Di sinilah Kintan sekarang, di sebuah rumah sakit yang cukup besar dengan bangunannya yang masih baru dan sangat asri. Memang beda ya rumah sakit umum dengan rumah sakit swasta. Ia datang ketika matahari sudah mulai condong ke barat, menjelang magrib, sesuai perjanjian yang sudah ia buat sebelumnya lewat chat.
Kintan tengah duduk di dalam sebuah ruangan, ruangan dokter, yang cukup besar melebihi ukuran kamar kostnya dan memiliki sofa set nyaman di dalamnya, tepat di sudut sebelah kiri dekat pintu masuk. Tadi seorang resepsionis menyuruhnya untuk menunggu di ruangan tersebut saat ia mengatakan memiliki janji dengan dokter Rama Wisesa.
Kintan mengamati seluruh isi ruangan tersebut. Meja dokter yang tertera name tag 'dr. Rama Wisesa' berada tak jauh dari hadapan pintu masuk, dengan sebuah PC dan tumpukan dokumen yang tersusun tak rapi, di belakangnya berdiri rak besar berisi penuh buku-buku tebal dan beberapa alat peraga kedokteran. Kintan juga melihat ada sebuah ruang menjorok di ujung bagian tempat sofa, sepertinya itu tempat wastafel dan toilet. Sedangkan di tembok sebelah kanan pintu terlihat jendela yang mengarah ke luar gedung yang gorden putih menerawangnya tak cukup menyembunyikan semburat jingga di langit. Di dekat jendela tersebut, tepatnya di pojok tembok terdapat dispenser dan kulkas yang tidak terlalu besar, sepertinya cukup untuk memuat kebutuhan pribadi.
Kintan tidak pernah masuk ke ruang dokter, dokter di rumah sakit manapun, karena biasanya ia hanya berkonsultasi dengan dokter di dalam kamar pasien yang ia kunjungi. Tetapi sepertinya ruangan Rama ini cukup spesial dan tidak umum bagi seorang dokter umum seperti yang ia lihat di drama-drama.
Kintan masih melihat-lihat seisi ruangan yang bernuansa putih itu ketika seseorang membuka pintu secara tiba-tiba hingga membuat dirinya terkejut.
"You're here? Maaf agak lama, tadi selesai kelas saya diskusi dulu dengan dosen dan langsung ke sini. Sebentar saya taruh ini dulu," ucap Rama terdengar buru-buru seperti habis dikejar-kejar, ia kemudian berjalan menuju mejanya dan menaruh tas yang ia jinjing.
Dari tempatnya duduk Kintan terperangah melihat sosok yang kini tengah berdiri di balik meja dan menghadap ke arah pintu, ia tengah membereskan mejanya dan mengecek entah apa di dokumen yang baru ia bawa, wajahnya terlihat begitu serius. Kintan baru sadar bahwa laki-laki itu telah banyak berubah, khususnya tubuhnya yang kini jauh lebih tinggi. Perawakannya juga terlihat pas, tidak terlalu kurus tetapi jelas jauh lebih kurus dari yang terakhir ia ingat bertahun-tahun yang lalu, turtle neck press bodynya juga semakin menonjolkan otot-otot yang seharusnya. Apa lagi dengan kacamata yang bertengger di hidungnya, membuat Kintan mau meleleh saja rasanya.
Dari dulu Rama memang sudah pakai kacamata, tetapi terlihat begitu berbeda. Kacamata Rama saat SMA lebih seperti anak culun yang tidak tahu hal lain selain belajar, sedangkan sekarang ia terlihat seperti seorang dokter tampan yang pasiennya rela opname berhari-hari agar dikunjungi terus oleh sang dokter.
Sebenarnya penampilan Rama yang seperti ini juga tidak beda jauh dengan yang ia lihat saat mereka bertemu di mall tiga hari lalu, tetapi pertemuan itu meninggalkan kesan buruk pada Kintan. Saat itu ia terserang shock sehingga isi otaknya hanya takut, malu, waspada, overthinking, dan hal-hal yang membuat ia tidak peduli sama sekali dengan penampilan baru dari Rama.
"Tan... Kintan!"
"Ya, gimana?!" Kintan terhenyak. Ternyata Rama sudah duduk di sisi lain sofa tanpa Kintan sadari.
"Saya panggil panggil, kamu gak jawab jawab. Jangan ngelamun!"
"Maaf..."
Melihat Kintan yang gugup, Rama tertawa ringan. "Saya tanya kamu tadi, kamu sudah memutuskan, kan?"
Kintan menghela napas kemudian mengangguk pelan, "Iya..."
Rama menaikkan sebelah alis seperti yang biasa ia lakukan untuk bertanya secara tidak langsung.
KAMU SEDANG MEMBACA
DRAMA RAMA
General FictionKintan sadar betul ia memiliki privilege fisik yang lebih sering orang sebut sebagai good looking, tetapi itu sama sekali tidak membantu terhadap karirnya. Keadaannya yang datang dari keluarga menengah ke bawah membuatnya sulit mendapatkan pekerjaan...