🌻┊Declared War

82 16 9
                                    

Sedari tadi Niki duduk anteng menunggu Nara yang sedang ke toilet. Satu dua menit berlalu begitu saja. Namun, sepuluh menit kemudian ia menjadi resah.

Jemari Niki mengetuk-ngetuk meja, sorot matanya mengarah ke toilet. Ada firasat tak enak dalam hatinya. Haruskah ia ke sana untuk mengecek keadaan? Ya. Ia harus menghampiri Nara. Barangkali ada hal buruk terjadi.

Baru beranjak dari kursi, Niki malah dikejutkan oleh seseorang yang menepuk pundaknya-cukup kencang.

"NGAPAIN LO?"

"Aduh Bang. Gue kira siapa," kata Niki setelah membalik badan.

"Hehe, sorry. Lagian lo ngapain di sini sendirian? Kayak anak ilang aja," ucap Jake.

"Gue gak sendirian, Bang. Gue lagi sama Nara."

"Mana?" tanya Sunghoon.

Jay merangkul Sunghoon-mencoba terlihat di hadapan Niki. "Iya. Naranya mana? Kok nggak sama lo?"

"Dia lagi ke toilet. Tapi udah lama gini belum balik juga."

Jake sangat mengenal kafe ini. Ia langsung terbayang bagaimana tempat yang dikatakan tadi. Dimana toilet pria dan wanita saling berhadapan, membentuk sebuah koridor yang cukup sempit.

Tanpa sepatah kata lagi, ia segera berlari untuk memastikan keadaan Nara. Sementara Jay, Sunghoon dan Niki masih buffering-saling bertatap-tatapan. Baru setelah itu, menyusul kemana Jake pergi.

┊🌻┊🌻┊🌻┊

"Kok bisa?" Yeonjun membelalak mata-tak percaya. Bagai disambar petir ia mendengar kejelasan kepulangan adiknya bersama empat laki-laki.

"Kamu sih kalo apa-apa tuh gak hati-hati. Udah kakak bilang jangan pernah pergi sendiri. Ini malah sok berani di tempat asing. Kalo apa-apa tuh minta ditemenin, Ra."

"Ya kali ke toilet juga minta ditemenin." Nara amat sangat tahu kalau Yeonjun punya sisi over protective sebagai seorang kakak laki-laki. Tetapi apakah harus seberlebihan ini?

"Kenapa enggak? Yang namanya bahaya kan gak kenal tempat dan waktu."

"Ya udah aku ngaku salah. Aku minta maaf, Kak." Nara tertunduk dalam sambil meremas jari. Perasaan takut menyisa dan malah semakin bertambah setelah mendapat teguran keras.

"Lain kali gak ada acara kamu keluar sendiri. Kemana pun kamu pergi akan selalu ada yang nemenin kamu. Dan lagi, kakak akan minta papa buat nyiapin supir dan bodyguard buat jagain kamu."

Nara menengadah wajah, "Harus banget kayak gitu?"

"Ya mau gimana lagi?! Emangnya kamu mau terus-terusan diganggu?"

"Tapi Kak-"

"Gak ada tapi tapian. Sekarang juga kamu masuk kamar!"

Nara menatap Jake, Sunghoon, Jay dan Niki secara bergantian. Dengan wajah penuh permohonan ia berharap akan dapat pembelaan. Tetapi semua malah mengangguk pasrah-menyetujui apa yang diucapkan Yeonjun.

"Seharusnya gue yang lo marahin, Bang. Bukan Nara," ungkap Niki setelah Nara pergi meninggalkan ruang tamu.

"Oh ya jelas gue akan marahin lo juga. Kenapa lo nurutin apa kemauan Nara? Bukannya udah gue bilang untuk jangan kemana-mana lagi setelah ke toko buku. Ini udah malem Nik. Lebih banyak bahaya yang nggak tertuga," ujar Yeonjun penuh emosi.

Jay seketika memegang pundak Yeonjun lalu menyuruhnya duduk di sofa agar bisa lebih tenang. "Gue tau lo marah. Gue tau lo khawatir banget sama adik lo. Tapi sekarang coba tenangin diri dulu. Kita butuh berpikir jernih untuk ngadepin masalah ini."

Perlahan, Yeonjun mengatur napas dan mengikuti arahan Jay. "Gak ada cara lain selain memperketat penjagaan. Gue gak mau kejadian waktu dulu keulang lagi," ucapnya kemudian.

"Tapi kita nggak akan terlalu ngekang Nara kan, Bang?" tanya Niki.

"Kalo lo gak setuju gak papa. Gue bisa kok jagain Nara sendiri." Yeonjun mulai berapi-api lagi.

Jay menepuk pelan sebelah pundak Yeonjun. "Ya gak gitu juga. Kita kan udah lama sahabatan. Bahkan udah lebih deket kayak keluarga. Kita sama-sama tau karakter satu sama lain. Dan karena itu kita nggak boleh sampe pecah. Kita harus ngelewatin semuanya bareng-bareng."

Mendadak keheningan mulai merasuk. Semua larut dalam pikiran masing-masing. Hingga tak lama Jake pun mengambil keputusan. "Oke, untuk kali ini kita harus jagain Nara lebih dari biasanya. Gue yakin kalo wolfgang akan merencanakan sesuatu yang lebih."

"Kalo gitu gue akan kabarin Heeseung, Jungwon sama Sunoo. Supaya semuanya lebih jelas," kata Sunghoon.

"Lo kasih tau Sunoo aja, Bang. Biar gue yang kasih tau Bang Heeseung sama Jungwon langsung," kata Niki.

┊🌻┊🌻┊🌻┊

BRUK !!!

Kursi terjatuh ke belakang karena Chan berdiri dengan emosi. Tak ketinggalan bersama itu meja panjang-yang biasa digunakan untuk diskusi-pun jadi sasaran pukul. "Ini gak bisa dibiarin. Kita harus buat perhitungan sama mereka."

"Setuju. Kejadian ini udah jadi penghinaan buat kita," kata Jisung.

"Pokoknya kita harus tunjukkin kalo Wolfgang gak bisa terkalahkan dalam hal apapun," balas Chan.

"Termasuk urusan cewek?" tanya Minho yang langsung dapat sorotan tajam.

"Ya iyalah. Lo pikir aja sendiri, kalo orang sampe tau dan beranggapan ini adalah kelemahan kita. Bisa bahaya, Ho," ujar Changbin.

"Lo gak mau ikut?" tanya Hyunjin dengan sorot tak kalah lebih tajam.

Minho benar-benar jadi pusat perhatian. Tak hanya dari anggota lama tapi juga dari anggota baru-Taehyun, Soobin, Heungkai dan Beomgyu.

"Halah, biarin ajalah dia. Toh kita udah punya lebih banyak anggota," kata Felix.

Chan mengudarakan sebelah tangan yang mengepal kuat. Pun ia berseru dengan suara lantang. "WOLFGANG?!"

Terkecuali Minho, semua berdiri sambil mengepal telapak tangan. Lalu membalas seruan ketua. "HUH!"

"WOLFGANG?!"

"HUH!"

"WOLFGANG?!"

"HUH!"

────── ◦°•♛•°◦ ──────




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 18, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

𝐈'𝐌 𝐀 𝐐𝐔𝐄𝐄𝐍Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang