005//First Day

129 26 15
                                    

Persiapan menuju tempat bekerja membutuhkan waktu cukup lama bagi Askar. Tapi sepertinya untuk hari ini saja, buktinya Langit sudah merutuk keras karena kesal dengan Askar yang tiba-tiba mencoba beberapa jaket juga sepatunya. Bahkan, Askar sampai mencoba beberapa gaya rambut baru yang membuat Langit muak melihatnya. Jika saja motornya tidak dipakai oleh Ayahnya, mungkin saja Langit sudah berada di tempat, bukan malah berbaring di ranjang milik Askar.

Lagi, Langit harus merutuk karena Askar yang mencoba memakai kacamata lalu melepaskannya. Pun dengan topi yang kini Askar lempar dan mengenai hidung milik Langit.
Langit berteriak melampiaskan kekesalannya; membuat Askar kini menatapnya dengan wajah tanpa dosa. Penampakan itu membuat Langit semakin kesal, hingga membuatnya merengek.

"Kar, plis ... udah jam 7 lebih," rengek Langit yang kini sudah berdiri dan hendak berjalan keluar dari kamar Askar.

Namun, Askar menahannya dahulu.
"Eh, bentar, Lang. Satu lagi ... mending pake kacamata atau enggak?"

Langit menghela napasnya.
"Pake, Kar. Lo cakep kalau pake kacamata."

Askar tersenyum senang. "Emang besti gue lo, Lang."

Langit meresponnya dengan putaran dari kedua bola matanya. Ia berjalan lebih dulu meninggalkan Askar yang kini mulai menyusulnya.

"Lagian tumben banget lo peduli sama penampilan," ucap Langit.

Askar menggendikan bahunya. Tak peduli dengan ucapan Langit yang ia pikir hanya iri kepadanya.

"Eh iya, sekarang, kan, punya doi," sahut Langit setengah meledek.

"Iri lo, Lang!" sahut Askar.

"Ya, emang," sahut Langit mengiyakan.

"Ckck, udah gue bilang lo sama Luna aja."

Langit berdecak, kemudian menyanggahnya dengan kalimat yang pernah Askar dengar, "udah gue bilang speknya bukan modelan kayak gue."

"Dih, so insecure!"

"Ya, emang."

Langit mulai meredam rasa kesalnya saat Askar mulai menyalakan mesin motornya. Setelah sudah siap, Langit menaikinya dengan sangat cepat karena tak ingin terlambat. Di pertengahan jalan, Langit sampai terpikirkan sesuatu. Ia berpikir bagaimana bisa Askar tampak begitu santai saat dirinya akan diperkenalan sebagai supervisor timnya.

"Lang? Kedengeran, gak?"

Langit berdecak, "gue udah biasa anjir diajak ngomong sama lo di motor. Lo ngapain nanya?"

Askar meresponnya dengan kekehan singkat. Setelahnya ia kembali serius untuk berbincang dengan Langit.

"Aslinya gue takut, Lang, ngadepin hari ini. Lo bayangin aja, gimana reaksi Pak Andri begitu tahu posisinya kegeser sama gue. Lo tahu sendiri, kan, julidnya tuh bapak-bapak satu? Gue jamin, seluruh pegawai mendadak bakalan tahu Askar Dikara."

Langit mendengarkan dengan penuh seksama. Ia memahami apa yang diucapkan oleh Askar. Pun dengan ketakutan yang menghantuinya. Apa yang diucapkan oleh Askar pun benar. Pak Andri memang seorang Head Chef yang merangkap sebagai pengendali. Langit bahkan tak habis pikir dengan Pak Uban yang memindahkan posisi Askar menjadi supervisor, bukan Chef.

"Terus lo mau gimana, Kar?"

Askar mendesah merasa lelah.
"Gue ya gak gimana-gimana selain ngejalanin. Lagian ada Thaya, sih. Jadi gue pikir walaupun Pak Andri bersikap gak baik sama gue, ya, gue masih bakalan baik-baik aja," ujarnya.

"Bucin tolol!" cetus Langit.

"Lang, lo tuh belum ngerasain aja apa yang gue rasain. Semenjak gue masuk kerja, lo tahu sendiri anak-anak  banyak banget yang chat gue. Lo tahu sendiri, kan, respon gue ke mereka gimana? Gue gak peduli. Tapi pas Thaya masuk, gue ngerasa tertantang sama muka judesnya yang padahal kalau senyum bisa bikin meleleh. Gue juga bingung, Lang. Karena yang gue lakuin bukan deketin dia, tapi merhatiin dia dari kejauhan. Karena gue selalu negasin ke diri gue, buat apapun yang menimpa kehidupan gue harus gue jadikan sederhana. Begitupun pas gue ngerasa kalau gue suka sama dia."

#4 "As Simpel As Water'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang