IV. Sepak Bola

1 0 0
                                    

Hari ini mereka berolahraga. Dengan matahari terik, udara panas dan baju kaos yang penuh dengan keringat. Namun, keceriaan masih menyelimuti anak MK –Mahkota Kuning. Tanpa perlu meresmikannya secara formal, grup itu telah resmi menjadi center di sekolah. Mereka bukanlah perkumpulan siswi-siswi cantik. Bukan pula perkumpulan para borjuis. Bukan pula perkumpulan anak-anak nakal. Dan mereka bukanlah perkumpulan anak-anak kontroversial.

Mereka menjadi sorotan karena mereka beragam. Mereka bisa bersatu dengan keberagaman yang mereka punya. Dan mereka terlihat saling melengkapi satu sama lain. Dengan kata lain, mereka berhasil membuat siswa-siswi lainnya saling menghargai.

Tak butuh waktu lama bagi Dewi untuk akrab dengan teman sekelasnya. Dewi selalu memanfaatkan jamkos sebagai waktu yang tepat untuk mengenali teman-temannya, satu per satu. Dewi sangat senang bercerita dan mendengarkan cerita. Dewi juga senang menanyai pendapat mereka atau masalah yang sedang mereka hadapi. Tak heran bila Dewi dan mereka semua dengan cepat dapat akrab.

Setelah pelajaran olahraga berakhir, April mengajak Dewi, Tia, Elisa dan Nura ke kantin. Tanpa basa-basi mereka langsung menuju kantin. Pelajaran olahraga memang selalu berhasil menguras banyak tenaga dan mengosongkan isi perut. Sebagai center, mereka menjadi pusat perhatian saat berjalan menuju kantin, tapi bagi Tia, Elisa, Nura dan April itu adalah hal yang biasa. Namun, bagi Dewi itu adalah hal yang biasa juga. Dewi tidak akan peduli dengan hal sepele itu.

Mereka tidak pernah makan pada tempatnya –kantin. Mereka selalu makan didalam kelas, bagaimana pun kondisi kelas mereka. Saat itu, Dika, Medi dan Satria sedang bermain futsal di dalam kelas. Anak MK tidak pernah memerdulikan itu, yang terpenting mereka dapat makan dengan kenyamanan seperti yang mereka inginkan.

Dewi makan sambil memerhatikan permainan futsal mereka. Dewi tak fokus dengan makanannya, dia lebih fokus melihat keahlian Dika, Medi dan Satria, sambari membandingkan siapa diantara mereka yang paling ahli dalam bermain. Mata Dewi tak beranjak dari Medi. Medi bermain dengan buruk. Bola adalah benda mati dan kaki manusia tidak dapat mengatur dengan sempurna arah gerak bola. Medi tidak pernah bermain dengan serius. Dia selalu bermain dengan penuh emosional. Dia sangat buruk dalam mengontrol arah gerak bola. Medi sangat ceroboh. Bola yang ditendangnya itu, mengenai kepala Nura.

Bukan Nura namanya, jika tidak menyelesaikan masalah dengan diam. April yang sangat paham dengat sikap, sifat dan perilaku Nura, tahu persis, pasti Nura sangat marah dengan Medi. Namun, Nura tidak akan mengukapkannya, dia hanya diam, mendiami Medi, tidak mau berbicara, menatap Medi dengan sinis dan tanpa senyuman. Sadis.

Suasana dalam kelas itu berubah. Hening. Suram. Mencengkam. Mata saling menatap satu sama lain. Udara enggan untuk masuk, bahkan untuk numpang lewat pun tiada. Burung tak lagi saling menyapa, mereka pun ikut membisu. Pepohonan yang terlihat dari jendela, seakan membeku. Meja dan kursi pun menjadi saksi bisu dihari itu. Suasana seperti itu bertahan cukup lama, sekitar 83,79 detik. Tak ada satupun yang berani membuka suara, selain April. Dan seorang seperti Medi ikut terdiam. Jika tidak dipaksa, dia tak akan bicara.

"Medi. Diam aja dari tadi. Minta maaf kali. Emang gak merasa bersalah yaa?" Cetus April.

"Ya, sorry, Pril. Kan aku gak bisa mengendalikan benda mati itu. Terserah dialah mau kemana, ya kan? Iya-lah. So, pasti aku benar. Haha.." Jawab Medi dengan santai. Tanpa rasa bersalah. Tanpa memperlihatkan wajah bersalahnya, seolah dia tak perduli dengan Nura yang terus menatapnya sinis.

"Masih bisa ketawa lagi. Dasar manusia. Udah minta maafnya ke aku lagi, bukannya ke Nura. Aneh. Heran-heran, bisa-bisanya kita sekelas. Eh, jangan-jangan kamu bukan manusia yaa. Kamu pasti jelmaan iblis. Ngaku!...bla...bla...bla...." Tanpa henti, April terus berbicara hingga Medi lelah mendengar semuanya. Walaupun mudah saja bagi Medi tuk meninggalkan mereka tanpa bertanggung jawab. Namun, Medi bukanlah orang yang tidak bertanggung jawab. Dia laki-laki yang sangat bertanggung jawab, meski kadang dia suka bercanda.

Medi berjalan menuju tempat Nura. Nura sekarang telah kehilangan selera makannya. Nura sangat ingin melempari Medi dengan saus yang ada dihadapannya, tapi dia memilih tuk tetap diam. Sambil bertekuk lutut, Medi berkata "Nura, aku minta maaf yaa... lagian bukan aku yang salah. Nanti bolanya aku hukum deh. Percayalah. Maaf yaa, aku boleh main lagi kan? Okay, kalau kamu udah maafin, kasih tau aku."

Entah, itu perkataan serius atau tidak. Entah, jawaban Nura, ia atau tidak. Medi kembali bermain dengan Dika dan Satria. Suasana kembali seperti semula. Seperti tak ada masalah yang telah terjadi. Semuanya terlupakan begitu saja.

Namun, tidak dengan Dewi. Dewi masih menyimpan pertanyaan dalam pikirannya. Sederet pertanyaan telah berbaris dengan rapih. Seperti, Bagaimana perasaan Nura? Apa Nura baik- baik saja? Medi itu orang jahat atau baik? Kenapa Medi seperti itu? Apa Medi tidak merasa bersalah?

***

Angin malam memburu kamar Dewi. Masuk tanpa permisi, keluar meninggalkan jejak–dingin. Dewi tak bisa tidur. Ia gelisah. Beberapa kali Dewi mencoba tuk memejamkan matanya, tapi dia tetap terjaga diatas kasurnya. Dewi memutuskan untuk menghubungi Nura melalui pesan suara dan bertanya "Nura, gimana?"

"Apa?"

"Hmm..... masalah yang tadi di sekolah. Nura maafin, Medi kan?"

"Iya. Dia emang gitu, tapi aku tetap ngediamin dia. Biarin aja, sampai dia jera."

"Alhamdulillah, Dewi kepikiran terus tau. Kirain Nura nyimpen dendam banget sama Medi. Terus Nura gak mau maafin Medi."

"Gak mungkinlah. Aku gak sejahat itu. Lagian aku tau Medi kayak gimana orangnya."

"Yaudah deh. Sampai bertemu besok. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Malam ini, diakhiri oleh percakapan antara dua orang yang mencoba tuk saling memahami. Dewi sangat susah tuk memahami sifat Nura. Wajar saja, Nura itu paling berbeda diantara tiga anak MK yang lainnya. Nura bersifat sangat dingin, tapi terkadang dia bisa menjadi orang yang berbeda. Bahkan dia pernah mencairkan suasana canggung, itu menurut cerita April.

Nura, tipikal orang yang memaknai persahabatan dengan sensitif. Baginya sahabat adalah keluarga. Keluarga itu tidak akan pernah mengkhianati, saling mengasihi dan menyayangi, serta saling berbagi. Nura sangat memahami sifat, sikap dan perilaku sahabatnya. Dia orang yang sangat detail dalam menilai orang lain. Begitulah kesimpulan dari pengamatan Dewi dalam dua hari ini.

Disisi lain pada malam itu. Terlihat Nura yang masih mematap layar HP nya. Dia sedang membaca novel. Bukan hal yang baru bagi Nura tuk tidur larut malam. Nura sangat gemar membaca, hanya membaca novel. Nura terbiasa tidur saat jarum pendek menunjuk angka 2, dini hari.

"Bisa gak, ya, aku percaya sama Dewi? Apa Dewi bisa menjadi teman yang baik? Dia layak gak, ya, buat dijadiin sahabat? Lihat dulu aja deh, gimana kedepannya. Mungkin untuk saat ini, aku gak bisa sepenuhnya kasih kepercayaan ke dia." Gumam Nura sesaat sebelum dia tidur, sembari menunggu terlelap.

Dewi LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang