Nami, Pesan Keempat

368 52 4
                                        

Itu Ayah.

Aku jelas sedang bermimpi, tapi kertas origami itu tetap bisa kusentuh dan bahkan bisa kumasukkan ke dalam kantong celana.

Ayah melangkah pelan-pelan ke lantai dua, lalu menggedor kamar Bang Kum. Bang Kum pun keluar. Bang Kum sedang mengenakan kaus berwarna kuning dan celana kain selutut berwarna biru tua. Tanpa basa-basi, Ayah menampar Bang Kum, lalu menyeretnya masuk ke kamar Ayah.

"HENTIKAANNN!" pekikku.

"Lihat? Kamu tidak menolongku." Sebuah suara muncul dari samping tubuhku. Suara Bang Kum.

Aku menoleh, ruangan ini kosong. Aku kembali menangis.

"Maaf, Bang ... Maaf ..."

~~~

"Nami? Nami? Haloooo?" Seorang gadis melambaikan tangannya di depan wajahku.

"Eh? Iya, Gi?" Aku mengusap air mataku yang ternyata keluar. Aku tidak sadar ternyata aku melamun sambil menangis.

"Kamu denger aku, nggak, sih? Kok malah nangis?"

"Maaf ... aku nggak fokus tadi, jadi gimana?"

Gina Ayu Prameswari—salah satu teman baikku dari SMA—menghela napas, "Aku bisa ngasih kerjaan. Kebetulan, salah satu kenalanku punya hotel dan lagi nyari orang buat jadi resepsionis. Mau nyoba, nggak?"

Aku mengangguk dan tersenyum kaku.

Gina memperhatikanku. "Kamu bener-bener nggak baik-baik aja, Nam. You look so terrible. I mean, look at you! Kamu sakit?"

Aku menggeleng. "Cuma kurang tidur."

"Kurang tidur doang nggak akan sampai kayak gini. Kamu kelihatan kurus banget dan stres. Bang Kum belum ketemu?"

"Emangnya ... Aku pernah cerita, ya, kalau Bang Kum ... hilang?" Aku menatap Gina curiga. Aku yakin belum cerita ke Gina tentang hilangnya Bang Kum.

Gina berdeham, lalu tertawa kaku. "Hehe ... pernah. Kamu lupa, ya? Kamu udah cerita ..."

"Tapi—"

"Anyway, kamu datang ke alamat hotel ini besok, ya. Jam delapan malem, soalnya temenku baru bisa kamu ajak ngobrol di jam segitu. Ini pertemuan nonformal, aku kenalin dulu kamu ke dia. Kamu bisa bawa beberapa berkas penting juga kayak ijazah, CV, dan lain-lain. Kalau dia oke, lusa kamu bakal dipanggil interview," potong Gina.

Aku mengangguk. "Makasih, ya, Gi. Aku nggak tahu bakal jadi apa kalau nggak kamu bantuin."

"Jangan balik ke yang dulu, ya." Gina menghela napas. 

"Maksudnya?" tanyaku.

Gina menggeleng. "Kamu harus lebih banyak makan. Besok penampilan kamu harus oke, ya. Dandan yang cakep!" Gina menepuk-nepuk punggung tanganku yang tergeletak di atas meja. "Makan banyak-banyak di sini, aku yang traktir."

Aku tersenyum lagi. "Makasih, ya."

~~~

Aku berjalan kaki menuju ke rumah. Malam sudah menyapa. Makin jauh aku berjalan, makin aku ketakutan. Memasuki beberapa gang kecil yang remang-remang dan sepi membuatku berpikiran yang tidak-tidak. Aku membayangkan selalu ada orang yang bersembunyi di balik kegelapan, tapi aku berusaha mengontrol dan menenangkan diri. Itu cuma khayalan bodohku.

Rintik hujan pelan-pelan menerpa kepalaku. Aku menengadah. Langit kemerahan seakan-akan menyimpan ribuan tangisan yang siap ditumpahkan kembali ke bumi. Sewaktu kecil, Ibu pernah bilang, kalau setiap kali hujan turun, para malaikat sedang menangis melihat manusia-manusia yang menderita hidup di dunia yang tidak adil. Apa malaikat sedang ikut berduka melihatku? Aku kehilangan semua orang dan perlahan ... aku menuju kegilaan.

Semu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang