Bab 2 Bertemu

1 0 0
                                    

Hari ini, aku dan keluargaku akan pergi berlibur ke Jogja. Aku memakai celana bahan kain berwarna biru dongker yang aku padukan dengan atasan kaos bermotif garis-garis dan jilbab berwarna abu abu, ditambah lagi sepatu sneaker berwarna senada dengan celana yang aku pakai. Aku segera mengepaki barang barang ku ke dalam tas. Kami berlibur ke Jogja selama 3 hari, dan akan menginap di salah satu hotel di sana.

"Jangan lupa, pakai sabuknya, Sha," perintah ayah yang dari tadi sudah siap untuk mengemudikan mobil nya.

"Iya yah."

"Kalau kamu lapar, kamu tinggal ambil di belakang kursi kamu," tambah bunda.

Selama perjalanan aku hanya memperhatikan pemandangan dan sesekali sibuk dengan ponsel ku. Dan terkadang sedikit terbesit dalam lamunanku tentang dia yang kini telah pergi entah kemana. Dia yang cukup lama meninggalkan bekas luka dalam hatiku. Tak lama aku tertidur dalam perjalanan menuju Jogja, dan lamunanku yang membuyar.

Suatu waktu di tahun, 2016

"Kamu lapar nggak, kita makan bareng yuk?" tanya seorang cowok bertubuh tinggi dan sedikit berisi, kulitnya coklat khas orang orang Indonesia, hidungnya tidak terlalu mancung tapi, cukup menarik. Matanya yang selalu menatap dengan tatapan yang penuh makna.

"Ayo, kebetulan aku lagi laper banget nih. Mau makan dimana? Gimana kalau nasgor deket sekolah kita aja?"

"Boleh."

Kami segera menuju tempat penjual nasgor deket sekolah yang hanya berjarak sekitar 50 meter. Kami berteman sejak kelas 7 di SMP Hanacaraka karena selalu satu kelas hingga di kelas 8. Pertemanan kami cukup dekat dan saling mengenal satu sama lain. Temen-temen di sekolah pun tau kalau kami berteman bahkan bisa dibilang friendship goal. Aku dan dia ditambah satu temanku lagi yaitu Dista sering belajar bersama tentang materi di sekolah. Tak jarang peringkat kami dikelas saling berurutan dan bergantian.

" Gilang, kamu pedes nggak nasgor nya?"

"Pedes aja, Sha."

"Oke, minumnya apa?"

"Terserah aja, yang penting enak hahaha."

"Oke," kataku sambil mengangkat ibu jariku kearah cowok yang sedang mencari meja untuk makan, "Bang, nasi gorengnya 2, ya, yang satu pedes, yang satunya pedes banget, untuk minumnya es lemon tea aja."

"Siyap, mbak. Silahkan ditunggu dulu, ini nomer mejanya."

Gilang adalah cowok yang duduk di depanku. Dia orang yang ramah dan suka bicara. Aku seneng bisa kenal dengan orang ini. Karena dia yang sering banget ngajak aku dan Dista untuk mengerjakan tugas sekolah walaupun terkadang aku malas. Kita bertiga emang udah temenan sejak masuk SMP.

"Kamu kepedesan nggak lang?"tanyaku ketika melihat cowok di depan ku ini terus meminum ice tea lemon.

"Lumayan sih, Sha, kamu minta sambel berapa sendok sih?"

"Gatau, aku cuma bilang yang pedes banget, Lang hahahaha."

"Gila kamu, Sha, ini ceritanya kamu mau bikin aku sakit perut. Walaupun aku suka pedes sih, tapi nggak gini juga kali."

Aku hanya tertawa melihat Gilang kepedesan. Mukanya yang memerah, bibirnya yang jontor, dan mukanya penuh dengan keringat, lucu banget. Aku dan Gilang emang deket, kita adalah temen. Tapi, aku merasa ada rasa lain di hatiku ketika aku bersama Gilang. Bukan sekedar rasa sayang dan cinta sebagai sahabat, tapi lebih dari itu. Aku hanya bisa berharap dan semoga Tuhan mengabulkan keinginanku. Walaupun terkadang rasa itu tidak mungkin terjadi. Gilang dan aku temenan udah lama, kalau aku ungkapin perasaanku hanya akan membuat keadaan menjadi canggung. Aku tidak ingin merusak pertemanan ini hingga dewasa nanti. Namun, ternyata aku salah menilai sesuatu. Apa yang aku coba pertahankan ternyata ada yang merusaknya secara diam-diam. Orang yang aku kagumi ternyata tidak seperti yang kubayangkan selama ini.

"Kok kalian jahat sih guys, masa aku ditinggal. Aku juga laper tau," kata Dista yang berjalan menghampiri mejaku dengan wajah cemberut karena tidak diajak makan.

"Maaf, Dis, tadi lupa karena lapar itu membuat kita sering lupa," jawabku asal.

"Kamu sendiri aja dis? Nggak ngajak teman yang lain?" tanya Gilang ikut dalam percakapan ku dengan Dista.

"Berdua sama nyawa gue."

Seketika jawaban Dista membuat gelak tawa diantara kita. Tawa lepas yang membuatku semakin mengagumi dia. Namun, perasaan itu juga yang membuatku terluka.

____________☁

Tanpa kusadari, ternyata aku udah di Yogyakarta ketika aku terbangun dari tidurku. Aku menatap keadaan sekitar dan mulai menebak nebak dimanakah aku sekarang.

"Sha, Ayo turun dari mobil, kita udah sampai nih di Yogya. Kita nginep di hotel ini ya," suara bunda mengejutkan ku.

"Iya, bunda yang cantik", jawabku sambil menggoda bunda.

"Anak bunda yang cantik ini bisa aja gombal sama bundanya."

"Sudah, sudah mari kita masuk ke hotel trus kita ke Malioboro," kata ayah memotong percakapan ku dengan bunda.

Pukul 15.00 aku sudah siap untuk pergi ke Malioboro. Kali ini aku memakai celana jeans dengan atasan tunik sepanjang lutut berwarna mint dan jilbab serta sepatu warna putih.

"Bunda, kita beli ini ya."
"Bun, beli makanan itu dong."
"Bunda, ayah, kita foto disana yuk."
"Bunda, mau beli gudeg."
"Bunda....."

"Aduhhhh Alisa, kamu itu ya, beli ini beli itu makan ini makan itu, gak capek apa itu mulut bekerja trus, udah makan banyak nggak gendut-gendut," bunda memotong perkataan Alisha.

"Bunda kaya nggak tahu aja Alisha, dia kan tukang makan di rumah, bisa dikata tempat sampahnya makanan yang nggak ke makan.. hahahaha", tambah ayah.

"Ihhh ayah sama bunda kok gitu sih, ya udah Alisa pergi sendiri aja, menikmati senjanya Yogyakarta, tapi Alisa minta uang, ya, yah."

Aku menyusuri jalanan Malioboro, menatap hilir mudik para wisatawan, nyanyian tawar menawar dari para penjual, irama makanan di masak dari pedagang makanan, dan terpaan lembut cahaya senja yang menambah menawannya kota ini. Sesekali aku mengambil gambar dan tentu saja ber-selfie di tempat tempat indah buat di post di Instagram, ya itung-itung buat nambah follower. Tapi, senja ku kali ini ada yang berbeda, ketika ada seseorang yang tanpa sengaja menyenggol kamera ku.

"Eh maaf kak, nggak sengaja."

"Eh?...iya gak papa kok."

"Maaf ya kak."

"Iya gak papa, tenang aja", jawab ku sambil memperhatikan wajah orang itu. Wajah yang mirip dengan seseorang yang berarti dalam hidupku dulu. Bentuk mata, hidung nya hampir mirip, dan senyumnya itu....

"Kok sendirian aja, kak? Emang dari kota mana?" tanyanya yang seketika membuyarkan lamunan ku.

"Eh? Dari Solo, kak."

"Owalah iya, btw kenalin nama gue Aldo, nama kamu siapa?"

"Namaku Alisha. Jadi, gak usah panggil aku kak lagi, emang kita lagi jualan olshop."

"Oke Sha.. hahahaha."

Kami saling tertawa kecil sambil menikmati senja di kota Yogya.

Senja yang menjadi awal semua cerita aku dan dia di mulai. Senja juga yang akhirnya mentakdirkan kita untuk saling bertemu. Senja yang menjadi saksi bisu semua alunan harmoni hidupku.

Aku pun kembali menghampiri kedua orang tua ku yang sedang menikmati semangkuk wedang ronde. Aku pun duduk di sebelah bunda, dan mulai mengganggu bunda yang sedang asik makan. Suasana kota yang menawan sungguh menangkan hati ku. Entah kenapa aku suka dengan senja atau Swastamita yang memiliki arti matahari terbenam.

“senja pamit kepada awan dan mulai memepersilahkan malam,, terima kasih senja yang telah menemani ku dalam alunan harmoni hidup ku,, dan terima kasih senja yang telah mengajarkan ku arti mengikhlaskan dan menerima,, kepada senja yang telah mempertemukan aku dengan seseorang, kenapa kau mempertemukan ku dan membuat bingung segala rasa ku," ucap Alisha dalam hati.

______

Ku titipkan secuil rasa kepada sang Dewi jingga, semoga tersampaikan kepada dia yang entah menyadarinya atau hanya bungkam saja

______

SwastamitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang