Kehidupan itu tempatnya berpetualang. Kalau kamu maunya santai, itu namanya dunia fiksi. Kamu cuma berkhayal, kamu cuma bisa berimajinasi dengan ruang, yang kamu buat seasik mungkin. Yang dimana, isinya, cuma kamu sama dunia kamu.
Berbeda sama dunia anta. Anta itu penyuka seni, jadi, bau bau seni walau dari jarak jauh pun, pasti dia cium. Dia benar benar sesuka itu.
Hari dimana waktu aku sama dia, kita berdua berjalan menelusuri tengah kota banda neira. Kita bertemu sama salah satu dinding yang menurut anta itu, sangat aesthetic. Tidak heran, aku harus menunggu kurang lebih 1 jam. Hanya untuk menunggu anta memotret, serta menulis jurnal nya.
"Ta, lo ga cape? Ga haus? Ga mikir gue cape apa ngga?"
"Bawel lo. Dah diem dulu. Duduk manis di situ."
Yah gimana, jadinya? Sudah aku bilang, dia akan asik sama dunia nya sendiri. Ga mikirin sekitarnya. Untungnya dia bersikap gini ke sahabatnya, ya aku.
Mata tsana bergerilya, sampai akhirnya jatuh pada sebuah pedagang bapak bapak tua, yang memakai topi lucu. Ia menghampiri bapak tersebut.
"Halo bapak."
Bapak itu hanya tersenyum.
"Pak, satu porsi roti bakarnya berapa?"
Lagi-lagi bapak itu hanya tersenyum. Tak lama kemudian ia mencoba menggerakkan tangannya, memberi isyarat, berupa harganya.
Dalam hati tsana, ia merasa tidak enak. Karna ia tadinya berusaha ingin mengajak bapaknya untuk berbicara, yang tapi ternyata bapaknya justru, bisu.
"24Ribu." Bapaknya menjawab dengan bahasa isyarat.
Tsana pun membalasnya dengan bahasa isyarat juga. "Pesan dua, roti bakar selai pala nya, ya pak."
Tidak terlalu lama untuk menunggu roti bakar ini, tidak seperti aku menunggu laki laki itu yang masih asik dengan dunianya. Padahal, ini sudah masuk jam makan siang.
Harum dari roti bakar itu menyapa sopan hidung ku, sumpah, ini enak banget. Perutku laper seketika, kemungkinan kemungkinan, cacing dalam perutku sudah berdemo untuk meminta makan.
Aku segera mengambil roti bakarnya, dan membayar. Lalu membawa dua porsi roti bakar untuk anta dan untuk aku.
"Ni ta, lo harus makan. seengganya biar lo ga sakit."
Anta menghentikan kegiatan menulisnya, lalu menoleh menatap tsana yang membawa dua porsi roti bakar, dengan harum yang menggoda perutnya.
"Wah wangi banget tsan, lo beli dimana? Tau aja lo, gua laper."
"Lo ga usah terlalu serius banget sama segala sesuatu yang lo lagi lakuin, lo sakit kalo ga makan, pihak univ mana ada yang peduli."
Anta tidak menjawab. Ia memilih untuk menerima bungkusan roti bakar dari tangan tsana.
"Air?"
"Ha?"
"Ya air, masa lo makan ga ada minum."
"Oh. Gua kira orang kaya lo udah nyiapin air minum di dunia lo sendiri ta, ga ada air."
"Ga usah becanda lo, nanti kalo keselek gimana?"
"Ya tinggal aja masuk masjid, trus minum air keran, beres kan. Gitu aja ribet." Tsana melanjutkan makannya dengan lahap.
Sedangkan anta? Laki laki itu memilih bangkit, dan menaruh bungkusan roti bakar nya, dan memilih berjalan ke warung seberang, untuk membeli 2 botol minum. Lalu kembali dan mengasih satu botolnya ke tsana.
"Tsan-"
"Ga usah ngomong, mulut lo bau ta, gue lagi nikmatin makanan gue, jangan sampe lo gue SmackDown disini ta."
Finale. Anta terdiam, dan memilih memakan rotinya dengan suasana adem.
Selesai dari kegiatan makannya, kini mereka berlanjut bermain ke pantai. Tepatnya, di pinggiran. Seraya mengambil beberapa potret poto, mengabadikan momen dikala senja tiba.
"Anta potoin gue coba, pasti bagus." Tsana memberikan kamera nya ke anta, cowo itu dengan senang hati menerima. Lalu memotret satu jepretan.
"Wah bagus ya ta, gue seneng deh di ajak ke sini sama lo, jadi gue ngerasa hidup di dunia ini."
"Jadi selama ini, lo ga ngerasa pernah hidup?"
Tsana terdiam. Gadis yang biasanya cerewet itu, mendadak terdiam, bak patung yang sama sekali ga bergerak, ga bersuara, tatapan matanya pun berubah sendu. Anta melupakan sesuatu, ia lupa bahwa dunia gadis itu tidak pernah baik baik saja.
"Tsan, maaf."
"Ga apa-apa. Lo ga salah bilang gitu. Kadang, kita Emang harus di tampar sama satu kalimat kan? Hidup bukan cuma tentang ketawa ketawa doang kan ta? Hidup itu pelajaran, makanya kenapa gue bilang gue seneng dibawa lo kesini, ya karna gue rasa, gue ngerasa hidup, belajar, serta ngerasa beban gue hilang sejenak."
Hening untuk beberapa saat, sampai tangan anta seketika meraih tangan gadis di sampingnya, dan meremat kuat, sangat sangat kuat.
"Gua tau yang lo rasain saat ini, gua tau tsan, lo ga mesti harus belaga kuat, seolah olah lu itu ga papa. Ga, manusia itu ga selamanya kuat, lo boleh teriak disini, sekencang kencengnya, lo boleh nge lampiasin hal yang selama ini buat lu sakit, sesak, lo boleh nge lepas beban lo hari ini."
Tsana mendongak, menatap lekat wajah anta, ia bisa lihat ketulusan dalam mata laki laki tersebut. Tsana bisa melihat dengan jelas, sekumpulan awan yang mendung, yang kini juga ia rasa.
"Lu itu ga selamanya kuat. Hari ini, lepasin semuanya, Yah."
Anta menarik pinggang ramping tsana, lalu memeluknya sangat erat, sangat dan sangat erat. Pelukan yang di dasari persahabatan itu, lama kelamaan menjadi perasaan yang dulu sempat anta buang, justru kembali hadir.
Tsana menangis di dalam pelukan anta, tanpa di sadari oleh anta, tsana pun menyimpan perasaan pada laki laki ini. Namun, ia dengan terpaksa harus menguburnya, dalam-dalam karna persahabatan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ananta untuk tsana
Teen Fiction8 tahun. Selama itu seorang laki laki menunggu kepastian yang tidak berujung. Tidak tau kapan berakhirnya penantian panjang itu. Hingga, suatu hari. Mereka harus selesai tanpa memulai.