prof. Riech, Kelewat Genius

8 0 0
                                    

Air matanya mengalir lembut basahi wajah asianya. "Terimakasih banyak, saya hanya merasa merindukan Indonesia. Dan ingin mengabdikan diri padanya walau hanya dengan hal kecil yang tak begitu bermakna."

🇮🇩

Mas Rizal mengirim kode bisnis padaku lewat angukannya. Aku mengerti apa rencananya.

Dia melangkah layaknya spidermen yang akan memulai pertarungannya dengan Green Goblin.

" Sory, can we talk about this ?" tanya mas Rizal datar.

Laki-laki besar itu menatapnya dengan penuh amarah yang belum juga padam. "Don't interfere !" bentaknya keras.

Laki-laki itu mencoba menarik lengan Nira, namun terhalang langkah gesit mas Rizal yang maju dan menahan lengannya.

Nira mundur satu langkah dan aku menariknya kabur.

Amarah membuat tangan kanannya melayang pada perut mas Rizal.

Langkahku hampir tertahan kala mendengar suara tubuh mas Rizal jatuh ke lantai.

Mas Rizal mengibaskan tangannya menyuruhku pergi. Dia masih berusaha bicara pada laki-laki itu. Laki-laki itu mengelak tak peduli pada bujuk mas Rizal.

Aku berlari menarik Nira dengan degup jantung yang lebih cepat dari aturan normal.

Tapi lagi, langkahnya yang lebih besar  berhasil sampai di depanku. Mataku melebar melihat wajah emosionalnya. Refleks aku menginjak kakinya dengan keras.

Dia refleks melompat, kehilangan keseimbangan. Aku mendorong tubuh besarnya yang sedang meringis kesakitan dan kami kembali berlari. Aku mengenal sebuah tempat kecil di sini. Gudang terbuka milik profesor Riech.

Aku menarik lengan Nira agar langkahnya lebih cepat. Dua menit kami berlari dan aku yakin jejak kami tak di ketahui oleh pria yang sudah mulai kelelahan itu.

Sembari mengatur ritme jantungku. Aku mengamati sekeliling, memastikan semuanya aman baru aku berani membuka pintu gudang itu.

Nira masih tampak shock dengan pelarian ini. Tubuhnya gemetar dan dingin.

Aku menutup pintu gudang dan menguncinya. Mendengar brisik dari suara pintu seseorang menyalakan lampu pijar ruangan.

Gelagap Nira yang panik makin terkejut sebab pencahayaan mendadak ini.

"Sorry, prof... I'm Risna." aku berjalan menyusuri koridor utama, masih mengandeng tangan dingin Nira.

"Profesor Riech pasti ada di dalam gudangnya." bisikku pada Nira. "Dia orang Gorontalo yang sudah puluhan tahun menetap di Amerika. Kita bisa bersembunyi di sini sampai mas Rizal menjemput."

Nira hanya mengangguk menyetujui rencanaku.

"Long time not meet you, Risna" sambut prof Riech bersahabat.

Aku tersenyum, dan mengambil segelas air di dispenser hitamnya. "Yesterday my schedule is so full." aku memberikan segelas air itu pada Nira.

Dan kembali mengambilnya untuk ku teguk sendiri. Aku kenal dekat dengannya, kami seperti saudara. Jadi gerakku bebas di sini. Prof Riech sangat loyal dan santai. Dia juga sosok yang friendly dengan siapapun.

"Aku membawa imigran dari Indonesia, dia ingin pulang karena tersiksa hidup di negri ini. Dan kami baru saja melarikan diri dari majikannya yang terlaknat itu." Aku membuka perbincangan dengan beliau yang tengah sibuk dengan layar laptop dan buku ensiklopedia besar di tangan kirinya.

Beliau menatap Nira dan menyipitkan matanya. " TKW ?"

Nira mengangguk.

"Lulusan apa kamu ?"

"Tamat SMP dan berhenti sekolah saat pertengahan SMA."

"Kenapa berhenti ?"

"Bapak saya meninggal dunia dan ibu saya hanya pedagang kue keliling. prekonomian kami berangsung surut. Padahal adik saya tiga, mereka hidup dalam tangunggan saya."

"Indonesia menyediakan beasiswa bukan ?"

"Iya, tapi proses dan waktunya terlalu rumit. Santunannya cukup untuk memenuhi spp dan uang makan harian. Sedang kebutuhan hidup lain seperti listrik dan air PDAM, masih harus kami tanggung. Padahal sekarang ibu saya semakin rapuh dan sering sakit-sakitan."

Aku mengiba pada nasib malang gadis ini. Gemuruh hatiku makin benci pada Nusantara.

"Biasalah prof, kurangnya pemerataan Retribusi Pemerintah Ngak semua orang kurang mampu bisa ambil beasiswa. Kebanyakan mereka malah ngak tau syarat dan petunjuk buat daftarin dirinya.

Kasus umum, kurangnya pemerataan pengetahuan. Dan kadang mereka malah di akali oleh orang lain."

Profesor Riech terkekeh. "Tipu daya Nusantara." dia mengambil secangkir kopi miliknya.

"Ngak usah pulang ke Indonesia. Kamu bisa cari pekerjaan lain disini.
Makanya sekolah tinggi." aku menunduk, tak enak hati dengan ucapan beliau pada Nira.

Yah, itulah salah satu kekurangan beliau. Terlalu lost control dalam berbicara.

"Personal brandingnya di naikin. Jangan puas cuma jadi babu untuk orang asing. Mayoritas pribumi Nusantara gitu,kan? Jadi babu negara tetangga dan balik kampung jadi sultan di desa."

Agh... Aku benci mengangkat topik Nusantara. Bisakah profesor Riech lebih arif dalam menyampaikannya ?
Walaupun kebenarannya akurat tapi menurutku itu akan menyakitkan bagi Nira.

"Aku akan membawanya pulang ke Indonesia, prof. Kamu berani pulang sendiri ?"

Nira mengangguk agak ragu.

Sedikit banyak aku bisa membaca isi pikirannya. Prihal financial yang menipis dalam dompetnya, tak cukup untuk pergi ke Nusantara dan tak cukup juga untuk hidup selanjutnya.

"Padahal peluang meningkatkan harta, tahta dan personal branding kita jelas terbukti disini. Selama ini saya ogah pulang ke Nusantara.

Negara itu tak bisa memberi ruang bagi riset-riset besar saya. Dan kita bisa lihat betapa berbedanya impact yang kita dapat dari hidup di NYC ini di banding dengan gaji bekerja di Indo.

Apalagi untuk kamu yang hanya tamat SMP ? di Indonesia ijazah sekolah adalah segalanya. Mereka tak berfikir tentang aspek kefahaman, terbukti dari banyaknya pelajar yang curang dalam proses belajar.

Begini nak, jika kau mau kau bisa bekerja di salah satu teman diaspora saya yang membuka kedai martabak manis di Astria ? Kau tak perlu capek-capek pulang ke Indonesia. Ke negara yang membutuhkan ijazah tinggi untuk bekerja."

"Nira bisa bekerja buruh di desa, prof. Buruh tak memerlukan ijazah." katanya

Profesor Riech terkekeh. "Upgrade your mine, please. Oke, kamu benar. Buruh memang tak butuh ijazah, tapi kalo kamu bisa dapatkan hal yang besar disini kenapa kamu malah memilih sesuatu yang kecil ?

Apa adik-adikmu bisa sejahtera di tangan kakaknya yang seorang buruh ? Sedang ibunya juga butuh biaya pengobatan ?"

Nira diam.

"Kalo kamu ingin lanjut study, aku bisa membantumu untuk mencari beasiswa." tawarku

Nira hanya tertunduk lesu.

"Think out sit the box, Nira."

"Prof. Riech ada benarnya. Beliau bermaksud memberi peluang bagimu."

Air matanya mengalir lembut basahi wajah asianya. "Terimakasih banyak, saya hanya merasa merindukan Indonesia. Dan ingin mengabdikan diri padanya walau hanya dengan hal kecil yang tak begitu bermakna."

"Mengabdikan diri itu mempunyai makna yang luas, nak. Kau pikir jadi TKW tak berarti memberikan devisa bagi anggaran negara ?

Kau pikir Diaspora hanyalah orang yang melarikan diri dari efort peningkatan kualitas bangsa ?

Hanya Risna yang begitu, dia satu-satunya orang yang membenci Indonesia dan melarikan diri melampiaskan semuanya ke Amerika." Prof. Riech tersenyum keji.

Aku tak menyangkal pernyataan itu. Karena praktisinya real terjadi padaku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 23, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tetangga Diaspora AmerikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang