I. Anak baru

4 0 0
                                    

Dewi berada dalam ruangan yang cukup besar, berbentuk persegi. Dalam ruangan itu ada 2 ruangan kecil lainnya yang ditutupi dengan tirai berwarna hijau. "Ruangan kecil itu untuk apa?" batin Dewi. Ia terus menatap tirai itu sampai lamunannya dipecahkan oleh seseorang yang berada tepat didepannya.

"Dewi Anggita, 16 tahun, asal sekolah SMA IT Harapan Umat, benar?" tanya lelaki paruh baya itu.

"Iya benar Pak." Jawab Dewi dengan senyuman ragunya.

"Kita harus menunggu keputusan dari Kepala Sekolah terlebih dahulu. Ketika beliau setuju, kamu bisa mulai bersekolah besok."

Dewi hanya mengangguk. Tangannya berkeringat, padahal dalam ruang BK itu telah dilengkapi dengan AC dan cuaca diluar ruangan pun sejuk. Dalam keheningan, tiba-tiba Aini–adik Dewi memecahkan suasana. Aini menangis, ia merasa sangat bosan. Mama mencoba menghentikan tangisannya dan berkata "Sebentar lagi yaa, habis ini kita beli jajan deh." Memang kalimat itu selalu ampuh untuk menghentikan tangisan Aini. Seketika raut wajah Aini berubah, ia kembali senang. Aini baru berusia 10 tahun dan tak bisa jauh dari Mama. Ibarat magnet, Aini kutub utara dan Mama kutub selatannya. Begitulah mereka, berbeda dengan Dewi.

***

Mentari memancarkan senyumannya, cerah. Burung-burung bersautan saling memanggil satu sama lain. Langit tanpa ragu memperlihatkan pesonanya. Angin ramai bergemuruh, mengisi kekosongan bumi, saling bertabrakan dan tak berarah. Di sebuah rumah sederhana terlihat seorang gadis remaja sedang bersiap-siap tuk menyambut suasana baru dihidupnya.

"Akhirnya. Awal tahun ini akan membekas dalam ingatan ku. Ingat tujuan mu, Dewi." Sambil tersenyum simpul, Dewi berbicara sendiri di depan cermin dengan menatap dirinya penuh makna.

"Dewi..." sapa Mama agar Dewi bergegas.

"Siap Ma, berangkat."

"Berkas-berkasnya udah dibawa semua, kan?"

"Oh, iya... belum. Hampir aja lupa" Dewi langsung berbalik untuk memasukkan semua berkas yang diperlukan ke dalam tasnya.

"Kamu tuh, selalu aja."

"Sudah Ma, beres."

Sejak pukul 08.00 pagi. Dewi, Aini dan Mama berada dalam ruangan yang sepi itu, ruang BK. Hanya ada seorang guru yang menemani mereka, Pak Saleh namanya. Beliau lelaki paruh baya yang sedari pagi menyambut kedatangan mereka. Dengan kacamata tebalnya yang tidak berada tepat didepan matanya, sedikit diturunkan, berada tepat ditengah tulang hidungnya. Pak Saleh bertanya banyak hal, mulai dari alasan Dewi pindah sekolah hingga pertanyaan yang tak penting bagi Dewi. Bagaikan tes wawancara, namun kali ini dadakan.

Sangat mendadak.

Dewi tak pernah menyangka, pindah sekolah ternyata serumit ini. Ia harus mengisi surat ini, surat itu. Mengambil surat ini, surat itu. Meminta surat ini, surat itu. Mengantar surat ini ke lembaga itu dan mengambil surat itu ke lembaga ini. Membingungkan? Tentu saja.

Mempersiapkan berkas-berkas sebanyak itu adalah konsekuensi yang harus Dewi hadapi. Bagaimana tidak seperti itu, Dewi adalah murid pidahan dari sekolah yang isinya dipenuhi oleh orang-orang yang katanya ber-uang atau biasa disebut dengan kalangan borjuis – sekolah swasta - menuju sekolah yang dipenuhi oleh orang-orang biasa yang mengharapkan pendidikan gratis dari pemerintah, begitulah gambaran sekolah baru Dewi, sekolah negeri.

Dewi adalah murid pindahan dari kota metropolitan yang penuh kemacetan tanpa henti dan drama sana-sini, Jakarta menuju desa kecil dipertenghan Pulau Sumbawa, dipinggiran Provinsi kecil, Nusa Tenggara Barat, Desa Utan.

Tak terasa 6.256,86 detik telah berlalu begitu saja dengan cerita-cerita masa lalu Dewi. Mulai dari cerita masa kecilnya, masa SD nya, masa remajanya dan masa-masanya selama hidup di bumi pertiwi ini. Cerita-cerita Dewi pun diakhiri oleh keputusan Kepala Sekolah SMAN 011 Utan. Seorang datang, entah darimana arah datangnya. Mengetuk pintu, kemudian masuk dan memberi salam "Assalamu'alaikum..."

"Wa'alaikumussalam. Bagaimana, Pak Dul?" Tanya Pak Saleh kepada seorang lelaki tinggi, berbadan kurus, berkulit putih dan beberapa helai rambut putih diatas kepalanya yang tak luput dari pandangan Dewi.

Pak Dullah, guru Tata Usaha yang mengurusi berkas-berkas kepindahan Dewi dengan cekatan. Beliau lebih dikenal dengan nama sapaannya, Pak Dul.

"Kepsek telah menyetujui dan mengizinkan Dewi Anggita untuk segera bersekolah. Jadi mulai besok anaknya sudah boleh bersekolah disini. Silahkan mengambil baju seragam dan peralatan sekolah lainnya di koperasi sekolah. Mari saya antar menuju Kopsis, Bu."

Dewi, Aini dan Mama bergegas menuju Kopsis dengan mengikuti jejak langkah Pak Dullah. Sesaat keluar dari ruang BK itu, pandangan mata Dewi langsung menjelajahi lingkungan sekolah barunya yang sangat luas. Tanpa ada satu pun yang terlewati begitu saja dari pandangannya. Dewi menikmati setiap ruangan yang ia lewati sepanjang menuju Kopsis.

Ada Lapangan Basket terbaik di desa ini, dikelilingi oleh 6 pohon cemara dan 1 tiang bendera. Lapangan itu dilengkapi dengan 4 lampu sorot, 2 lampu disebelah kiri dan 2 lampu lainnya diletakkan disebelah kanan agar lapangan bisa digunakan 7 kali 24 jam. Tak lupa pula ada 4 meja bundar besar dengan kapasitas 10-12 orang dipinggir lapangan itu agar penonton leluasa untuk menikmati setiap pertandingan yang ada. Begitulah penjelasan Pak Dul tentang Lapangan Basket serbaguna itu.

Setelah selesai dengan segala urusan di Koperasi, tanpa mengulur waktu lagi, Dewi, Aini dan Mama pulang. Mama yang terlihat sangat lelah. Namun, harus bekerja karena ada panggilan mendadak dari temannya yang ingin bertemu dan membeli dagangannya. Begitulah, Mama, tak pernah kenal lelah dan selalu bekerja keras. Moto hidupnya adalah "Kapanpun itu harus dimanfaatkan tuk bekerja. Kita wanita, tak boleh manja."

Teringat akan janji Mama, Aini pun menagihnya. Selama perjalanan pulang, Dewi melamun, mimikirkan nasibnya esok hari. Lamunannya larut sangat dalam. Bahkan ia tidak menghiraukan suara rewel Aini dan perkataan Mama yang sedang menangani kerewelan adiknya itu. Dewi hanya memikirkan pesan Mama, kemarin.

"Ingat yaa, kamu jangan terpengaruh sama teman-temanmu nanti. Kamu yang harus mengubah mereka." Perkataan itu yang ada dibenaknya.

"Emang mereka nakal-nakal ya?" batin Dewi.

"Senakal apa sih mereka? Apa Dewi harus jadi anak pendiam? Iiiih Dewi harus bersikap seperti apa besok?"

Dewi LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang