Suasana canggung itu berlangsung selama beberapa menit, Beberapa kali itachi dan neji hanya bisa menghela nafas, mereka lebih memilih mengamati pasien yang berlalu lalang di taman rumah sakit.
"Bukankah kita sudah sepakat?".
Neji akhirnya memulai percakapan, tak mungkin ia terjebak lama disini, ia harus memastikan sasuke tak berbuat macam-macam pada adiknya.
Itachi memejamkan matanya, tak mau membantah karena memang semuanya sudah disepakati, ialah yang melanggar kesepatakan itu.
"Aku terpaksa membawanya kesini".
Helaan nafas berat itachi membuat neji menatap pria itu, menuntut pernyataan lebih pada pria stoic itu.
"Sasuke depresi, beberapa kali ia ingin mengakhiri hidupnya, dia bilang, dia ingin menemui hinata....-".
Itachi memberi jeda, menatap pada langit biru yang cerah, lucunya ia berharap langit mendung agar percakapan ini bisa cepat selesai tanpa ada penjelasan yang tak mau ia ucapkan.
"....-bukankah itu karmanya?, Aku berharap begitu tapi kami juga tidak bisa kehilangan sasuke".
"Dengan mengorbankan hinata?".
Mata mereka saling beradu, demi dewa, itachi tak pernah ingin menyakiti hinata lagi, tapi ia juga tak bisa hanya diam dan melihat adiknya tersakiti.
Entahlah ini semua seperti korban dan pengorbanan, sia-sia.
"Mereka masih saling mencintai, neji, sudah seharusnya sasuke ada saat kondisi hinata seperti ini".
"Adikku membenci sasuke, kau ingat itu, bagaimana bisa kau bil...".
"Itulah kenapa cinta dan benci tak bisa ditempatkan pada satu tempat, hinata masih mencintai sasuke itulah kenyataannya".
Neji menatap tak suka, itachi memotong ucapannya dan berbicara omong kosong, hal itu membuatnya berdecak kesal.
"Kau bisa membenci sasuke, tapi tidak dengan cinta yang hinata punya kan?".
"Berhentilah mengatakan omong kosong, itachi".
Itachi tersenyum kecut, memang tak mudah bagi neji untuk menerima kehadiran sasuke, tapi itachi yakin, lambat laun, neji bisa menerimanya.
"Aku yakin hinata akan senang jika tau sasuke ada disampingnya".
"Kau lupa bahwa sasuke juga ada pada saat dimana hinata bunuh diri".
Itachi tak memungkirinya, saat itu memang di luar kendali sasuke, hinata yang saat itu bukanlah hinata yang mereka kenal, hinata saat itu mengalami depresi yang membuatnya melakukan hal extreem seperti itu.
"Mereka bisa memulainya dari awal".
Neji mendecih, apa semua semudah kata memulai dari awal?, Bahkan ia tak tau sampai kapan hinata harus terbaring lemas tanpa bisa melakukan apapun, neji sangat ingin melihat senyum adiknya lagi.
"Aku tid...-".
"Lakukanlah demi rui, dia membutuhkan hinata dan sasuke".
Neji mengepalkan tangannya, ia tak bisa berkutik jika rui disangkut pautkan, ponakannya itu baru saja menginjak masa remaja, neji tau pada usia itu, rui berada pada fase labil.
"Baiklah, tapi bukan berarti aku tidak mengawasi kalian, jika sampai kondisi hinata memburuk, orang pertama yang akan kubunuh, itu kau itachi".
Itachi mengangguk setuju, ia siap dengan segala konsekuensinya.
"Aku mengerti".
.
Semenjak hari itu sasuke lebih sering menghabiskan waktunya di rumah sakit, tak ada kata absen jika itu untuk menemani hinata, sasuke akan datang pada siang hari sampai malam menjelang, biasanya dia bergantian untuk menjaga hinata dengan neji.
Kondisi sasuke pun mulai membaik, namun tidak dengan hinata, alat-alat itu benar-benar tak berfungsi dengan baik, hinata tetap koma tanpa ada kemajuan yang signifikan.
Sudah 2 bulan sasuke disini, ia yang awalnya mendapat harapan kini kembali dilanda prustasi, matanya mengarah pada tubuh lemah hinata.
Hinata tampak kurus dan pucat, sasuke duduk di sisi ranjang lalu menggenggam erat tangan ringkih istrinya.
"Sayang...., Kau masih belum mau bangun?,...". Sasuke tersenyum, kini tangannya berpindah untuk mengelus lembut rambut hinata.
".....bangunlah, aku merindakanmu".
Tak ada respond, hinata seperti putri tidur yang tak akan pernah mau bangun, tapi ini bukan cerita dongeng dimana sang putri akan bangun dengan sebuah ciuman, sasuke sadar mungkin kemungkinan untuk hinata sadar itu hanyalah sedikit.
Tapi sasuke tetap berharap, ia masih ingin melihat senyum manis hinata, canda tawa hinata, dan semuanya tentang hinata, hanya itu.
"Kau ingat?...., Dulu kau pernah bilang tak ingin bertemu lagi denganku".
Sasuke beranjak, ia mengambil sebuah buket lavender yang ia letakkan di sofa.
"Aku tak menjawab, aku tak ingin kemungkinan itu terjadi".
Kini sasuke sudah kembali ke sisi ranjang hinata, menaruh buket itu tepat di samping istrinya.
"Nyatanya, aku ingin kau selalu ada untukku, aku ingin takdir mengikat kita dalam kehidupan dan kematian yang sama, aku ingin kau tau bahwa jika ada wanita yang kucintai, maka itu harus kau".
Sasuke terkekeh, ia mengatakan rayuan basi yang tak berguna, hinata tak akan bangun jika hanya mendengar bualan murahnya.
Semua yang terjadi dalam ruangan itu tak luput dari pandangan rui, pria itu bisa melihat dari depan pintu karena kebetulan pintu itu terdapat kaca transparan yang masih bisa dijangkau pandangannnya.
Rui mendecih, "brengsek". Gumannya, meski sudah mulai memaafkan sasuke, tapi bagi rui sekali brengsek maka ayahnya akan selamanya berada dalam list kata itu.
"Kau harusnya senang bisa melihat mereka kembali bersama".
Seorang gadis menepuk bahunya dan kini sudah berdiri di sampingnya, "entahlah, aku takut dia kembali menyakiti ibuku, sumire".
Gadis itu tersenyum lembut lalu menggenggam telapak tangan kekasihnya, "aku percaya pada cinta mereka, ayahmu sangat mencintai ibumu, tidakkah kau melihatnya?".
Mendengar penjelasan kekasihnya membuat hati rui menghangat, ia kembali tenang hanya dengan kalimat yang sumire ucapkan, setidaknya, setelah mengetahui ibunya masih hidup, keadaan sasuke juga ikut membaik, meski kini ibunya dalam fase koma, yang tak tau kapan ia bisa sadar.
"Hm, kalau begitu, aku akan mempercayakannya pada ayahku".
Sumire mengangguk setuju, mereka pun berbalik untuk meninggalkan ruangan itu.
.
Mikoto menghela nafasnya, ditatapnya taman manshion uchiha yang dulu hinata sangat sering menghabiskan waktu disana jika sedang berkunjung, menantunya memang sangat suka berkebun, bahkan semua jenis tanaman itu hinata yang membelinya, dia bilang dia ingin melihat banyak warna di rumah yang suram ini.
Namun semua itu sekarang seakan tidak ada warna lagi, meski taman yang hinata buat tetap dirawat oleh para pelayan di rumah ini, tapi tetap saja, semua terasa hampa tanpa kehadiran menantunya.
"Apa keputusan kita sudah benar?".
Fugaku yang baru saja tiba, dan duduk di samping istrinya hanya bisa menghembuskan nafas berat, terlepas dari kesalahan fatal mereka sebagai orang tua, fugaku tau jika mikoto bukan hanya sedang mengkhawatirkan sasuke, tapi juga hinata.
"Kita serahkan semuanya pada sasuke".
"Seharusnya kita masih menyembunyikan kebenarannya, bagaimana jika hinata,... dia......--".
Mikoto menjeda ucapannya, setetes air mata membasahi wajah cantiknya, dia sudah menganggap hinata sebagai putrinya sendiri.
"....-bagaimana jika dia kembali kecewa?".
"Jika itu terjadi maka aku tak akan memaafkan sasuke untuk yang kedua kalinya".
"Berjanjilah sayang, jika hinata sadar nanti, buatlah dia bahagia dan melupakan semua yang telah terjadi".
"Hn".
Segini dulu aja, next?.
KAMU SEDANG MEMBACA
illusion (Tamat)
Teen Fictionsasuke tidak pernah percaya kehidupan setelah kematian itu ada. "kuharap tidak pernah bertemu denganmu lagi, sasuke, baik di kehidupan sekarang, maupun selanjutnya".