VII. April

1 0 0
                                    


Tak terasa 12.960.000 detik telah dilewati Dewi. Dan dalam waktu yang terbilang cukup panjang tersebut, Dewi mendapat hal baru yang sangat berharga, Mahkota Kuning. Sepanjang detik yang terlewati, sepanjang itu pula persahabatan mereka semakin erat. Saling mengerti, mengingatkan, menasehati, menemani, mendengarkan, menceritakan. Tidak ada pertengkaran serius yang membuat retak persahabatan mereka – belum lebih tepatnya. Dewi sangat bersyukur bertemu dan bersama Mahkota Kuning.

Tak jarang Dewi ditampar dengan perkataan Nura maupun Tia. Tapi Dewi mengerti, ditampar agar sadar jauh lebih baik daripada dipeluk untuk dijerumuskan. Selain hubungan Dewi dan Mahkota Kuning yang semakin hangat, hubungan Dewi dan Satria pun biasa saja, seharusnya. Satria mulai mencari perhatian Dewi dengan segala ke- modus-annya. Tanpa sadar Dewi sudah terbawa arus dan mengikuti permainannya. Perlahan, tetapi pasti. Cara Satria dalam menyeret Dewi tepat sasaran.

Pukul 07.00 WITA. Dewi telah tiba disekolah 15 menit lalu. Tak lama setelahnya, satu dua teman kelas Dewi mulai berdatangan.

"Dewiii" April yang baru saja tiba langsung berlari ke tempat Dewi. Matanya sembab. Tanpa berkata apapun, April langsung memeluk Dewi.

"Hai April. Kamu habis nangis?" Tanya Dewi yang merasa hangat di pundaknya.

Isak tangis April yang menjadi jawabannya. Nura, Elisa, dan Tia yang sejak tadi telah berada dikelas mendekat ke tempat April dan Dewi. Sambil berbisik, Elisa bertanya kepada Dewi apa yang terjadi. Dewi menggeleng. April belum menceritakan apapun.

"April, tenang dulu. Coba ceritain ada apa? kenapa kamu nangis pagi-pagi?" Dewi dengan lembut mencoba untuk menenangkan April. Isak tangis April perlahan mereda, berusaha menceritakan apa yang terjadi.

"A - aku ... su – sudah-" April kembali terisak.

"Sudah apa April?" Tanya Tia penasaran.

"A - aku... su – sudah pu – pu - putuuus..." tangisan April kembali pecah.

"Astaga! Kok, bisa? bukannya hubungan kalian baik-baik aja?" terkejut dengan kabar tersebut, Elisa asal melontarkan pertanyaannya. Pertanyaan yang harusnya tidak terlontar saat itu juga. Waktunya salah. Karena justru, pertanyaan itu membuat April semakin terisak.

"Elisa kamu ga ngerti situasi banget sih!" Nura kesal. Langsung menjitak kepala Elisa.

"Aduuh salahku tuh apa?!"

Tia mengangkat tangannya – ingin menjitak Elisa yang tidak kunjung mengerti, demi melihat April yang masih terisak, ia mengurungkan niatnya.

"April pliss tenangin diri kamu, 10 menit lagi pelajaran bakalan dimulai" – sudah 5 menit April menangis.

"April coba liat Dewi sebentar," Mengangkat wajah April perlahan, sambil menghapus airmata di pipinya.

"Kamu tahu? Air mata ini terlalu berharga jika hanya untuk lelaki seperti dia. Berhenti menangis. Ayo kita pergi. Basuh mukamu. Kamu tahu pelajaran pertama kita apa kan?"

April mengangguk, tentu saja dia tahu. Sejarah Indonesia. Bukan mata pelajarannya yang menjadi masalah. Tetapi gurunya. Pak Po – bukan nama asli. Berasal dari kata kepo. Seluruh warga sekolah mengenalnya dengan julukan itu. Dan benar tabiatnya. Apa pun akan ditanyakan sampai rasa ingin tahu nya benar-benar tuntas. Bahkan, dia rela menghabiskan 2 jam mata pelajarannya hanya untuk menguak sebuah informasi – keponya yang tak berujung.

Jika saja ini tidak disekolah, mungkin April tidak akan berhenti semudah ini. Setelah berusaha mengatur nafasnya yang tersengal, April beranjak keluar. Ditemani oleh Dewi. Dia lebih memilih menahan sebentar emosi yang tengah menggebu-gebu daripada harus menjadi bahan ke-kepo-an Pak Po. Sekali saja Pak Po tahu April menangis karena laki-laki, tak perlu waktu satu jam untuk seluruh sekolah mengetahui kabar itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dewi LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang