curiga, wanita itu malah tak menganggap sama sekali pandangan penuh pemujaan dari kaum adam dan hawa yang berpapasan dengannya.

Belum cukup sampai di situ kekaguman Venus, di luar bandara ternyata sudah menunggu sebuah Lamborghini Huracan biru metalik. Venus tak bisa menyembunyikan kekagetan sekaligus ketakjubannya melihat mobil super mewah yang jelas-jelas difungsikan untuk menjemputnya.

"Silakan masuk." Kathleen membuka pintu mobil. Lincah dia mengangkat koper Venus dan menghempaskannya ke bagasi.

Venus dengan cepat beradaptasi pada kemewahan ala Lamborghini. Apalagi Kathleen tak terlihat cukup telaten mengkondisikan mobil di kecepatan rendah. Begitu mesin menyala, wanita itu langsung menggeber gas kencang.

"Kuharap besok kamu siap bekerja." Kathleen berkata di sela kegiatannya mengendalikan sang lamborghini.

"Tentu saja. Aku siap kapan pun kalian inginkan." Venus berkata penuh semangat.

"Bukan kalian, hanya Angela," ralat Kathleen. Suaranya datar tanpa balutan emosi. Namun, tetap tersirat nada dingin di suara merdu itu.

Dan Venus cukup cerdas untuk mengenali nada dingin itu. Alarm di hati kecilnya mulai menyala. Dugaan Venus, tak semua Tim  Sembilan menyukai kehadirannya. Pasti sikap mereka berbeda jika dirinya hanya menjadi pegawai biasa. Venus berprasangka. Tapi dia sudah bertekat untuk bertahan di Safety Global Rossier. Apapun cara dan resikonya.


Perjalanan darat mereka dipangkas lebih cepat oleh Huracan. Matahari belum tergelincir ke barat saat mobil berhenti di depan sebuah gedung apartemen. Kathleen turun diikuti Venus. Tanpa banyak bicara, wanita itu memasuki gedung apartemen dan membawa Venus naik ke lantai tiga.

"Selamat datang di apartemenmu." Kathleen menyerahkan selembar kartu tebal pada Venus.

"Segera ganti password apartemenmu dengan yang baru. Di dalam sudah tersedia fasilitas untuk kamu gunakan bekerja besok."

"Kamu tak mampir?"

"Tidak." Kathlen menjawab pendek. Dia berbalik dan sudah bersiap pergi saat Venus menghentikan langkahnya.

"Emm ..., Kathleen?"

Kathleen berbalik. "Ya, Miss Gerritsen?"

"Kamu bisa memanggilku Venus saja."

"Aku lebih nyaman dengan Miss Gerritsen," kata Kathleen datar.

Venus mengerang dalam hati. Dasar wanita menyebalkan!

"Apakah CEO juga tinggal di sini?"


Kathleen mengernyitkan dahi. Matanya menyorot dingin. "CEO?"

"David Gerald Rossier," kata Venus cepat.

"Tidak, CEO tidak tinggal di sini." Kathleen mengernyitkan dahi. Dia menatap wajah wanita di hadapannya saksama.

"Oh!" Venus berujar kecewa.

"Apartemen ini sangat dekat dengan rumah sakit tempat Angela dirawat. Kamu bisa mudah berkoordinasi dengan Angela." Kathleen mengabaikan suara Venus.

Alih-alih menunjukkan di mana David tinggal, Kathleen justru menjelaskan fakta bahwa Venus berada cukup dekat dengan Angela.

Garis batas sudah ditetapkan. Kathleen dengan gamblang menjelaskannya pada Venus. Supervisornya adalah Angela. Venus tak ada urusan sama sekali dengan CEO.

"Terima kasih." Venus berucap lirih.

"Sama-sama."

Kathleen segera pergi dari hadapan Venus. Meninggalkan wanita itu seorang diri di koridor apartemen yang hening. Venus menimang kartu tebal di tangannya. Di sana tercetak password pembuka pintu apartemen.

Apartemen Venus menyenangkan. Dekorasinya campuran antara shabby chic dan rustic. Elemen pastel dan vintage bertebaran di mana-mana. Venus serasa menjadi ultra feminin hanya dengan duduk di sofa ruang tamunya saja.

Di atas meja ruang tamu tergeletak sebuah amplop putih tebal. Venus melongok dan mendapati kunci mobil berlogo Toyota, kartu parkir, dan dua lembar kartu kredit unlimited. Wanita itu tersenyum puas. Sejauh ini penyambutan untuknya menyenangkan meski tanpa kalungan bunga atau taburan confetti.

Venus tersenyum. Waktunya melakukan pembelanjaan perdana dengan kartu kreditnya. Setelahnya beristirahat agar dia punya penampilan super segar untuk bekerja besok.

***





Aveolela • TAMAT •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang