Gelap. Semuanya gelap.
Apa ini mimpi?
Nai dengan baju putih terlihat berjalan dalam kegelapan tanpa akhir. Hanya ada hitam disekelilingnya.
Kenapa... terasa... sesak?
Dipenganginya dadanya, bernafas sebanyak-banyaknya, berharap mengurangi rasa sesak. Namun tetap saja percuma. Seakan ada sesuatu yang menekan dadanya, menghambat jalur pernapasannya.
Apa yang terjadi? Su...suara ku... Suaraku..
Baru kemudian disadarinya dirinya tak bisa bersuara sama sekali, hanya dengungan dari pikirannya.
Panik. Dia panik sekarang. Wajahnya menyiratkan kepanikan, tak mengerti dimana dan apa yang terjadi padanya, ataupun kenapa dia bisa berada disini.
Seketika sekelebat ingatan tentang sesuatu menyergapnya.
Ya, ingatan tentang hari itu, di sebuah gudang tua, juga tentang—kakaknya.
Tanpa disadari air mata mengalir di pipinya.
Dia melemas mengingat hal itu. Tubuhnya goyah, lalu kemudian terduduk di kegelapan. Tangannya mengepal kuat.
"Kak..." bisiknya parau, akhirnya menemukan suaranya.
"Kak... Hiks... -gal... -ku gagal menyelamatkanmu... Hiks..."
Nai mencengkram baju pada bagian dadanya yang terasa sangat sesak.
Cahayanya menghilang. Kakaknya. Cahayanya. Menghilang. Dan tak kan kembali lagi.
"Hiks... Hiks..."
Air matanya tak bisa berhenti mengalir.
Allen. Satu nama yang memberinya kekuatan selama ini. Dia ingat bagaimana pertama kali mereka bertemu.
Hari itu... hari itu Allen datang. Ayahnya yang membawanya. Usianya masih 5 tahun, sementara Allen sudah 13 tahun. Dia ketakutan melihat Allen yang datang pada hari itu. Ayahnya tidak pernah membawa siapapun ke rumah selama ini. Lalu kenapa tiba-tiba membawa kakak berambut merah, pikirnya.
"Nai, mulai sekarang Allen akan melindungi mu..." ucap Ayahnya.
Lalu dilihatnya kakak bernama Allen itu menjulurkan tangannya. Awalnya dia ragu dan takut pada warna merah itu—bukan merah seperti darah memang, tapi merah seperti api yang bisa membumihanguskan. Tapi, saat matanya menatap Allen yang tersenyum tulus tanpa kepalsuan, tanpa keraguan diraihnya juluran tangan itu.
Nai takkan pernah melupakan pertemuan pertama mereka. Pertemuan yang akhirnya membuat Nai mengikuti apapun yang dilakukan Allen, bahkan walau harus menentang Ayahnya saat ia memutuskan mengikuti Allen bergabung dengan Secret Service.
"Hiks... Ini salahku... Allen... Maafkan aku... Seharusnya aku datang lebih cepat... Seharusnya aku lebih kuat..."
Nai memukul-mukul kepalanya. Rasa bersalah memenuhi dirinya.
"Huuu... Allen... Huwaaaaa... ALLEN!!" raungnya. Suara yang terdengar sangat menyiksa.
Semua gelap, sekelilingnya gelap, karena cahayanya tidak ada lagi. Bagaimana caranya melangkah jika tidak ada cahaya lagi yang meneranginya?
Kakaknya adalah cahayanya selama ini. Orang pertama yang mengajarkannya bertarung tanpa senjata. Orang pertama yang mengajarkannya menembak dengan senjata. Orang pertama yang akan ditemuinya jika suasana hatinya sedang tidak baik. Kakak yang diajaknya berbagi tawa. Dan juga yang selalu menenangkannya saat dia menangis.
Dan sekarang dia sudah... mati.
Cahaya pada mata Nai meredup bersamaan dengan kegelapan yang semakin menyelimuti tubuhnya begitu pekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Service (BoyxBoy)
ActionSebagai seorang Secret Service, seharusnya dia sudah tahu bahwa salah satu resikonya adalah kehilangan partnernya, sahabatnya atau pun keluarganya. Tapi, kehilangan seorang Kakak membuatnya benar-benar terpukul. Cahayanya menghilang. Poros waktunya...