Bab 10

177 11 0
                                    

Malam mulai larut, bulan pun bersembunyi pada langit seolah iri dengan kisah mereka. Bintang di langit pun beberapa berjatuhan, seakan ingin duduk disamping mereka. Tapi rasa gundah Rossa terus bergejolak seakan ada yang dia ingin ceritakan namun ia pun tak tahu apa yang harus diceritakan.
Untuk ketiga kalinya Rossa izin meninggalkan Alvaro ke kamar kecil. Rossa pun beranjak dari tempat duduknya. Saat akan pergi Rossa tak lupa mengecup Alvaro sembari berkata "Tak apa, aku hanya ingin ke toilet sebentar," dengan tujuan agar Alvaro tidak khawatir, lalu bergegaslah Rossa ke toilet.

Sesampainya di kamar kecil, Rossa pun segera berjalan ke hadapan kaca. Dia mulai memandangi wajahnya yang kusut dan make up-nya yang mulai luntur sembari membenarkan semuanya agar tetap terjaga indah di depan Alvaro ketika kembali.

Rossa berdiri memandangi dirinya yang ada di cermin cukup lama, terus dipandanginya cermin itu dan akhirnya ia berkata dalam hati.

"Kamu telah melewati semua ini."

"Bahkan hal terberat pun berhasil kamu atasi, kamu telah menepati janji kepada orang tuamu."

"Ya, janji kamu bisa menjaga dirimu, menjaga segala martabat dan kehormatanmu."

"Kamu datang sebagai remaja yang polos dan tumbuh menjadi dewasa yang cerdas."

"Tidak ada hal yang mengecewakan dari perjalanan hidupmu."

"Komitmen cukup kuat untuk melawan arus masalah yang datang silih berganti."

"Dalam hal menaruh hati pun, kamu juga bisa menempatkan pada salah satu cinta yang istimewa."

Tak terasa air mata membasahi pipi Rossa, perasaan yang tak bisa dijawab oleh nalarnya pun seakan berlari – lari menghampiri otaknya. Kecemasan juga seolah menari mengiringi rasa gundah dan gelisah.

Walaupun dia tak mengerti yang terjadi, Rossa masih menganggap semua normal mungkin hanya perasaan wanita pada umumnya yang bisa berubah dalam sepersekian detik.

Rossa berusaha sekuat tenaga menyingkirkan kegundahan itu, namun semakin dia lari dari kenyataan rasanya semakin lelah hatinya membantah dan berkata, kamu sedang tidak baik – baik saja.

Ingin rasanya Rossa meninggalkan tempat itu, ia ingin sendiri untuk meratapi mungkin juga menyesali. Namun cintanya terlalu peduli untuk dia pergi. Dia hanya menatap kaca kamar mandi dan sesekali membuka keran wastafel berharap agar kegelisahannya terhanyut terbawa air. Walaupun itu mustahil, tapi halusinasi itu mungkin bagi manusia yang perlu sebuah ketenangan bernama healing.

Namun Rossa tetaplah Rossa. Wanita tegar, kuat, dan periang yang harus kembali untuk duduk di depan kekasihnya malam ini. Akhirnya tekadnya memutuskan untuk kembali ke Alvaro yang menunggunya di meja makan seolah menjadi saksi bisu cerita hari ini.

Dengan wajah yang telah dipoles ulang dengan make up, dan tubuh harum tubuhnya yang berbaur dengan parfum seolah menegaskan bahwa ia baik – baik saja. Rossa beranjak kembali ke Alvaro yang telah menunggunya.

"Sayang, maafkan aku. Kamu jadi menunggu terlalu lama, aku hanya membuat diriku kembali menarik di hadapanmu."

"Aku tahu kamu lelah dengan kertas dan komputer mungkin juga atasanmu yang menampakan wajah murungnya hari ini."

"Maka izinkanlah aku berdandan dengan harapan bisa menutup harimu dengan kesan yang menawan."

Alvaro pun hanya tersenyum, matanya memandang wajah Rossa yang kembali segar dan kembali menawan. Alvaro pun berkata.

"Aku telah mengenalmu dari dulu, mulai dari kamu tidak bisa berdandan hingga kini kamu mengenal make up mahal."

"Bagiku natural wajahmu sudah cukup, walaupun aku tahu keinginanmu memberikan sesuatu yang menawan dihadapanku."

"Tapi aku bersyukur memiliki kekasih sepertimu, mungkin jika pelukis ku undang malam ini, dia akan mematahkan penanya tanda putus asa dan kagum. Ya, kagum karena kecantikanmu tak bisa digambarkan."

Rossa hanya tersenyum, tanpa sadar pipinya memerah. Hatinya seolah terbang mendengar pujian Alvaro. Walaupun ia tahu ini merupakan pujian kesekian kali dari Alvaro, tapi cukup melemahkan hati dan sedikit memudarkan kegundahannya.

Dengan tatapan tajam sambil menggegam tangan sang kekasih. Rossa pun membuka kembali obrolan yang sempat terhenti. Rossa kembali bercerita pada Alvaro.

"Sayang, masih ingatkah dengan sosok Papiku tadi?"

"Ya, Papi yang cosplay jadi pelaut, sinterkelas, bahkan mungkin bank berjalanku hingga saat ini."

"Sosok Papi yang mempertaruhkan nyawanya di samudra, membunuh waktu dengan keluarga."

"Ya, walaupun aku tahu itu semua agar anak gadis satu – satunya bisa mendapat masa depan yang baik bahkan yang terbaik."

"Alvaro, ingatkah kamu cerita tadi?"

"Tentang waktuku yang terpenjara dalam asrama, aku yang tiap malam hampir putus asa."

"Ya, putus asa karena kerinduan akan keluarga."

"Alvaro, saat SMP aku di asrama hanya fokus belajar, meraih prestasi dan tak mengerti apa itu hubungan antara laki – laki dan perempuan."

"Aku memang pernah kagum dengan sosok pria remaja yang seusiaku saat itu. Tapi hanya sebatas kagum tanpa menaruh hati."

"Aku tidak bisa merubah tujuanku saat itu. Ya, tujuan agar waktu lekas berlalu hingga janji keliling dunia bersama keluarga menjadi nyata."

"Aku terkurung dengan buku, situasi seolah memaksa aku menjadi kutu buku. Aku sangat takut mengecewakan Papi dan aku selalu teringat janjinya padaku saat itu."

"Hal yang bisa kulakukan hanya berburu prestasi. Ya, berharap saat keliling dunia nanti ada sesuatu yang bisa kubanggakan pada Papiku."

"Kujalani waktu kala itu, waktu yang dibalut dengan rindu."

"Jam yang tetap melakukan gerakannya seperti biasa, dalam hati aku ingin mempercepat setiap detiknya agar rasa rinduku dengan sosok Papi cepat teratasi. Walaupun aku sadar itu halusinasi."

"Akhirnya waktu yang ditunggu datang, Alvaro. Ya, datang. Benar – benar seperti mimpi yang jadi kenyataan."

"Aku berhasil menyelasaikan sekolahku, keluar dari asrama dan seolah seperti melihat dunia baru."

"Rasanya saat itu seperti narapidana yang lepas dari penjara."

Alvaro hanya terdiam dan fokus dengan cerita Rossa, ia sadar Rossa hanya ingin didengar malam itu.

***

CERAI [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang