"Gimana harimu, Nami?"
Pertanyaan klasik yang biasanya selalu kujawab dengan jawaban klasik semacam 'baik', 'nggak ada yang spesial', 'biasa aja', tapi kali ini kujawab dengan tangisan kencang. Aku tidak bisa menahan tangisanku, aku sudah mencobanya, tidak berhasil. Dadaku sesak layaknya bendungan yang hendak runtuh. Aku marah dan aku benci sekali dengan apa yang terjadi.
"Nami? Nami Savita Paradina?"
Abangku, Kumara Dirja Gunawan, jarang sekali memanggil nama panjangku. Kalau dia memanggil nama panjangku, artinya dia butuh penjelasan, dia khawatir, atau dia sedang marah. Sekarang, aku tahu dia khawatir.
Aku mengatur napas, kemudian mulai berbicara sambil terputus-putus, "Pak Didin megang-megang pahaku lagi. Katanya nggak sengaja. Aku jijik, Bang!" seruku marah. "Tua bangka setan!" lanjutku.
Pak Didin, bosku, terkenal alim. Kata teman-teman yang sudah lama bekerja di Kafe Mawar, Pak Didin tidak pernah menyentuh karyawati, apalagi melecehkan mereka. Tapi, dia melakukan itu padaku. Dia cuma berkata, "Aku tidak ada niat apa pun padamu, aku cuma menganggap kamu seperti anak saja."
Ah, dusta! Tatapan matanya yang menakutkan itu jelas dipenuhi nafsu. Dan dia menyentuh pahaku begitu saja! Aku benar-benar marah dan jijik, sangat jijik. Aku benci disentuh begitu oleh pria. Dasar munafik! Di depan terlihat alim, di belakang menyentuhku tanpa izin!
Bang Kum diam di ujung sana. Ia membuang napas keras-keras hingga suaranya terdengar di telepon. Aku tidak tahu bagaimana reaksinya, tapi aku merasa kalau dia marah. Bang Kum jarang marah, tapi sekali marah, semua orang akan mundur ketakutan. Aku menunggu tanggapan Bang Kum sambil menangis.
"Aku bisa mendatanginya sekarang," jawab Bang Kum dengan nada setajam paruh burung elang. "Aku bisa memukulinya sampai mati sekarang."
Aku terkejut. "Ja-jangan, Bang! Masalahnya akan panjang!"
"Kalau begitu, kamu keluar dari tempat itu dan jangan kembali."
"Aku belum bisa, Bang. Aku butuh uang untuk bayar kontrakan dan makan. Aku belum dapat panggilan pekerjaan lagi. Kalau aku dapat dan aku berhasil diterima, aku bakal minggat dari sana," jelasku panjang lebar. "Maaf... karena aku bikin Abang marah. Aku cuma... aku cuma mau mengeluarkan kemarahanku aja. Seharusnya aku diam dan bersabar buat bertahan..."
Bang Kum menghela napas panjang di sana. "Kamu tinggal di sini aja sama Abang. Maaf karena Abang juga nggak bisa mengirimi lebih banyak uang."
Bang Kum di-PHK oleh perusahaannya. Dulu, kariernya cukup cemerlang, dia seorang junior manager dan aku bisa ikut menikmati uang darinya. Dia cukup loyal memberiku uang. Saat ini, dia hanya bekerja sebagai pengusaha makanan online yang tidak begitu terkenal. Hidup kami sekarang cukup susah, tapi aku tetap menolak tinggal di rumah itu, rumah masa kecilku. Rumah itu menakutkan. Aku lebih memilih tidak makan hanya untuk membayar kontrakan daripada harus tinggal di sana.
Waktu itu, aku tidak menyangka kalau suatu saat, hal yang paling kuhindari harus kuhadapi. Aku dipecat dan aku tidak punya pilihan lain selain tinggal di rumah itu. Hal terburuk dari semua itu adalah; abangku menghilang. Telepon keluh kesahku soal Pak Didin adalah telepon terakhir darinya. Setelah telepon itu, kami masih saling berkirim pesan seperti biasa, tapi tidak saling menelepon.
Sampai seminggu kemudian, masalah yang lebih besar menimpaku sebelum aku dipecat. Videoku dicium Pak Didin beredar. Aku dimarahi oleh istrinya dan langsung dipecat hari itu juga. Aku disumpahi dan diludahi. Aku diteriaki perebut suami orang dan dijauhi teman-temanku di kafe. Padahal, jelas di video itu Pak Didin yang duluan menciumku sesaat, lalu aku memberontak dan berlari. Akan tetapi, semua orang melihatku sebagai penjahat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Semu
Bí ẩn / Giật gânNami Savita Paradina begitu yakin kalau kakak laki-lakinya, Kumara Dirja Gunawan, adalah seorang pembunuh. Kum menghilang sejak Nami melihat Kum menyeret mayat di halaman belakang rumah Kum. Sejak Kum menghilang, Nami menempati rumah Kum dan menemuk...