BAB 2 : Mirror

11 2 0
                                    

Darla, dia selalu saja mudah menangis. Tapi baru kali ini ia berani berbalik mengancam ku. Jadi dari pada aku naik pitam dan mengomel tidak jelas. Maka pilihan teraman bagi ku adalah pergi sementara untuk menjernihkan otak ku.

Ya, setelah mengendarai mobil kurang lebih 1 jam setengah lamanya. Kini mulai terdengar suara deburan ombak dan nyanyian burung-burung yang mulai menyapa telinga ku. Dan benar saja, sudah nampak eksistensi hamparan biru luas itu tepat disamping kanan ku.

Lantas ku injak rem mobil ku untuk sekedar menepi sebelum melanjutkan perjalanan. Sekarang, mata ku menatap sendu kearah hamparan biru tersebut. Entah mengapa otak ku justru seolah mencoba menafsirkan gerakan berulangnya yang hanya menggulung pelan kemudian menabrak karang, lalu terpecah dan mundur lagi.

bukankan cukup melelahkan bagi karang bila terus terusan dihantam ombak?

melihat karang itu mengingatkan ku pada seorang wanita yang selalu berpendirian teguh. Ia selalu menjadi orang pertama yang melindungi ku ketika mendengar aku dan Papa bertengkar.

Namun belakangan ini kesibukannya membuatnya memilih untuk pisah tempat tinggal dan menjalani hidup seorang diri di sebuah pemukiman dekat pantai.

"Gio! what are you doing?" sebuah suara melengking berhasil memecah keheningan ku.

"Kak Adrija" sapa ku dengan seulas senyum yang ku paksa kan.

aku pun meraih semua barang yang ia bawa dengan sepedanya. Aku tidak menyangka dia sudah berubah setotal ini.

"Papa sudah pulang?" tanyanya sambil mengenakan seat belt.

"Belum, sibuk mungkin" sahut ku singkat.

Kami pun kembali bergerak lurus kearah pemukiman yang berada 250 meter dari bibir pantai.

"Kau tidak takut tsunami?" celetuk ku yang berhasil mendapat pukulan darinya.

"Jangan bilang begitu, kamu harusnya doain dong biar sehat selalu. gimana sih" protesnya tak suka. setidaknya sikapnya pada ku tidak akan pernah berubah.

sejak meninggalnya ibu, hanya kak Adrija yang akan berperan sebagai orang tua untuk ku dengan bijak. Meski jarak umur kami hanya 6 tahun. Namun caranya memandang sebuah masalah tergolong dewasa disaat kala itu baru menginjak usia 13 tahun. tak hanya sampai situ, keteguhan ibu dalam berprinsip pun juga turun padanya. meski agak menyesakkan ketika harus ditinggal sendiri, namun melihatnya bahagia ku rasa itu sudah cukup bagi ku.

Ia memilih membangun coffe shop dan rumah pizzanya disini. ketimbang dekat dengan rumah.

"Eh kenapa kau malah mengiris bawang, duduk sana. kecapek-an nanti" katanya yang ku tolak. aku tetap melanjutkan kegiatan ku dengan mengiris bawang dan menyiapkan tungku untuk membakar pizza nanti.

"Ada yang ingin kau ceritakan dengan ku?" tanya kak Adrija sambil mencuci sayuran dan buah yang baru ia beli.

"tidak" belakangan kalimat ini sering ku ucapkan padanya. Walaupun sebenarnya pikiran ku penuh dengan segudang masalah. tapi rasanya tak enak hati bila aku mengungkapkan semuanya, apalagi hanya perkara kegundahan ku mengenai Darla. Aku khawatir jika menceritakan hal itu hanya akan membebaninya.

"Kau ingat dulu toko bunga yang selalu kau kunjungi. sekarang benar benar tutup dan sudah berganti dengan toko sepatu" tutur kakak sambil melepas sarung tangannya.

Langkah kakinya terhenti tepat di depan sebuah vas bunga berwarna biru dengan lukisan kupu kupu putih ditengahnya.

"Saat melihat satu persatu barangnya di keluarkan, aku juga berharap ada hal yang ia tinggalkan untuk mu. kamu benar benar tidak ingat saat itu kah?" tanyanya sambil menpatkan bunga mawar dan matahari kedalamnya.

Be a ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang