2. Aku Jadi Apa Yang Kau Suka

11 1 2
                                    

Jakarta, 2010

Gadis berusia sepuluh tahun yang kini sedang pura-pura tertidur itu punya memiliki nama Seruni. Matanya redup, ekspresi wajahnya penuh kesedihan seperti ada beribu beban yang ia tanggung dalam punggungnya yang setipis tripleks dengan tulang-tulang yang menonjol di setiap lekukan tubuhnya. Tubuh kurusnya mirip papan penggilas cucian, rambutnya yang panjang dan berponi itu seperti membungkus tubuhnya yang ringkih. Bola mata Seruni bergerak-gerak, meski matanya tetap terpejam. Hidungnya kembang kempis dengan napas yang memburu seperti dikejar-kejar penjahat. Seluruh tubuhnya ditutupi selimut, satu-satunya cara agar ia bisa tidur nyenyak tanpa merasa ketakutan dengan apa yang terjadi di sekitarnya.

Tadi sebelum ibunya memaksanya untuk tidur duluan sedangkan ia masih takjub di depan pintu rumahnya kala melihat ayahnya yang tak ditemuinya selama tiga bulan itu akhirnya pulang dengan keadaan setengah sadar. Ayahnya berjalan sempoyongan dan memeluknya sambil mengguncangkan tubuhnya sampai ia sesak napas karena menghirup bau napas ayahnya yang tidak mengenakan. Bau asing yang membuatnya ingin muntah. Ibunya yang tau anaknya kesusahan bernapas itu akhirnya memaksa suaminya untuk melepaskan anaknya, dan perempuan itu akhirnya menyuruh anaknya tidur lebih dulu sambil mengunci pintu kamar agar anaknya tidak mengintip pertengkaran kedua orang tuanya lagi, bahkan untuk yang kesekian ratus kali.

Meskipun Seruni tidak bisa mengintip pertengkaran antara ayah dan ibunya, ia tetap bisa mendengar suara ibunya yang ribut dengan ayahnya sambil menangis dan berteriak-teriak. Tentu ia bisa mendengarnya dibalik tripleks tipis yang menjadi pembatas antara ruang tamu dan kamarnya. Suara tangis ibunya dan amarah ayahnya itu yang justru kerap menjadi nyanyian pengantar tidurnya. Anak gadis berumur sepuluh itu selalu waspada jika tangisan ibunya mulai berubah menjadi teriakan, takut-takut ibunya mengusir ayahnya dari rumah atau justru ayahnya-lah yang mengusir dia dan ibunya dari rumah.

“Dasar laki-laki gatau diri, kamu mabuk di depan anakmu! Kurang ajar!”

“Sialan! Baru pulang bukannya disambut malah dimaki!”

“Pergi saja kamu! Pergi!”

Seruni semakin memejamkan matanya rapat-rapat kala suara dentuman keras seperti hendak menjebolkan pintu kamarnya. Dengan terkejut Seruni bangun dari tidurnya dan melihat ayahnya yang muntah di kasurnya. Mata anak gadis itu hanya menatap jijik muntahan sang ayah, lalu ibunya mengangkat tubuhnya untuk keluar dari sana. Mereka berdua bermalam di ruang tamu yang atapnya sudah jebol. Saling memeluk satu sama lain ketika racauan ayahnya terdengar seperti petir yang saling bersahut-sahutan. Membuat rumahnya yang biasa terdengar nyanyian hangat ibunya berganti menjadi makian ayahnya.

Ketika pagi tiba, ayahnya sudah tidak ada lagi di rumah. Ibunya pun berangkat untuk kerja menjadi tukang sapu jalanan yang hanya mendapat tiga ratus ribu per bulan. Karena ini hari minggu, dan ibunya sudah bekerja, Seruni dititipkan oleh ibunya ke rumah tetangganya yang berasal dari Bali. Orang-orang sekitar memanggilnya Bu Jero, meski nama aslinya adalah Ni Luh Mega Astina Pura. Katanya, alasan mengapa orang-orang memanggilnya Bu Jero karena dia menikah dengan laki-laki berkasta bangsawan yang digunakan orang Bali untuk keturunan kerajaan (seperti Cokorda, Anak Agung, Gusti). Sedangkan Bu Jero sendiri adalah orang ‘sudra’ atau orang biasa saja yang tidak berkasta. Secara otomatis ketika ia menikah dengan orang brahmana atau yang berkasta bangsawan, namanya juga akan menyandang titel kasta yang biasa dipanggil ‘Jero’.

Bu Jero adalah perempuan anggun dan ramah bagi Seruni. Perempuan itu memiliki wajah keibuan dan bingkai wajah berbentuk hati. Senyumnya selalu tulus dan bersahabat, dia juga selalu loyal membelikan Seruni mainan seperti yang dimiliki anak tetangganya yang lain. Namun yang paling Seruni suka adalah wangi rambutnya yang tipis dan panjang. Wanginya seperti bau dupa atau bunga cempaka.

Biasanya, Seruni akan melihat Bu Jero mebanten di sanggah rumahnya, bibirnya akan berkomat-kamit dengan kedua tangan mengatup di atas kepala dengan ujung jarinya memegang sejumput bunga Jepun. Di hari penting bagi umat Hindu, yaitu Galungan dan Kuningan, biasanya rumah Bu Jero akan ramai orang berkunjung yang nantinya akan ada banyak buah di sana yang biasa Bu Jero bagi untuk Seruni dan ibu.

Tumbuh Duri Dalam Tubuh AnakmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang