Imigran Lari

19 0 0
                                    


Hatiku amat sangat tersentuh. Aku tak pernah mempunyai perasaan yang sama oleh gadis ini. Aku tak pernah merindukan orangtuaku, bahkan negara-lama-ku.

🇮🇩

"I so pround with this country..." aku mengumbar excaitedku, semacam anak TK yang baru mendapatkan lolipopnya. Yeah..mungkin nampak berlebihan di mata mas Rizal.

Bola matanya berputar tampak bosan. " Harus banget setiap dapet kebahagiaan, kamu melulu mikir kalo negri ini yang menjadi togak keberuntunganmu. Dewi fortune buatmu."

" Ya, memang itu yang terjadi. Amerika itu kaya amulet yang menetap di sanubariku." rona ku masih binar bahagia. Menatap lalu lalang ramai di kota metropolitan ini.

"I love NYC," dia mengoyangkan kepalanya." i very happy stay in here, and i'm pround of with this country." Ucapnya di buat menjiplak dengan nadaku.

Mas Rizal sudah biasa mencibirku untuk hal semacam ini.

"Are you jealous ?" mataku bergeming mengodanya.

"Not..." dia mengibaskan tangannya yang semula hendak menyentuh cangkir kopi. " Your country is jealous."

Aku terkekeh mendengar itu. "Indonesia ngak akan rugi cuma karena satu rakyatnya mencintai negara tetangga.."

"Are you Indonesian ?" seorang gadis tiba tiba datang. Napasnya tersengal,  tak beraturan dengan ritme yang tak bisa ku definisikan.

Dia melepas kacamata hitamnya. Melepas topi yang melingkari kepalanya. Rambut nya terhelai indah berwarna hitam lekat.

Aku bergeming menatapnya tajam. Separuh hatiku ingin tertawa terpingkal melihat raut wajahnya yang penuh kecemasan.

"I'm not." ucapku tegas. Ya aku salah ucap tadi tentang obrolan ringan ku -Indonesia ngak akan rugi cuma karena satu rakyatnya mencintai negara tetangga-

Aku salah, aku bukan lagi rakyat Indonesia menurutku.

"Dia Indonesia." mataku mengarah pada mas Rizal yang tengah menikmati kopi miliknya.

"Please, help me...! i need indonesian." dia memelas pada mas Rizal. Menyeret kursi dan bergabung untuk duduk bersama kami.

"Saya Nira, asli Tegal, Jawa tengah." dia mengayunkan tangannya.

Tapi mas Rizal dengan enggan menolak salam yang di ajukan. Dia hanya mengangguk dan menyatukan tangan pada dada. -isyarat salam muslim.

"Oh maaf." gadis itu di buat salah tingkah oleh penolakan mas Rizal.

"Tidak masalah, saya Rizal dari Jakarta."

"Tolong bawa saya, mas...saya butuh perlindungan. Saya mohon..." ucapannya tampak tergesa.

Aku hanya menatap drama ini dengan penuh selidik.

" Saya seorang imigran, dan saya benar benar tak mengenal siapapun di negara ini... Selama ini saya di kurung oleh majikan saya. Alat komunikasi saya di sita.

Dan saya benar-benar kehilangan teman dan waktu untuk berkomunikasi dengan keluarga. Saya benar-benar mis komunikasi dengan semua hal yang berbau Indonesia selama  dua tahun ini.

Dan beberapa bulan terakhir ini, majikan saya begitu kasar. Dia selalu memukul, menjambak dan bahkan sering mendorong saya. Dia selalu membentak saya karena sebuah kesalahan kecil yang tak sengaja saya lakukan.

lima bulan saya tak di beri gaji. Fasilitas makan sangat minim dan saya sering kelaparan."

Mas Rizal menaikan alisnya. Memberi isyarat bahwa dia ijin pergi untuk memesankan makanan untuk gadis malang ini.

Aku mengangguk. Mengambil alih perbincangan dengan gadis malang ini.

Hatiku turut mengiba. " Kenapa kamu masih bisa bertahan sejauh ini ?"

Dia menangis sejadi-jadinya. Hatiku makin rapuh mendengar pilu isakannya. "Saya selalu berusaha kabur, namun saya takut. Saya tak mengenali daerah ini, saya tak punya kenalan dan relasi.

Tolong saya, mba... Saya merindukan keluarga saya di Indonesia... Saya merindukan negara saya, mba..."

Hatiku amat sangat tersentuh. Aku tak pernah mempunyai perasaan yang sama oleh gadis ini. Aku tak pernah merindukan orangtuaku, bahkan negara-lama-ku.

"Negara ini seperti neraka buatku, mba... Aku tersiksa di sini..."

Aku memeluknya, berharap ada sedikit ketenangan dalam sanubarinya. " Belive, all is well. Negara ini ngak seburuk yang kamu kira." aku mengelus kepalanya lembut. Dewi Fortune united state tidak berpihak padanya.

"Saya mau pulang, mba. Tolong bantu saya. Ibu saya benar, tak baik seorang wanita keluyuran jauh demi sebuah pekerjaan. Tapi saya tetap ngeyel dan nekat mau pergi, mba..

Mungkin ini karma untukku, mba. Karena sudah durhaka pada ibu." Kalimat terakhirnya bagai petir yang menyambar hatiku. - Durhaka pada ibu-.

Aku menghela napas, malah mencoba mensetabilkan laju emosionalku. Jangan terlalu sentimentil, Risna !

Aku mengulas senyum palsuku. "Semua ibu memang begitu. Terlalu sayang pada anak gadisnya..."

Saat itu aku hanya mengkalkulasi kemungkinan nasibku. Bisa jadi sebentar lagi aku bernasib lebih malang dari Risna -sebab kedurhakaan - itu.

Imposible !
Aku terus meyakinkan diriku, all is well.

"Ekhem.." deheman mas Rizal nampak mencibirku atas perkataanku barusan. Aku bahkan tak menyadari jika dia sudah kembali dengan sepiring sendwich dan segelas minum di tangan kirinya.

"Minum dulu biar agak tenang." katanya sembari mendaratkan sepaket makanan.

"Terimakasih, mas." ucapnya penuh hormat.

Aku melihat binar di matanya. Dia lahap memakan sendwich itu, sedang aku dan mas Rizal hanya saling bertatap iba.

Mas Rizal membuka smartphone miliknya. Yah, kami saling diam menunggu Nira selesai makan.

Aku masih sibuk dalam pengamatan lalu lalangku. Ada keasyikan tersendiri saat menatap pelataran Manhattan night dari out door cafe.

Namun di tengah-tengah itu...

BRAAKK !

seseorang menarik lengan Nira dengan keras hingga Nira menghamburkan sendwichnya di udara.

Tubuhnya terjatuh cukup keras terkena sandaran kursi.

"FOLLOW ME !" Bentak pria itu kasar. Dia terus mencoba menarik Nira pergi.

Nira menangis sejadi-jadinya, dia terus menolak.

Tetangga Diaspora AmerikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang