Terdengar pekik tawa anak- anak yang berlarian di tengah terik jalan gang depan. Bola plastik tipis bergulir di antara kaki mereka. Angin menggoyang dedaunan pohon rindang di pekarangan kanan dan kiri rumah.
Matahari masih terasa panas, namun sudah mulai condong ke arah Barat.
-PIIIIIIIIIIIIII
Suara nyaring uap yang keluar dari teko di atas kompor memecah kesunyian dapur.
Suara itu mengagetkan ibu, yang setengah mengantuk terduduk sambil berpangku dagu. Dengan langkah gontai ibu menuang air panas ke dalam gelas, di mana ia meletakkan sekantong teh celup sebelumnya.
Ibu memasukkan satu sendok kecil gula, lalu mengaduknya. Ia tahu putrinya tak terlalu suka minuman manis.
"Fuuh," ibu menghela nafas panjang, lalu meregangkan lehernya. Ia nampak sangat lelah setelah semalaman terus terjaga menemani putrinya. Terlebih setelah ini ia harus berangkat ke pabrik.
Entah apa yang sedang terjadi pada putrinya.
Sepanjang malam juga Ulfa selalu mengalami mimpi- mimpi buruk, yang membuatnya harus menemani putri semata wayangnya itu.
Ibu menata sepiring nasi dengan lauk ayam dan sambal, juga teh panas yang baru diseduhnya di atas nampan.
Dengan berhati- hati ibu membawa nampan itu keluar dari dapur. Ia berjalan menuju kamar Ulfa yang berada di samping ruang tamu.
"Ulfa?" ibu mengetuk pintu.
Tak ada jawaban dari Ulfa. Mungkin putrinya itu sedang tertidur?
"Ul?" ibu kembali mengetuk pintu. "Nak, ini ibu bawakan makan sama teh. Kamu belum makan dari pagi."
Ibu masih berdiri diam di depan pintu kamar menunggu jawaban. Hampir satu menit ibu berdiri.
Lalu samar- samar ia mendengar suara Ulfa di dalam. Sepertinya putrinya itu tengah berbicara- namun ibu tak paham apa yang di ucapkannya. Sebab ucapannya terdengar tak jelas.
"Ibu masuk ya?" ibu meraih gagang pintu kamar lalu mendorongnya terbuka.
"Astagfirullah!!"
Seketika itu ibu menjatuhkan nampan berisi makanan dan teh panas yang dipegangnya. Piringnya pecah dan nasi berhamburan di lantai, bercampur dengan teh yang membasahi.
Ibu terduduk di lantai depan kamar. Matanya mendelik ketakutan, dengan nafas tercekat.
Bagaimana tidak?
Walaupun masih sore hari, kondisi dalam kamar itu nampak begitu gelap karena selambunya tertutup.
Ia melihat putrinya Ulfa tengah menempel di tembok dengan tangan terentang ke samping. Rambut panjangnya menjuntai bergoyang- goyang saat Ulfa berbicara.
Matanya berwarna putih, dengan urat- urat menghitam di seluruh wajah. Darah mengalir dari luka- luka yang ada di tubuhnya seperti rembesan air hujan di tembok.
Ulfa terentang membentuk sebuah tanda salib terbalik- dengan posisi kepala berada di bawah. Mulutnya terbuka, dan ia terus berbicara dalam bahasa yang sangat tidak dikenal oleh ibu.
Suara yang keluar pun bukan suara Ulfa. Suara itu terdengar serak, parau dan membuat merinding.
"*)et ne quis possit emere aut vendere nisi qui habet caracter nomen bestiae aut numerum nominis eius"
"Astagfirullah Nak! Ya Allah, anakku!!" ibu menangis lemas sambil berpegangan pada bingkai pintu.
Ulfa terus saja berbicara, seakan- akan ia tengah berkutbah kepada orang- orang yang tak terlihat.
"**)hic sapientia est qui habet intellectum conputet numerum bestiae numerus enim hominis est et numerus eius est sescenti sexaginta sex"
-----
*) dan tidak seorang pun yang dapat membeli atau menjual selain dari pada mereka yang memakai tanda itu, yaitu nama binatang itu atau bilangan namanya
(kitab Wahyu 13: 17)**) Yang penting di sini ialah hikmat: barangsiapa yang bijaksana, baiklah ia menghitung bilangan binatang itu, karena bilangan itu adalah bilangan seorang manusia, dan bilangannya ialah 666.
(kitab Wahyu 13: 18)

KAMU SEDANG MEMBACA
STIGMATA [complete]
Horror[Horor - misteri - religi] Story #4 Entah kesialan apa yang dialami oleh Ulfa, seorang siswi Madrasah Negeri. Beberapa kali ia mengalami kejadian kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya. Walaupun ia selamat, namun kejadian- kejadian itu membuatnya...