Sabtu dan Minggu seharusnya menjadi waktu yang tepat bagi Sandra berhibernasi. Namun, kebiasaan itu sepertinya akan terjeda dengan semakin dekatnya waktu pernikahan. Apalagi Mami begitu cerewet memaksa Sandra melakukan ini dan itu. Sandra heran, kenapa Mami jauh lebih bersemangat daripada dirinya?
Sandra menghela napas. Apakah jika bersama dia perasaannya akan sehambar ini? Buru-buru Sandra menggeleng. Tidak seharusnya dia memikirkan lelaki pendusta itu. Lelaki yang telah mengingkari janji dan membuat Sandra menunggu tanpa kepastian. Lagi pula, sebentar lagi dia akan menikah. Sudah seharusnya ia menghapus nama dan ingatan tentang lelaki itu.
"Aw." Sandra mengusap keningnya yang terasa panas. Pandangannya menajam saat mendapati seorang lelaki dewasa dengan cengiran menyebalkan. "Apa, sih, Bang? Sakit tahu!"
Lelaki yang dipanggil abang itu tergelak sebelum berteriak karena tulang keringnya ditendang. Beruntung anak lelaki di dalam gendongannya dengan sigap diambil alih Sandra.
"Jahat, lo, Dek! Masa guru tidak berperipersaudaraan." Lelaki itu mengusap-usap tulang keringnya. Keras juga tendangan adik perempuan satu-satunya ini.
"Abisnya Bang Marsel iseng banget!" Sandra menjulurkan lidah. "Iya, kan, Rafi? Papa kamu itu usil banget orangnya. Dari kecil selalu gangguin onty."
Rafi, bayi berusia sepuluh bulan itu hanya tertawa saat Sandra menciumi pipinya dengan gemas. Sandra memang menyukai anak-anak. Pekerjaannya pun tidak jauh dari anak kecil. Di saat teman-temannya berebut kursi jurusan Ilmu Komunikasi, Sandra dengan percaya diri memilih Ilmu Pendidikan.
"Bingung gue, Dek." Marsel mendudukkan dirinya di sebelah Sandra. Suaranya terdengar serius.
"Apaan?" sahut Sandra tanpa mengalihkan pandangan dari keponakan tersayangnya. Mata dan bibir tebalnya persis Marsel. Beruntung hidung Rafi mengikuti ibunya. Kalau tidak, Rafi benar-benar kasihan harus menjadi jiplakan ayahnya.
"Gue married udah dua tahun, kan, tapi buntut gue usianya baru 10 bulan," ucap Marsel dengan kening berkerut.
"Ya, terus?"
"Nah, elo, nikah aja masih beberapa bulan lagi, tapi buntutnya udah 10 tahun! Nggak ngerti gue."
Marsel mencoba menahan tawa dengan berpura-pura berpikir. Sementara Sandra dengan gigi bergemeletuk menginjak kaki abangnya itu dengan keras. Ia juga membenamkan bantal sofa di wajah Marsel sebelum membawa Rafi ke taman belakang.
Menikah dengan duda tidak semanis yang diceritakan dalam novel-novel. Setampan dan semapan apa pun, seorang perawan menikah dengan duda tetap menjadi buah bibir. Meski mami tidak pernah mempermasalahkan, tapi Sandra yakin, jauh di lubuk hatinya, Mami ingin Sandra menikah dengan lelaki yang sama-sama perdana membangun mahligai rumah tangga.
Lalu apa yang menyebabkan Sandra menerima Haidar? Seorang malaikat kecil yang bisa membuatnya mengalihkan perhatian dari sosok dia. Sandra kembali menghela napas. Lagi-lagi dia masih mendominasi pikirannya.
***
"Ya kalau ragu tinggal lo batalin, sih," ucap Sisyl yang membuat mata Sandra melotot.
"Enteng banget, ya, ngomong."
"Daripada lo ngeluh terus kaya gini. Mending lo batalin aja mumpung belum sah di mata hukum dan agama." Sisyl nyengir sebelum memasukan irisan pisang keju ke mulutnya. Dia bingung dengan kelakuan sahabatnya ini. Sebentar yakin, sebentar ragu. Sebagai sahabat, Sisyl terkadang dibuat repot dengan keplin-planan Sandra. "Oke deh, Bu Guru." Sisyl mengembuskan napas sejenak melihat Sandra yang terus menunduk. "Gue tanya, apa yang bikin lo ragu sama Mas Haidar?"
"Gue nggak ragu."
"Ya terus?" Sisyl menaikkan oktaf suaranya. Kesal dengan guru yang satu ini. Di sekolah mengajarkan orang. Di luar sekolah harus diajarkan orang. "Lo masih nungguin si Ghava?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Duda VS Masa Lalu
RomanceAdelia Sandra terpaksa harus menerima lamaran Haidar, pria yang merupakan wali dari muridnya sendiri. Bukan perkara mudah baginya membuka hati. Apalagi ia pernah dijanjikan seseorang di masa lalu. Ketika Sandra sudah menerima jalan cintanya, takdir...