7.the truth

98 20 1
                                    

Hari Haruto dimulai dengan sesak di dadanya,alih-alih sedih—lebih banyak amarah disana.

Tempat disebelahnya diatas kasur kosong dan dingin, tapi Haruto bisa dengar samar gemericik air dari kamar mandi. Si pria Watanabe bangkit perlahan—lalu mengambil ponselnya diatas nakas.

Haruto menghela napas kasar,melempar ponsel setelah melihat tanggal dan hari disana. Tentu saja, apa yang ia harapkan? Langkahnya ia seret menuju lemari pakaian besar disamping.Menarik hoodie dan sweatpants hitam disana dengan acak—melupakan fakta kalau Junkyu tak suka dirinya mengacak-acak lemari. Haruto kenakan topi hitamnya ketika Junkyu keluar kamar mandi.

"Haru? "Haruto dengar Junkyu memanggil namanya namun tak menoleh—beringsut mengambil ponsel, se-pack rokok dan kunci rumah. Kemudian—tanpa perlu repot menoleh menatap Junkyu—berjalan keluar kamar.

"Haru?tunggu—mau kemana? "Junkyu menarik lengannya, yang dengan cepat Haruto tepis.

"Keluar. "kasar, dan singkat jawaban si Pria Watanabe dengan suara seraknya.

"Kemana?"Junkyu bertanya dengan bingung, suaranya lembut namun sedikit bergetar. Haruto ingin peluk Junkyu namun amarahnya lebih besar.

"Kemana saja, aku tak tahu. "

"Lalu pekerjaan—"

"Aku tak peduli!"suara si pria naik beberapa oktaf, "Aku tak peduli soal proyek sialan yang selalu kau suruh cepat selesai itu! Aku tak peduli, persetan dengan semuanya! "

Kim Junkyu menatapnya dengan netra melebar, namun tak ucapkan apapun. Haruto tahu ini semua bukan salah Junkyu,tidak sama sekali.

Tapi ia hanya marah soal pikiran Junkyu akan meninggalkannya, kenapa Junkyu harus pergi? kenapa Junkyu harus mati? Kenapa Junkyu seolah selalu ingin meninggalkan Haruto sendiri?

"Haru, a-aku... "

Kalimat Junkyu tercekat.Netra cokelat itu berkilau oleh air mata,napasnya bergetar dan butuh beberapa detik untuk Haruto sadar ia bicara terlalu kasar. Napas Haruto tersekat di tenggorokan nya namun daripada meminta maaf lalu menenangkan Junkyu, Haruto melangkah keluar, mengenakan sepatunya dan meninggalkan apartemen.

Cuma satu tempat terlintas di kepalanya—studio Hyunsuk.

Studio Hyunsuk cukup jauh dari apartemennya, namun kali ini Haruto benar-benar serius kesana. Sejenak langkahnya berbelok ke taman, Haruto butuh tempat menenangkan diri sebentar—berpikir jernih tentang semua ini. Haruto masih tak mengerti kenapa ini semua terjadi,masih tak mengerti bagaimana menyelamatkan Junkyu.

Apa ia harus benar-benar menyelamatkan Junkyu?

Pikiran itu terlintas di kepalanya, undang getaran aneh merayapi Haruto. Entah itu karena udara dingin pagi ini atau karena betapa mengerikan pikiraln itu. Haruto menggeleng kecil. tak mungkin, tentu saja Haruto akan menyelamatkan Junkyu, ia tak akan biarkan Junkyu-nya pergi

Haruto keluarkan sebatang rokok dari saku jaket,ambil juga lighternya dari dalam—jepit diantara bibirnya.Haruto sudah berhenti merokok beberapa tahun lalu sebenarnya,ia tahu Junkyu benci itu,dan Haruto lebih tak suka jika Junkyu marah padanya.Namun terkadanng,ia butuh mengendalikan perasaannya.

Sang pria Watanabe sesap dalam rokoknya—rasakan asap penuhi paru-parunya.

Yah,sangat hangat dan menenangkan.Haruto sudah lupa bagaimana rasanya sejak Junkyu marah dan membuang semua rokoknya.Sejak itu haruto selalu menyembunyikan sepack rokok di nakas—meskipun ia tahu itu berbahaya bukan hanya untuknya,tapi untuk orang-orang disekitarnya juga.Haruto menoleh ke kanan-kiri,tak ada siapapun.

Haruto isap rokoknya sekali lagi,lalu sebuah pikiran melintas di kepalanya.Mungkin harusnya kau tak menyelamataknnya,ujar suara itu.Haruto menghela napas kasar,buang rokoknya ke tanah lalu injak dengan sneakersnya.Dengan tergesa ia kembali berjalan menuju studio kawannya,Haruto tak peduli berapa lama waktu yang ia habiskan

10:09-HarukyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang