Chapter 1

6 5 3
                                    

Sunyi

Untuk apa duduk di sofa seorang diri yang dikelilingi perabotan mewah seperti ini?

Mungkin ini nasib anak tunggal yang dialami oleh gadis di luar sana. Apa-apa sendiri, terkecuali mereka punya sahabat atau pacar. Eun Jung hanya seorang diri dalam lingkup kemewahan ini.

Semakin dewasa, semakin orang sibuk dengan dunianya sendiri. Pertemanan yang dulunya terjalin erat kini memencar  menjadi beberapa bagian. Semua memisah, tidak ada yang berdekatan.

S1 sudah diraih, punya toko usaha sendiri juga sudah, punya butik sendiri pula. Apa lagi seterusnya?

Ah ya, jodoh

Entah jodohku ada dimana sekarang.

Memikirkan itu semua hanya akan membuat siapapun pening. Bertambah pusing jika ada yang bertanya, kapan kau akan menikah?

Umurku 22, belum ada yang bertanya.

Dengan dress panjang berwarna hitam pekat aku berdiri meraih sling bag berwarna putih yang tergeletak dibawah lantai.

Hari ini tepat menunjukkan hari minggu. Semua libur, kegiatan pun tak ada yang tersisa untuk dikerjakan. Aku memutuskan untuk pergi ke kafe tempat temanku bekerja.

Dengan mengendarai mobil berwarna besar, Aku melaju dengan kecepatan sedang membelah jalan kota Seoul dengan tenang.

***

"Kesini lagi? Memang kau benar-benar tidak punya pria untuk diajak kencan ya?" Itu Ha Yoon, temanku. Memang seperti itu mulutnya jangan heran.

Aku hanya mendengus geli mendengar pernyataannya. Dia tidak pernah serius dalam berbicara, selalu bercanda. Dan disaat dia berkata tidak mengenakkan menurut orang, tapi aku selalu hampir tertawa. Karena dia lucu, dan aku menyukainya dan bertahan menjadi teman hingga sekarang.

Aku mengambil buku menu didepan meja. Memilih menu untuk disantap siang ini. "Bibimbap dan Banana Milk" pelayan itu mencatat pesanan ku.

"Kau tidak mau melanjutkan study mu, S2?" Tanya Ha Yoon yang sedang menyeruput Omija Tea yang berwarna merah cantik dalam gelas mungil ditangannya. Itu adalah favorit ku juga, selain Banana Milk tentunya.

"Eum, maunya begitu. Tapi, pekerjaan ku bagaimana? Takut terlalu lelah jadinya gak keurus"

Ha Yoon menghela nafas kasar. "Kan kamu bos, bisa handle pekerjaan yang gak harus tiap hari. Itung-itung cari kesibukan sambil nunggu jodoh datang"

"Hmm, nanti ku pikirkan"

Senyum simpul terpampang jelas dalam wajah oval nya. "Aku sudah punya brosur dari universitas Korea. Untuk jurusan, terserah mau ambil apa aja" ucapnya dengan santai.

Enteng banget mulutnya.

Memilih jurusan yang cocok denganku itu apa? Perlu waktu untuk berpikir jika harus begini. Jangan sampai bayar mahal-mahal tapi salah jurusan.

"Cepat putuskan, nanti kita daftar bareng"

Tunggu dulu, jangan bilang dia....

"Kau?"

Ha Yoon mengangguk cepat. "Aku juga melanjutkan S2. Sebelum menikah, aku juga ingin menjadi istri yang pintar dalam mendidik anak-anak ku" ujarnya bangga membuatku bergidik.

"Untuk jurusan, ambil manajemen aja. Kau sudah cukup cerdas dalam bidang kesenian. Jangan bilang mau ambil jurusan seni lagi, No!"

Aku mengernyitkan dahi, apa maksudnya? Suka-suka dong mau ambil jurusan apa.

Tapi yang aku suka dari diri Ha Yoon adalah dia tipe orang yang selalu memberikan solusi masalah kepada siapapun. Orang tidak dikenal pun ia bantu, entah itu berupa ceramah atau segepok uang.

Pernah waktu itu ada seorang kakek duduk dengan dagangan buku yang tersusun rapi di meja besar. Ha Yoon tidak membeli buku itu, namun memberikan sebuah black card miliknya. Entah apa motifnya, yang jelas dia ingin berbagi black card karena tidak muat dalam dompet yang di lemari.

Datanglah ke rumah Ha Yoon dia akan memberimu black card, tak tanggung-tanggung ia akan merawat mu dengan baik.

Canda Ha Yoon....

"Kalau manajemen kita bisa tahu tentang dunia bisnis. Nanti mengelola perusahaan biar tambah perfect gitu!" Lanjutnya.

Aku hanya mengangguk, karena mulutku hampir penuh dengan makanan. Ada benarnya juga.

Sebenarnya aku pernah disuruh oleh appa untuk mengurus beberapa perusahaannya, tapi ku tolak dengan dalih bahwa aku bisa membuka bisnis kuliner dan butik sendiri. Tanpa unsur campur tangan dari kedua orang tua.

Aku memang anak tunggal, bukan anak yang manja.

Dan, mungkin ini waktunya agar bisa membantu appa dan eomma. Walaupun mereka selalu sibuk dan hampir tak pernah ada waktu untukku, aku tak sejahat itu dengan tidak mematuhi apa perkataan orang tua.

Meskipun pernah bertengkar, setidaknya kita mencari kebanggaan tersendiri ketika mematuhi perkataan orang tua.

"Kapan daftar ke sana?" Tanyaku setelah menyeruput Banana Milk yang tersisa setengah.

"Besok aja, biar gak kepentok deadline"

***

"Eun-Jung~a" panggil appa yang menghampiriku dengan laptop di tangannya.

Aku hanya menoleh sekilas tanpa menyahut. Fokus dengan majalah masa kini yang baru ku beli bersama Ha Yoon siang tadi, tentu setelah membicarakan rencana kuliah.

"Appa ingin kamu mengurus perusahaan di Busan" ucapnya sembari menyesap kopi hitam buatan eomma.

Lagi dan lagi. Appa selalu saja menyuruhku untuk mengurus bisnisnya di Busan. Tapi aku tak menggubris perkataan itu. Selalu menolak, lalu kemudian Appa akan marah, membentak dan memperlakukan ku dengan kasar. Tapi eomma selalu membela anak gadis kesayangannya.

Appa sangat keras padaku. Alasannya karena aku anak tunggal pengusaha terkenal di Seoul. Itu yang membuat appa ingin aku menjadi orang besar seperti dirinya, justru dituntut lebih hebat.

Membuka toko kue dan butik yang luasnya tak seberapa, membuat appa tersenyum miris saja. Bukan, beliau tak merendahkan ku. Hanya saja tidak puas dengan segala hasil kinerja yang biasa saja.

Eomma menghampiri ku dan appa yang duduk santai di sofa ruang tamu sambil membawa nampan berisi cemilan pedas kesukaanku. "Eun-Jung, makanlah" aku tersenyum melihat wanita paruh baya bermata sayu dan masih terlihat awet muda diusia lima puluhan.

"Appa sudah memesan tiket untukmu besok, bersiaplah sekarang dan aku tidak mau ada bantahan" ucapnya dingin menatapku serius. Pria yang selalu bertindak tegas semenjak aku remaja. Aku rindu perlakuan sayang nan lembut miliknya.

"Dan ya, kamu sudah appa daftarkan ke universitas jurusan management agar kamu tidak asal-asalan mengurus bisnisku di sana" kulihat beliau tersenyum simpul memandangku seperti gadis polos yang tak tahu apa-apa.

Appa berlalu menjauh dengan setelan jas hitam juga celana bahan membuat tubuh itu masih tampak gagah di usianya yang akan menginjak usia senja.

Aku hanya menatap nanar ketika tubuh tegap itu menghilang dari balik pintu. Aku ingin marah, memberontak, dan mengucapkan apa mau ku. Tapi suaraku saja tidak didengar.

Meminta patuh terhadap permintaan sang Raja ketika tuan putri tidak punya kuasa lebih. Atau mungkin lebih tepatnya pembantu yang menjelma menjadi tuan putri. Tapi kedudukannya tak pernah berubah. Hanya saja peran yang berubah, kasta tetap melekat.

Adakah tuan putri di kehidupan dongeng seperti itu?

Eomma memelukku erat dan aku pun membalas pelukannya penuh sayang. "Sabar ya sayang, eomma selalu mendoakan yang terbaik untukmu" tak ku sadari air mata ku jatuh begitu saja mendengar eomma dengan suara lembutnya yang menenangkan hati siapapun.

Aku menerima, walaupun pilihan hidupku harus diatur. Ini yang terbaik disaat pilihanmu tidak didengar.

***

•• To be continue ••

Nohchida {ON GOING}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang