04. Pada 8 Maret

56 10 1
                                    

Sabtu tanggal 8 Maret, pada sembilan belas tahun lalu adalah hari di mana sosok pencinta senja kala macet hadir pertama kali ke dunia. Sosok teman yang kakak tunggu. Hidup mati yang ibu perjuangi. Tubuh kecil yang ayah nanti-nanti. Dia itu senang luar biasa, bagi keluarga kecil yang bahagia—dulu.

Ayara ke dunia tak bawa apa-apa. Namun, ibu berbaik hati untuk kasih kesempatan dia tumbuh, lewat kuatnya tangan yang ayah punya. Ayara hidup dengan keyakinan bahwa bahagia itu dicari sendiri, pun meski sesederhana melihat senyum ibu yang sambut pulangnya bersekolah. Dari kecil, ayah ajarkan, bahwa bahagia tidak perlu raih hal besar yang orang-orang mimpikan, karena itu akan melelahkan. Cukup kecil, meski sederhana, tetapi menyenangkan. Tumpukan-tumpukan kecil bahagia, jika ditabung, akan jadi bahagia besar yang luar biasa.

Ibu adalah tempat Ayara bagi bahagianya. Ibu, adalah tempat Ayara tunjukkan senangnya. Sedang ayah, tempat Ayara cari tumpuan, tempatnya istirahat setelah lelah cari bahagia untuk dibagi pada ibu.

Saat ibu pergi, Ayara tentu harap ayah ada untuk ‘rumah’. Namun, ayah ternyata tidak lagi menerima gadis kecil yang tangannya selalu digenggam selama tujuh belas tahun terakhir. Ayah pergi, biarkan Ayara sendiri dalam rumah. Jika saja kakak tidak di sana untuk menemani, Ayara mungkin sudah tiada semenjak hari itu.

Dua tahun terakhir, ayah jarang di rumah, lebih pilih ‘rumah’ lain di luar sana. Namun, seperti kata ayah dulu, bahagiamu adalah tanggung jawabmu, Ayara putuskan untuk lanjutkan cari bahagia sederhana dan biasakan diri dengan sakit yang dirasa.

Sabtu. 00:03  WIB. Ayara duduk di tepi ranjang, mengamati figura pada dinding di hadapan—berisi foto yang diambil saat dia lulus sekolah menengah pertama. Di sana, ibu berjongkok pada sisi kiri dan mencium pipinya, kakak berdiri di sebelah kanan, dan ayah yang merangkul mereka bertiga dari belakang.

Ma, Ayara udah sembilan belas tahun. Udah dua tahun lewati hari-hari mengagumkan tanpa Mama. Abang juga lanjut S2, seperti yang Mama impikan. Padahal dulu kalo Mama bahas tentang S2 mukanya Abang langsung ngecosplay keset ruang tamu. Abang ... seberusaha itu untuk wujudin mimpi Mama. Jadi, Ayara minta, sampein ke Tuhan, tolong kasihin kuat buat Abang biar bisa ngelaluin hari-harinya dengan baik. Soalnya, Ayara belom sekokoh itu untuk bisa bantu Abang.

Untuk Kak Langit, dia tetap sempurna, Ma. Ayara gak tau, dia itu beneran manusia bumi apa bukan. Terakhir, ikut lomba debat dan menang. Kak Langit juga tetep selalu ada buat Ayara, selalu jadi penyelamatnya Ayara. Jadi, Ayara minta tolong ya, Ma? Bilangin sama Tuhan, tolong kasih bahagia buat Kak Langit dengan porsi sebanyak-banyaknya.

Mama juga pasti tau, kalo empat bulan terakhir ini Ayara lagi deket sama Kak Sefaldo. Meski baru deket, tapi aku gak bisa pungkiri kalo aku kagum banget sama dia, Ma. Apalagi akhir-akhir ini dia selalu buat Ayara bahagia. Banget. Jadi, untuk orang sebaik itu ngebuat Ayara terus ngerasa seneng, tolong bilangin sama Tuhan, jangan tolak apa yang Kak Sefaldo minta ya.

“Serius banget.”

Teguran tadi, berhasil mengalihkan atensi si gadis yang telah genap berumur sembilan belas tahun ke arah pintu kamar. Di sana, Yurda tersenyum lebar ke arahnya sembari mendekat bersama kue dengan lilin angka 19 di tangan.

Make a wish, terus tiup.”

Ayara mengangguk, menengadahkan tangan untuk berdoa, lalu memejamkan mata. Meminta agar apa yang dia ‘diskusikan’ dengan ibu dapat Tuhan kabulkan. Setelahnya membuka netra untuk meniup api di atas lilin.

Yurda meletakkan kue yang di bawa pada kasur, memilih mengelus surai sang adik lembut. Matanya berkaca-kaca, menjadikan Ayara yang melihat malah ikut merasa panas pada netra. “Adik kecilnya Abang udah gede. Udah kuliah, padahal kayaknya baru kemaren Abang pilihin tas Adek buat masuk TK. Baru kemarin nangis-nangis kalo Abang tinggal main sama temen. Baru kemarin Abang gendongin buat jajan ke warung.”

BANYUBIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang