Nami, Pesan Ketiga

391 56 3
                                        

Aku terbangun dalam keadaan berkeringat. Hal pertama yang kulakukan adalah pergi ke lantai satu. Aku menuruni tangga sambil setengah berlari. Tidak ada apa-apa di dapur selain gelas kaca pecah berserakan di lantai kayu dan kertas origami merah di dekat pecahan gelas. Lampu utama dapur masih menyala. Tidak ada seorang pun di sana. Hanya ada aku.

Kuambil kertas origami itu, kuremukkan, lalu kubuang ke tong sampah dengan penuh emosi. Aku tidak tahu siapa yang melakukan hal konyol ini padaku, tapi aku mulai menyadari satu hal. Aku tidak sendirian di rumah. Tidak mungkin origami itu secara ajaib muncul begitu saja. Pasti ada seseorang yang meletakkannya dan berusaha menakut-nakutiku. Aku harus menelepon polisi.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang berlari di lantai satu, sepertinya dari ruang perpustakaan.

"Siapa itu?!" tanyaku agak keras.

Aku segera melangkah menuju perpustakaan. Tidak ada siapa pun. Aku menghela napas keras. Aku lelah, baru dua hari berada di rumah ini dan aku sudah merasa mau gila.

Aku berdiri di tengah ruangan. Aku menoleh ke kiri, kanan, depan, belakang, ke semua sudut perpustakaan milik ibuku, tetap tak ada siapa pun. "KELUAR!" pekikku putus asa.

Tidak ada jawaban. Tidak ada suara siapa-siapa.

Aku terduduk dan menangis keras. Kupeluk diriku sendiri. Aku benci rumah ini. Aku ingin keluar dari sini, tapi aku tidak punya tempat tujuan lain. Aku tidak punya teman. Aku tidak punya siapa-siapa. Tidak ada orang yang peduli. Aku merindukan Bang Kum. Aku ingin dia ada di sini. Aku membutuhkannya. Dia bukan pembunuh. Semua surat origami itu omong kosong. Bang Kum tidak akan sejahat itu.

Apa aku benar-benar harus menelepon polisi dan mencari Bang Kum? Apa aku harus bilang kalau aku diteror di rumah ini? Apa mereka akan percaya padaku?

Aku harus mencoba.

Aku mengeluarkan ponsel dari saku rokku, lalu mulai menekan layar ponsel yang menampilkan nomor. Aku berhenti menekan nomor ketika kudengar suara tawa dari luar ruangan. Aku segera berdiri, kemudian melangkah cepat menuju ke luar ruangan. Namun langkah kakiku terhenti tepat di depan cermin besar yang berdiri di dekat pintu.

Ada diriku. Tidak, itu bukan diriku. Itu ... tidak mungkin!

Tidak ... tidak mungkin!

Wajah seseorang di cermin benar-benar mirip wajahku, tapi ... tubuhnya begitu kurus, seperti tulang dilapisi kulit. Pipinya cekung, membuatnya terlihat seperti mumi yang hidup. Matanya merah dengan kantong mata yang besar, rambutnya tipis berantakan terurai sebahu. Darah bercucuran di pergelangan tangan kiri. Banyak garis darah mengering di bagian sekitar lengan kiri. Air mata berhamburan keluar dari matanya yang merah. Bajunya berlengan pendek dan berwarna biru laut, seperti yang kukenakan sekarang. Ia mengenakan celana selutut, memperlihatkan banyak bekas luka di kaki. Benar-benar mengerikan. Seperti melihat monster kesepian yang kelaparan dan menyedihkan. Seperti gelandangan.

Itu bukan aku! Itu bukan aku!

Aku menarik buku besar di rak buku di sampingku, lalu aku melemparnya ke arah cermin hingga cermin itu pecah berkeping-keping. Aku menangis. Kupandangi pecahan cermin itu, sosok mengerikan tadi sudah menghilang. Kini, cuma ada aku yang berpenampilan normal, meskipun mataku bengkak karena terlalu banyak menangis.

Tiba-tiba, suara tawa itu terdengar lagi, makin lama makin nyaring. Aku menutup telingaku, menangis semakin kencang.

"HENTIKAAANNN!" pekikku. Tapi, tawa itu tetap tak berhenti.

Lalu sebuah suara lain muncul. "Aku membunuh karenamu."

Aku ingin semua ini berhenti. Aku ingin semua ini berhenti! Tolong! Tolong aku! Siapa pun tolong aku!

Semu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang