Sinar di luar rumah sudah sepenuhnya redup. Yang awalnya memang hanya mendapat sorotnya saja kini sudah lenyaplah jejak sinar yang biasa menerangi pada ujung-ujung lorong rumah ini. Dan di saat seperti ini, anggota keluarga Pak Mossi sangat aktif keluar. Seringnya untuk mencari makan, namun terkadang anak bungsunya, Cucur mengintip keluar karena menyukai pemandangan di sana.Seperti halnya malam lainnya, malam ini dijadikan satu operasi pencarian makanan lagi karena stok di penyimpanan sudah menipis. Apalagi setelah runtuhnya beberapa bagian rumah yang membuat tempat penyimpanan tak begitu besar lagi. Mereka harus membagi tempat tidur dengan makanan yang disimpan untuk situasi darurat.
“Bu, Ayah keluar dulu…” Pak Mossi tampak bergegas keluar rumah, melalui lorong yang gelap namun, ia sudah hapal betul rutenya.
Di ruangan paling dalam, Pita berteriak menjawab, “Hati-hati, ya. Waspada sama Meo baru, kali ini agak galak karena kemaruk.” Ia melanjutkan pekerjaannya di lorong sempit itu. Memperbaiki polesan dinding yang minggu lalu tergerus air.
Sembari mengerjakannya, Pita kembali berteriak, “Cur… hari ini jaga lubang aja. Lebih aman.”
Di ujung lubang, Cucur mengiyakan perkataan Ibunya. Ia tau perannya hanya sekadar mengikut perintah Ayah dan Ibunya pada tiap operasi. Ia pun tak keberatan akan hal itu, mendapati ayahnya kembali dengan makanan adalah satu pemandangan yang sangat ia nantikan. Keselamatan juga jadi urutan teratas pada keinginannya di tiap ujung operasi.
Dari ujung lubang, sesekali ia melihat. Mengecek sekilas lorong utama menuju lubang timur. Berjaga akan saudarinya, Tika yang kerap teledor hingga pernah suatu kali seekor ular masuk dan hampir membunuh mereka semua. Untung saja kala itu ayahnya datang dan sempat megatur strategi untuk mengungsi. Karena hal itu, Tika dihukum seminggu mengerjakan tugas rumah dan tidak boleh bersantai barang sedetik. Itu hukuman yang wajar menurut Cucur.
Setelah mendapati Tika masih bersiaga di lubang timur, Cucur kembali memerhatikan keadaan luar rumah melalui mulut lubang barat ini. Dilihatnya peralatan rumah yang sangat berbeda dari milik keluarga mereka. Para raksasa memang terkenal dengan penggunaan alat-alat aneh yang membuat kepala bergeleng.
Bagi Cucur dan keluarga, hidup seperti sekarang inilah yang terbaik. Cukup dan tak kekurangan. Begitupun, ia mendamba hidup di rumah sendiri dengan bebas mencari makanan. Tak perlu mencuri sisa pakan para raksasa dan harus bertaruh nyawa.
Nasib keluarga seperti mereka yang bertempat tinggal di bawah sarang raksasa tak lain adalah sebuah ketidakbebasan. Pertaruhan hidup dan mati mereka alami tiap melakukan operasi pada gulita.
Apalagi jika harus nekat melakukan operasi di kala sinar dengan menyala. Bisa dikatakan itu adalah misi bunuh diri, namun demi makanan, mereka siap melakukan operasi kapanpun.
“Bu…” Tika berteriak.
“Ciit…jangan teriak-teriak enggak penting. Nanti didenger monster meo atau raksasa, bisa-bisa hilang nyawa ayah dan saudara-saudaramu!”
Tika tampak kesal. Ia hanya ingin bertanya kapan dirinya diperbolehkan keluar rumah untuk bertemu dengan pacarnya. Sudah seminggu mereka tidak bertemu.
Di lubang barat, Cucur menahan tawa. Ia tau apa yang dipikirkan kakaknya itu, baru tau rasa dia…
Tiba-tiba, suara teriakan berlomba seperti sebuah tembakan yang terlucut menghadang musuh. Cucur tau itu suara Bodi, saudara laki-lakinya. Dengan sigap, ia pun ikut berteriak. Trik ini adalah cara jitu untuk memecah konsentrasi monster meo yang mungkin sedang mengejar keberadaan Bodi dan ayahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Mossi's Family
Storie breviCucur, anak bungsu dari pasangan Pak Mossi dan Bu Pita menyukai pemandangan luar rumahnya. Namun, malam ini ia hanya diperbolehkan menjaga lubang barat hingga operasi selesai. Nasib ayah dan saudaranya, Bodi sedikit banyaknya bergantung padanya...