1. OSPEK

330 34 66
                                    

1

• OSPEK •
.
.
.
.

"NGOMONG!"

"Mana suaranya?! Katanya mahasiswa!" Teriak salah satu panitia ospek berapi-api dengan kedua tangan berkacak pinggang. Suaranya yang lantang membuat aula semakin mencekam.

Ratusan peserta ospek hening dibungkam 'orasi'. Dua kubu saling beradu tatapan. Kubu pertama menghunus tatapan silet dengan sorot mata siap meledak. Sedangkan kubu kedua, meski jumlahnya sepuluh kali lipat lebih banyak, memilih untuk bungkam dengan redup ketakutan oleh suara-suara tajam yang menggema di seluruh aula.

Ratusan peserta ospek itu menunjukkan ekspresi yang sama, mereka muak dan ...

Lelah.

"Udahlah angkatan kaya gini ga usah dilulusin ospeknya! Mental tahu! Disuruh ngomong pada diem!" Pria berkameja parka dengan bordiran 'himpunan mahasiswa psikologi' semakin melantangkan bentakan. Telunjuknya menghentak ke arah ratusan mahasiswa baru, menunjukkan betapa membara emosinya saat ini.

"Kenapa kamu?! Sakit?!" Seru salah satu panitia perempuan dengan rambut kuncir kuda. Perempuan itu ikut mengompori suasana.

"Sakit apa kamu? Ga usah pura-pura sakit. Mau mangkir kamu dari sini?" Kak Dilla. Nama itu tersemat di nametag card yang menggantung di lehernya. Panitia ospek yang menjabat sebagai komdis alias komisi kedisiplinan itu satu dari sepuluh orang komdis lain yang kerjanya marah-marah terus sejak enam puluh menit yang lalu.

Diantara ratusan peserta ospek yang memakai setelan hitam putih- yang kini terlihat dekil karena berhari-hari tidak mandi, tidak ada satupun yang berani beradu argumen dengan komisi kedisiplinan. Apa yang mereka lakukan adalah refleks yang salah. Karena begitu ratusan maba itu tertunduk, Kak Dilla semakin garang memarahi peserta ospek lainnya.

Selalu ada aturan tidak tertulis yang wajib peserta ospek patuhi, yaitu: panitia selalu benar.

Diam dibilang tidak berpikir. Melawan dibilang krisis etika. Jika tidak ingin drama ini semakin panjang, lebih baik cari aman saja. Ikuti alur yang mereka inginkan. Semua drama ini setidaknya memang sudah di setting.

"Kalo sakit itu ngomong! Ini temennya ga ada yang mau bantuin?! Katanyaaa korsaaa!"

"Udahlah Dil, angkatan sekarang itu cuma bisa komen sampah. Giliran dikasih kesempatan buat menyuarakan pendapat, malah pada bisu!" Komdis ketiga ikut mengompori.

"Percuma berkoar-koar kalo 'suara' lo masuk telinga kanan keluar telinga kiri di kuping semua peserta ospek ini. Mereka semua lagi menikmati jadi boneka senioritas. Makanya cuma bisa nunjukin aksi bisu."

Satu-satunya peserta OSPEK yang berani mengangkat kepala kini tengah menelan saliva. Bukan karena rasa takut, tapi  karena rasa lapar yang membuatnya jengah hingga ia tidak tahan dengan ocehan-ocehan itu.

Delail Fauzi. Alias Uji.

Uji menatap datar. Terlampau santai di tengah situasi genting seperti ini. Pria itu sejak tadi diam saja bukan karena takut untuk buka suara, ia hanya malas mengikuti alur dramatis yang panitia buat.

Uji sadar apa yang dilakukan para komdis ini hanyalah pemantik. Mereka kompak meluncurkan aksi dramatisnya disaat peserta ospek mulai lelah. Mereka sengaja menekan peserta ospek dengan pertanyaan retoris untuk memancing critical thinking di situasi tertekan seperti ini. 

Mereka pastinya berharap peserta ospek mengeluarkan kekesalannya dengan argumen logis akibat bentakan-bentakan yang terkesan brain wash.

Nyatanya ada rencana tersirat bagi mereka untuk menandai siapa saja peserta ospek yang terlihat bibit-bibit unggul yang nantinya berpotensi lulus perekrutan menjadi anggota himpunan di semester depan. Program orientasi pengenalan kampus hanyalah kedok bagi mereka yang sebenarnya mengincar penerus anggota himpunan.

PERSPEKTIFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang