5. Pergilah Untuk Kembali

6 0 0
                                    

Ini hari pertama Aurora tinggal di tempat asing yang begitu ramai. Berkumpul bersama orang-orang yang menyayanginya, namun justru membuatnya canggung dan merasa dibuang oleh keluarga kandungnya. Atau dia memang dibuang karena orang tuanya terlalu lelah membiayai kehidupan anak semata wayangnya yang tak banyak menuntut itu. Aurora tinggal bersama keluarga angkatnya, dan ayahnya tidak terlihat kehilangan bahkan justru merasa lega karena dia tidak punya beban lagi untuk membiayai kehidupan sang anak. Karena sikap ayahnya itulah, Aurora menaruh kebencian yang mendalam. Ayahnya yang tak pernah bertanggung jawab padanya, apalagi dengan sang ibu yang akan merasa kesepian karena anaknya akan tinggal bersama orang tua angkatnya.

Dalam hatinya, Aurora berjanji akan membawa ibunya pergi sejauh mungkin dari ayahnya yang tidak pernah mengambil peran sebagai seorang ayah. Aurora selalu bingung dengan peran ayahnya. Dia punya ayah, tapi tidak pernah merasa memilikinya. Pikiran jahat Aurora selalu berpikir mengenai apa manfaatnya memiliki seorang ayah jika ayahnya tidak bisa memikul tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga. Setidaknya, sebagai suami yang baik kepada ibunya.

Aurora menangis lagi malam ini, kangen pada ibunya. Aurora selalu berpikir tentang ibunya, sedang apa dia di rumah, siapa yang akan menemaninya, siapa yang akan merawatnya jika sakit, dan siapa yang akan mendengarkan cerita-cerita ibunya selain dirinya. Mengharapkan ayahnya adalah hal paling mustahil dalam hidupnya. Dan fakta bahwa ibunya begitu mencintai ayahnya adalah satu hal yang membuatnya semakin benci pada sang ayah.

Pernah, suatu kali ketika ia pulang sekolah dan ayahnya mengucapkan kata-kata sinis padanya, ia marah dan berteriak sampai ayahnya melemparinya kamus besar dan membuat kepalanya berdarah dan terasa pening tak karuan. Saat itu, baru pertama kalinya Aurora melihat ibunya memarahi ayahnya dan membelanya. Ibunya bahkan mengajaknya pergi dari rumah dan membiarkan Aurora menggelandang di mall tempat ibunya bekerja. Kenangan yang menyedihkan ketika Aurora mengingat dirinya yang menangis di toilet mall sampai membuat antrean panjang dan tatapan orang-orang yang menatapnya tajam saat dia keluar dari toilet dengan hidung memerah dan mata bengkak.

Ketukan pintu di kamarnya membuat Aurora langsung menghapus sisa air matanya dan berderap membuka pintu kamarnya untuk sang ibu angkatnya. Ibu angkatnya memberikannya makan malam sambil ikut makan bersamanya. Aurora hanya diam dan memperhatikan wajah ibu angkatnya yang rela menerima dirinya meski ibu angkatnya sendiri punya dua anak yang akan menjadi adik angkatnya juga.

"Besok sudah siap sekolah?"
Aurora mengangguk.

Ibunya menatap tas sekolah dan beberapa perlengkapan sekolahnya yang sudah ia tata rapi. "Apa ada yang kurang?" tanya sang ibu lagi.

"Tidak. Sudah lengkap semua."

"Oh, aku lupa kau tak punya laptop, kan?"

Aurora menggeleng. "Tapi aku tidak terlalu membutuhkannya."

"Tidak. Kau harus punya. Kudengar dari Ibumu kau menulis? Nah, pakai saja laptop yang akan kuberikan. Dan ingat, kau tidak boleh menolak pemberian dari Ibumu ini, kan?"

Secara terpaksa Aurora menuruti perkataan ibunya angkatnya itu dan membiarkan ibunya pergi dari kamarnya sedangkan dia sendiri hanya termangu di tempat tidurnya. Tak lama ibunya kembali lagi dengan laptop yang akan menjadi miliknya. Dengan sungkan Aurora mengucapkan terima kasih dan ibu angkatnya mencium keningnya singkat sebelum kembali pergi. Aurora membuka laptop itu, tampa ia sadar matanya bahkan menatap takjub barang yang sudah lama ia inginkan dan sudah lama dijanjikan oleh ibu kandungnya yang tak kunjung dikabulkan.

Aurora menghela napas saat ia melihat foto keluarga ibu angkatnya dengan suaminya dan dua anak perempuannya. Kini ibu angkatnya memiliki tiga anak perempuan. Aurora membuka kembali beberapa folder yang sepertinya berisi tugas-tugas sekolah adik angkatnya. Mendadak, pintu kamar Aurora terbuka sampai membuatnya refleks menutup secara kasar laptopnya itu. Aurora memaksakan senyumnya saat melihat adik angkatnya datang dengan wajah marah dan sepertinya habis menangis.
L Adiknya itu membanting laptop pemberian ibu angkatnya sampai membuat Aurora terperanjat kaget, seperti jantungnya siap copot saat mendengar bantingan laptop yang menyentuh lantai itu.

Tumbuh Duri Dalam Tubuh AnakmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang