1. Bayangan Bapak

24 4 10
                                    

Pagi-pagi sekali, saat matahari baru saja naik ke permukaan, sebuah rumah yang hampir koyak termakan usia yang diapit diantara rumah-rumah nan mewah dengan mobil-mobil mahal yang terparkir di garasi itu sedang kedatangan seorang tamu laki-laki berbedan besar dengan baju kemeja biru yang rapi dan terlihat licin.

Rumah itu tampak tua dibandingkan rumah-rumah di sekelilingnya. Belum lagi dengan lumut yang menempel di tembok-tembok bercat abu-abu, dan atap bolong yang setiap malam sering kali digunakan sebagai tempat bermain para anjing dari rumah sebelah. Anjing-anjing yang bermain di atap genteng rumah itu sering kali tidak punya adap kesopanan. Tiap malam, dia membuat kegaduhan di atas genteng rumah koyak itu sampai dia membuat sang suami-pemilik rumah itu-tidak betah untuk tinggal berlama-lama di rumahnya sendiri. Sang istri pun ikut kesal karena suaminya yang tak pernah pulang, bahkan tidak pernah memberinya uang dan membiarkan keluarga kecilnya hidup menggelandang.

Namun pagi ini saat rumah yang biasanya sunyi itu kedatangan tamu, istri dari suami pemilik rumah itu keluar dan membukakan pintu untuk menemui tamunya yang sudah mau singgah di rumah bau kencing tikus, dan bercampur kotoran anjing, serta campuran bau lumut juga air hujan.

Perempuan itu dengan wajah galak sambil menggendong anaknya menatap kedua laki-laki itu yang sudah menahan napas sejak sepatu mengilat mereka menginjakkan kaki di rumah koyak yang bau pesing hewan.

"Mau mencari siapa kalian ini, ha!?" tanya perempuan itu dengan kedua tangan yang satunya lagi berkacak pinggang dan tangan satunya menggendong anak perempuannya.

"Cari pemilik rumah ini. Kami orang PLN mau menagih hutang karena pemilik rumah ini belum membayar tagihan listrik."

"Saya pemiliknya. Lantas kenapa jika kami sekeluarga belum bayar listrik? Mau apa kalian?"

Petugas itu geleng-geleng kepala mendengar tajam dan tegasnya suara perempuan di hadapan mereka, "Kalau tidak bayar, kami akan matikan listrik di rumah ini!"

"Oh, oh, kau mengancam rupanya? Silakan saja matikan. Matikan saja hidupku dan anakku juga!"

"Anda harus bayar tagihan listrik bila tidak mau listrik di rumah ini mati!"

"Alamak!" Perempuan itu berdecak mendengar ucapan petugas PLN, "Heh! Bagaimana aku mau bayar listrik jika sudah sebulan suamiku tidak memberikan nafkah padaku dan anak perempuanku ini. Kau tau? Aku ini sedang susah! Anakku sudah sebulan tak aku belikan susu. Dia minum air putih saja sebulan ini dan air putih kami akan habis sebentar lagi. Terpaksa aku memakai rebusan air keran untuk memberinya minuman."

Sang petugas yang satunya lagi, yang memiliki kumis tebal dengan tampang tak peduli mengibaskan tangannya di hadapan perempuan itu, "Aku datang ke sini untuk menagih tagihan listrik, bukan untuk mendengar curhatanmu. Anak dan istriku di rumah juga butuh makan!"

"Sudah kubilang aku tidak punya uang. Kalau mau berikan aku pekerjaan, baru nanti aku akan membayar tagihan."

"Aduh, mau menagih malah dia yang minta kerjaan!"

"Habisnya bagaimana? Lagian lonjakan tagihan listrik gak kira-kira naiknya. Melonjak sampai jutaan. Kalau begini terus semacam dijajah aku oleh bangsaku sendiri!"

"Sudahlah, kami tak mau tau! Pokoknya kami kasih waktu dua hari lagi. Kalau belum juga kau bayar, kami akan matikan listrik di rumah ini."

"Matikan saja! Aku dan anakku tak takut gelap."

Dua petugas itu akhirnya mau pergi dari rumah koyak dan bau lumut yang semakin lama semakin menyengat, ditambah bau kencing dari popok anak perempuan yang baru berumur tiga tahun itu. Syukurnya anak itu hanya diam sambil mendengarkan ibunya berbicara dengan petugas PLN. Mata anak itu masih sejernih pikirannya yang tidak tau menahu akan kesalahannya ketika setiap malam ia mendengar tangisan dari ibunya yang memukul lemari dengan kakinya, atau memukul bantal dengan tangannya sambil berteriak kencang seperti kesetanan.

Tidak seperti anak-anak lain, anak itu tampak pendiam dan tak banyak bicara. Biasanya ketika para asisten rumah tangga membawa anak majikannya pergi ke taman, anak itu hanya termangu sambil melihat anak seusianya mengemut permen beraneka rasa dari tangan mungil mereka. Anak itu yang hanya bisa menjilati bibir bawahnya sendiri dari keinginan untuk bisa mencicipi permen beraneka rasa itu.

Ketika malam tiba, dan suara tonggeret sudah tiada, ibunya kembali berteriak dan memukul bahkan memecahkan apa pun. Sedangkan anak itu masih dengan tatapan polosnya hanya diam sambil melihat ibunya yang sudah mulai hilang kewarasannya. Anak perempuan itu berlari mengelilingi kamarnya dengan kakinya yang kecil dan tubuh mungilnya yang bau masam karena seharian belum dimandikan oleh ibunya. Popoknya yang sudah penuh bahkan belum diganti sejak pagi.

"Mau pelmen stobeli, mau pelmen coklat, mau pelmen ijo sama gula-gula. Ibu...mau pelmen."

Anak perempuan itu menarik baju kebesaran dan rombeng milik sang ibu dengan pandangan mata memohon untuk diberikan permen atau gula-gula yang dia inginkan. Hanya saja sang ibu malah menepis tangan anak untuk menjauh darinya.

"Minta pada ayahmu!" tukas perempuan itu dengan wajah galak.

Tumbuh Duri Dalam Tubuh AnakmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang