DG || 01

12 2 0
                                    

Kalo ada typo, ditandai ya guys.

Oh ya, buat yang udah baca prolognya, bisa dibaca ulang soalnya prolognya udah berubah. Berubahnya jauh banget dari prolog awalnya.

Happy reading♡

______

Senyum di wajah seorang gadis SMA terpancar sejak pagi tadi membuat teman-temannya menatap heran dan aneh.

Namanya Daisy Emilia, gadis 16 tahun yang lahir asli di Jakarta, tapi sukanya ngaku-ngaku lahir di Jepang cuma karena matanya yang minimalis.

Kata orang, Daisy Emilia adalah makhluk paling sempurna yang pernah mereka temui; bukan hanya parasnya saja, tapi otaknya juga memadai. Kata mereka, otak sama paras sepadan.

Dan menurut mereka; Daisy adalah makhluk paling-paling sempurna tanpa cacat seujung kuku pun, padahal nyatanya ... tidak.

Daisy tidak pernah melarang siapapun untuk berasumsi tentang dirinya, tapi kadang dia risih ketika dilempari pujian yang menurutnya terlalu berlebihan.

Prinsipnya; boleh-boleh saja memuji siapapun yang mereka sukai, asal jangan sampai terlihat lebay dan membuat si empu yang dipuji menjadi ilfil.

"Daisyku tersayang, terkyut, terkiyowo, sebenernya lo kenapa sih, hah?!" Camellia--sahabat Daisy itu bertanya dengan nada tinggi serta 'tak lupa pula dengan gidikan bahu ngeri. Dia mewanti-wanti takutnya sang sahabat kerasukan jin yang kata teman-temannya suka berkeliaran di sekolahnya. Dia mendengar itu pagi tadi ketika ikut bergosip dengan para penggosip handal di kelasnya.

Empu yang ditanya bukannya menjawab malah semakin melebarkan senyumnya hingga sederetan gigi rapih dan putihnya terlihat. Saking lebarnya senyum itu bisa saja sampai merobek mulut Daisy.

Camellia dan Olivia serentak menjauhkan dirinya dari Daisy yang sejak pagi tadi sudah aneh melebihi keanehan Ragil yang menyukai sesama jenisnya.

"Mel, lo inget nggak sih sama cerita Ratna tadi pagi. Katanya ni sekolah bekas kuburan waktu jaman penjajahan dulu. Jangan-jangan, Daisy kerasukan salah satu arwahnya lagi?!" Olivia Roseanne--sahabat Daisy berujar heboh seraya mengusap-usap badannya ngeri.

Daisy akhirnya menatap mereka berdua dengan tatapan datar kemudian berkata, "Kalian ini udah 16 tahun atau baru 5 tahun, hm? Masih pada percaya sama cerita yang begituan? Ckck! Kalian ini benar-benar kekanakan. Malu dong sama umur!"

Daisy tidak terima dikatai kerasukan jin atau apalah sejenisnya. Karena pada kenyataannya dia bukannya kerasukan jin tapi mabuk memandangi wajah seseorang yang sudah lancang bersemayam dalam hatinya.

Sahabat-sahabatnya memang tidak pernah benar, tidak berguna, selalu saja mengganggu kebahagiaannya.

"Ya habis lo dari pagi aneh banget tahu, senyam-senyum nggak jelas, belajar gak fokus, diajakin ngomong malah cekikikan kayak kunti lagi cari mangsa. Kurang aneh apapalagi sih lo hari ini, Dai?!" Camellia yang memang sudah gemas dengan keanehan sahabatnya itupun berseru dengan disertai gebrakan meja yang berbunyu tidak cukup keras.

Begitulah Camellia, kadang jika sudah ngomel, omelannya melebihi emak-emak komplek yang memarahi anaknya yang pulang ketika senja sudah berganti malam dengan membawa sapu ditangannya untuk menakut-nakuti anak mereka.

Daisy menggaruk-garuk tengkuknya yang sama sekali tidak terasa gatal. Dia kembali cengegesan menatap kedua sahabatnya bergantian.

"Masa sih? Kalian nggak lagi bohongi gue, 'kan?" tudingnya menunjuk Camellia dan Olivia.

"Bohong pala lo tuh bolong. Gunanya gue bohong sama lo apa? Sono tanya temen sekelas kalo lo nggak percaya sama gue!" Camellia terus saja meneriaki Daisy.

Daisy GaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang