Bagian 1 : -Infiltrasi-

5.1K 599 175
                                    


Dalam dunia nyata, kemungkinan terburuklah yang lebih sering terjadi. Pengalaman hidup membuat Meridian memercayai hal itu lebih dari apa pun. Untuk itu, ia selalu mencurigai sesuatu yang terlalu indah, terlalu menyenangkan, terlalu membuatnya bahagia karena semua itu berpotensi membuat luka dalam yang sukar disembuhkan.

Meridian duduk di sofa dan sedang asyik membaca buku tentang distimia atau depresi kronis jangka panjang, saat tiba-tiba matanya tertumbuk pada selembar foto yang terselip di tengah-tengah buku.

Sejenak Meridian memandangi foto yang memperlihatkan potret dirinya sewaktu berusia dua puluh tahun bersama seorang pria tampan bertubuh tinggi, berkulit terang, bermata cokelat yang menyorot jahil sekaligus cerdas.

Meridian menghela napas berat. Ingatannya yang tajam dengan cepat kembali memutar potongan kenangan yang melibatkan pria dalam foto tersebut.

***

"Berhentilah berpura-pura seolah kau benar-benar peduli kepadaku! Aku tahu kau hanya mengasihaniku karena kondisiku."

Meridian terdiam dan hanya menatap datar pada pria yang duduk membelakanginya di atas kursi roda.

Oh, andai saja pria itu tahu kalau Meridian benar-benar mencintainya. Andai saja pria itu tahu kalau saat ini Meridian mati-matian menjaga ekspresinya seolah-olah tidak peduli, semata-mata karena pria itu sering mengingatkan kalau mereka hanya teman dan dia akan merasa terbebani kalau Meridian memiliki perasaan lebih dari itu.

"Maaf," ujar Meridian pada akhirnya.

"Tidak perlu meminta maaf. Lagipula ini bukan salahmu. Sejak awal pernikahan kita hanya akal-akalan orangtuaku demi kepentinganku. Aku kecewa karena kau mau-maunya menerima tawaran mereka. Berapa mereka membayarmu?" Pria itu melakukan satu-satunya gerakan yang dia bisa, yaitu menggeser jarinya yang terlipat dan kaku hingga menindih tombol yang membuat kursi rodanya bergerak, lalu menatap Meridian yang bersedekap di seberang ruangan. "Aku mengerti, sebagai sahabat yang peduli padaku, kau tentu tidak akan membiarkanku menderita sendiri. Tapi ketahuilah, aku sudah muak dengan situasi ini. Benar-benar muak."

Meridian bergeming. Ingin rasanya ia memeluk dan membelai wajah halus tampan dan tanpa cela itu dengan segenap rasa cinta yang dimilikinya, tetapi sayangnya pria itu hanya akan menganggap sentuhan itu sebagai belas kasihan yang amat sangat dibencinya.

Saat masih sehat, pria itu adalah segala yang diharapkan wanita dari seorang pria. Hampir semua wanita pernah berkencan dengannya, kecuali Meridian karena hubungan mereka yang platonis sudah terjalin sejak awal kuliah kedokteran.

Sampai suatu hari, di tahun terakhir kuliah, pria itu mengalami kecelakaan lalu lintas yang membuatnya terluka parah sehingga menyebabkan quadriplegia atau lumpuh dari bagian leher hingga ke bawah. Karena itulah, orangtua pria itu, yang merupakan pasangan dokter, berinisiatif untuk menikahkan mereka. Semata-mata agar Meridian bisa merawat putranya. Meridian sangat yakin, kalau bukan karena lumpuh pria itu tidak akan pernah berpikir untuk menikahinya.

"Maaf...."

"Mer, seharusnya aku yang meminta maaf karena terus-terusan menyusahkanmu," ucap pria itu lagi dengan pandangan kosong yang menerawang ke satu titik di belakang kepala Meridian, "dan aku tidak bisa menyusahkanmu selamanya. Hidupku sudah lama berakhir."

Saat itulah Meridian merasakan sebuah firasat buruk. "Hidupmu belum akhir!" sahutnya tegas.

"Kau tidak akan pernah mengerti, Mer. Kau tidak tahu betapa seringnya aku berpikir untuk memilih mati saat kecelakaan itu terjadi daripada harus menjalani neraka seperti ini."

Neraka? Oh, tega sekali pria itu menyebut kebersamaan mereka selama enam bulan pernikahan ini sebagai neraka. Apakah Meridian seburuk itu sebagai pasangan?

Binar SanubariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang