《 O1 》Discovered.

135 12 0
                                    

"Kanya, percayalah. Kami tidak sedang bercanda."

Aku mengernyitkan dahi. "Bagaimana aku bisa percaya? Kalian yakin tidak salah lihat atau tidak sedang bermimpi? Itu semua konyol!"

Sore ini—sebelum makan malam, Ray dan Norman mengajakku ke belakang rumah. Tempat yang sepi di jam-jam seperti ini. Dan, mereka berdua memberitahuku sesuatu yang kedengaran tak masuk akal; bahwa kami adalah hewan ternak yang sedang menunggu giliran untuk dilahap iblis. Aku tertawa setelah mendengar mereka berbicara seperti itu.

Tapi wajah mereka menyiratkan rasa takut yang nyata, membuatku merasa sedikit tidak enak.

"Bisa kaubuktikan?" tanyaku memastikan.

Ray dan Norman berpandangan. "Setelah makan malam pergilah ke gudang."

Lalu dering bel berbunyi.

《 ¤ 》

Dengan langkah ragu, aku meniti jalan menuju gudang. Ada sedikit rasa gugup bersarang di benakku, namun aku berusaha menghalau perasaan tidak enak itu.

Krieet... Engsel pintu merintih ketika aku mendorong pintu kayu gudang yang terlihat usang. Kulangkahkan kaki ke dalam ruangan itu, dan merasakan hawa dingin tiba-tiba menusuk—mungkin ini hanya perasaanku.

Kulihat tidak ada yang berbeda dari tempat itu kecuali tumpukan kain seprai yang sedikit lebih pendek dan lebih banyak debu di sana-sini. Atau bertambahnya botol-botol berisi minyak tanah di sebuah lemari kayu tinggi. Tidak ada perubahan signifikan.

Dari balik salah satu tumpukan kotak kayu—yang entah isinya apa, muncul dua orang anak lelaki sebayaku menenteng sebuah lentera dengan api menyala. Ya, mereka Ray dan Norman.

"Jadi," aku memulai pembicaraan. "Apa yang bisa membuktikan bahwa kita adalah makanan di sini?" ujarku dengan nada menantang agak sarkastis.

Namun Ray dan Norman kelihatannya tak terganggu dengan ucapanku. Tangan Ray yang dingin tiba-tiba saja sudah mencekal pergelangan tanganku. Aku mengernyit.

"Ikuti kami." kata Norman pendek.

Kami berjalan ke ujung gudang. Tempat lemari tinggi yang di atasnya terdapat berbotol-botol minyak tanah, sementara pintu lemari itu sendiri dikunci.

"Jadi lemari ini adalah gerbang atau portal yang bisa digunakan para iblis untuk keluar-masuk panti?" tanyaku.

"Tidak, bukan itu." Norman menggeleng serius. Dia mengeluarkan sebuah kunci dari saku celana putihnya.

"Dari mana kalian dapat kunci itu?"

Ray menatapku dengan wajah jengah. Aku terkekeh dan akhirnya menutup mulutku.

Cahaya lentera menerobos ruangan gelap itu dari celah pintu lemari yang terbuka. Yang membuatku paling kaget adalah pintu lemari itu dibuka dengan cara didorong. Tandanya lemari itu bukan sembarang lemari—kecuali jika lemari itu sangat panjang.

Norman masuk diikuti Ray yang masih menyeretku. Aku terbatuk pelan tatkala debu di ruangan itu mengusikku. Awalnya kukira tempat ini mungkin ruang penyimpanan biasa.

Sampai aku melihatnya.

Itu, sebuah boneka unicorn bersayap di antara banyak mainan lain. Dan kini aku tak bisa tidak melihatnya.

Aku sadar semua mainan itu milik anak-anak yang sudah diadopsi. Aku yakin sekali kebanyakan dari mereka membawanya pergi dan bilang akan menyimpannya, jadi apa maksudnya semua ini?

Kepalaku tiba-tiba sakit, tengkukku merinding dan ujung jariku mati rasa. Tanganku dibasahi keringat dingin. "Apa..?" aku menggumam tidak jelas.

"Ini semua mainan milik mereka, Kanya. Kamu ingat, 'kan?" ujar Ray seraya menatapku—hampir takzim—tanpa ekspresi.

"Katakan padaku ini bukan cuma mereka yang tak sengaja meninggalkannya?" aku bertanya, namun bahkan ketika menanyakannya aku tahu jelas bahwa aku melihat sendiri anak-anak itu memeluk mainan mereka kala mereka melangkah keluar dari halaman rumah digandeng Mama.

"Kamu percaya, 'kan, Kanya?" Norman menepuk bahuku menatapku penuh harap. "Dengar, aku tahu ini menyakitkan tapi aku ingin kamu selamat."

Aku terdiam. Lalu menarik napas dengan gemetar. "Ray, Norman..." leherku terasa tercekat dan lidahku kelu. "Ayo keluar dari neraka ini."

《 ¤ 》

"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanyaku ketika aku, Ray dan Norman melangkah menyusuri hutan. Kami sedang bermain kejar-kejaran dengan yang lain—Norman bilang, ini modus supaya kita bisa diam-diam pergi melewati gerbang.

"Well, pertama-tama..." Ray memulai. "Pastikan rute kabur kita. Ke mana kira-kira kita harus kabur? Setelah memastikan rutenya kita bisa mulai menyiapkan apa yang kita perlukan."

"Kita mau lewat hutan?" tanyaku lagi.

Kini Norman mengangguk. "Seperti yang kaulihat."

"Tapi bagaimana..?" Aku memiringkan kepalaku tidak mengerti. "Memangnya ada jalan keluar dari hutan?"

"Kita akan melihatnya."

Aku diam. Namun sebuah pertanyaan melintas lagi dalam benakku. "Lalu bagaimana dengan permainannya? Yang lain pasti bingung 'kan kalau kita tidak mencari mereka?" tanyaku polos.

Ray membuka mulut, namun dia menutupnya lagi sebelum berkata apa-apa. Lelaki bersurai hitam itu bertukar pandang dengan Norman. "Kamu saja yang cari mereka."

"Eh? Kamu menyuruhku bermain ketika kalian berdua mencari cara untuk kabur?" Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat. "Aku ikut kalian!" tegasku.

"Ya sudah, aku bermain bersamamu lalu Ray yang mencari jalan keluar." ujar Norman.

Aku merengut.

"Ray yang paling bisa dipercaya, Kanya. Dia yang paling kuat di antara kita bertiga," kata Norman sabar sebelum aku sempat protes. "Lagipula kita bisa mengulur waktu."

Aku akhirnya mengangguk dan berbalik arah bersama Norman.

《 ¤ 》

"Ada tembok." ucap Ray lagi setelah aku meminta dia untuk mengulangi perkataannya.

"Oke." Aku mengangkat bahu. "Kalau begitu apa yang akan kita lakukan dengan tembok itu? Melubanginya?" celetukku asal.

Siang ini, sebelum makan siang, karena aku tidak mendapat tugas dapur—kecuali membereskan pantri yang sudah kulakukan dengan terburu-buru pagi tadi, kami berdiskusi lagi di ruang cuci pakaian yang hanya berisi tumpukan baju-baju kering, dan... tiga ekor ternak yang sedang membuat rencana untuk kabur dari peternakan.

"Kita tidak akan melubanginya, Kanya." kata Ray sabar.

Aku menatap tumpukan pakaian-pakaian putih yang berjejalan tidak rapi dalam keranjang rotan. "Jadi bagaimana kalau kita..."

Terdengar suara bel berbunyi. Aku menatap Ray. Ray mengeluarkan jam sakunya dan mengernyit bingung. "Masih ada dua puluh tiga menit lagi sebelum waktu makan siang."

Kami berpandangan. "Ada apa?"

《 ¤ 》

- Vidia
7 Mar 22, 10:33 pagi

Imaginary - Ray × Kanya(OC) ; [TPN FANFICTION] - endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang