Rossa pun melanjutkan ceritanya.
"Alvaro, akhirnya kita beranjak dewasa. Beranjak dari masa SMA, akhirnya kita menapaki tangga ke jenjang lebih tinggi."
"Namun sialnya saat itu aku harus kembali. Ya, lewat telepon Papi mengharuskan aku kembali karena beliau sangat memperhatikan pendidikanku, namun aku bangga bisa masuk Universitas Negeri dengan prestasi yang tak terlalu menguras materi. Kita bersama lagi Alvaro dan itu penting."
"Aku kembali ke rumah yang mungkin tidak kurindukan untuk mengambil secarik berkas yang aku gunakan untuk jenjang lebih lanjut. Juga meminta restu Mami lewat tanda tangannya yang menyatakan menjadi wali di pendidikanku nanti."
"Ya, kembali kerumah setelah sekian lama, bercampur emosi dan rasa malu."
"Seakan ketika itu langkahku berat, aku hanya menyembunyikan kesedihan ketika kau antar aku ke bandara untuk kedua kali."
"Kabin pesawat sangat tak hangat menyambutku, kota yang penuh kenangan kini berubah jadi kota yang ingin aku lupakan. Melupakan semua beserta kenangannya."
"Walaupun takdir membawaku kembali, melewati udara membelah angkasa dan mendarat di kota yang pernah aku tunggu untuk kembali, namun itu dulu."
"Aku lantas memesan taksi, sambil berharap waktu sedikit melambat memutar menitnya, selain aku tak bisa menahan emosi melihat Mami, Mami pun tak pernah sama lagi dimataku saat itu."
"Taksi memasuki kompleks, tapi hati ini bergejolak. Aku putuskan untuk berhenti di kedai kecil dekat rumah."
"Ya, aku berhenti karena tak siap bertatap muka apalagi memulai komunikasi dengan Mami."
"Aku turun, memesan kopi dengan memperbanyak gula berharap ada rasa manis untuk menguatkan mentalku nanti."
"Penjual kopi adalah seorang Ibu yang renta, disana duduk juga rombongan Dasawisma, aku mengenal mereka, Alvaro. Mereka adalah orang tua dari teman kecilku dulu. Kami saling menatap dan melempar senyum seolah membuka silaturahmi dan mengucapkan selamat datang kembali, Rossa."
"Namun betapa kagetnya aku ketika mendengar gosip Ibu Ibu Dasawisma itu. Mereka menatapku seolah dengan rasa benci, tatapan yang ingin mencaci maki. Bahkan aku tak tahu kenapa mereka begitu setelah aku mengenalkan namaku."
"Salah satu dari mereka langsung memanggilku seakan panggilannya menusuk dan menambah luka di hati. Mereka menyapa, "Oh, ini Rossa? Putri semata wayang yang mungkin juga dijual oleh Ibunya."
"Betapa kagetnya aku Alvaro, seolah ada tabir rahasia yang tersingkap. Aku hanya tersenyum sinis pada mereka. Ya, karena aku tak tahu apa yang terjadi."
"Aku mulai memberanikan bertanya, "Kenapa ya, Bu? Apa maksud perkataan Ibu?"
"Ibu itu menjawab,"Kamu pura – pura tak tahu atau kamu berusaha menutupi? Ibumu itu aib di kampung ini. Ia telah meniduri banyak lelaki dan membuat banyak rumah tangga hancur. Pantas Ayahmu pergi waktu kamu kecil, mungkin malu dengan yang terjadi. Sekarang kamu tinggal di kota mana? Jadi wanita penghibur atau kerja di spa?"
"Aku terperangah, Alvaro. Aku tak tahan berada disana, aku bergegas keluar lalu pulang untuk menanyakan sebuah kebenaran. Aku berjalan sambil menangis, apa yang dikatakan mereka di kedai terlintas di pikiranku saat itu."
"Aku gedor rumah tanpa permisi, aku masuk membanting tas sambil menahan emosi, namun Mami dengan khasnya ia tak pernah memarahiku seolah telah tahu yang tejadi."
"Kami tak bertegur sapa, tapi Mami tetap membereskan semua koperku. Kamar pun telah rapi dan makanan lezat tersedia di meja seolah antara kita tak pernah terjadi sesuatu."
"Mami tetap menanyakan kabarku dengan lembut, mencuci semua pakaian kotorku, menyiapkan semua selayaknya Mami yang baik dan sayang anaknya."
"Tapi pikiranku saat itu benar benar kacau, entah apalagi yang akan terjadi di rumah ini. Aku hanya berbaring di kasur dan terdiam lalu tiba – tiba mataku terpejam."
"Setelah sekian lama akhirnya aku kembali tidur di kamarku, kamar yang penuh cerita dan kenangan yang mungkin sebentar lagi menghilang, pikirku saat itu."
"Aku terlelap cukup lama, entah bermimpi indah atau buruk aku tak tahu. Menjelang sore aku tersadar. Lagi – lagi Mami sibuk menyiapkan semua yang terbaik untuk putrinya di rumah."
"Walapun Mami tahu, aku juga tak ingin berlama – lama berjumpa. Namun kasih sayangnya masih sama, hanya komunikasi tak terucap kala itu."
"Sore itu aku ingat, Mami mengajakku ke mall, sebuah tradisi jika aku meraih prestasi akan diberikan barang bak tuan putri. Entah ide Mami atau Papi, yang pasti saat itu aku tak tertarik pergi dengannya."
"Saat itu aku hanya berpikir, mengapa Mami tak malu menerima pemberian Papi sedangkan dia sendiri mendua, bahkan ada gosip tetangga masuk telinga."
"Perasaanku kacau saat itu, Alvaro. Aku hanya berusaha menunggu Mami dan berencana melakukan interogasi layaknya polisi dengan narapidana."
Alvaro pun hanya terdiam, terdiam sekian kali seakan tak percaya ini terjadi. Seolah bertanya pada hatinya, sosok Rossa dan Mami yang begitu dekat denganya memiliki sisi lain yang sama sekali tidak ia ketahui, entah harus bersimpati, sedih atau kecewa. Namun Alvaro juga dibuat ambigu dengan perasaannya, dengan sabar ia tetap mendengarkan Rossa. Rossa pun terus bercerita dengan air mata.
"Alvaro, setelah sekian lama akhirnya Mami pulang. Ya, pulang membawa keperluan dan kebutuhanku yang sangat banyak. Tak lupa membawa menu makan malam kesukaanku."
"Hatiku cukup tersentuh akan kasih sayangnya, namun nalarku seraya tidak ingin mempercayainya."
"Bahkan Mami tetap menyiapkan semua malam itu, Mami berkata lembut padaku bahkan ketika nada bicaraku telah meninggi."
"Mami menyuruhku menunggu di meja makan, aku hanya terdiam dan menatap sinis."
"Menu – menu mulai berlarian menghiasi meja makan kami, Mami menyuruhku untuk menyantapnya terlebih dahulu seakan hatinya berkata akan ada alasan setelah ini."
"Ya, Mami tetaplah Mami, meskipun aku melihat dia mendua tapi hatinya tetap utuh untuk sang buah hati, tapi emosiku seakan tak bisa terima."
"Segera kusantap habis meskipun perasaan kacau saat itu tapi aku tak bisa membohongi rasa lapar dalam perut. Lalu aku mulai melempar pertanyaan yang menusuk dengan nada tinggi, "Mi, tadi tetangga?"
Belum sempat aku lanjutkan Mami memotong pembicaraan dengan lembut dan berkata "Dengar dari mulut Mami, tapi Mami akan membuat susu dulu untukmu." Kemudian ia pergi ke dapur."
"Ya, dia membuat susu dan kembali seolah mengetahui minuman favoritku adalah susu buatannya."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
CERAI [COMPLETED]
RomanceAlvaro, aku tidak ingin kehilanganmu tapi aku juga tidak bisa menipumu. Ini bukan hanya tentang kita hari ini tapi juga nanti. Aku percaya kamu orang baik, tapi dengarlah ini sampai selesai. Jika itu menyakitmu aku minta maaf. ***** Alvaro dan Rossa...