《 O4 》Another Discovery [END]

62 8 0
                                    

Aku berlari dengan napas tersengal. Norman masih mencengkeram tanganku sangat erat kala kami berdua meniti jalan menuju tembok.

"N- Norman.." panggilku ketika kami sudah berdiri di depan tembok. Aku terduduk lemas karena kehabisan napas. Kulihat Norman menatapku setengah kosong setengah nanar.

"Jangan dulu, Kanya. Kita harus bergerak!"

Norman menarik tanganku lagi. Aku mengeluarkan tali dari tanganku. "T- tapi Ray..?"

"Utamakan dulu keselamatanmu, Kanya!" ujar Norman seraya merampas tali dengan kasar dan mengikatkannya ke salah satu pohon di dekat sana. Lalu ia menyerahkan ujung tali kepadaku. "Naiklah ke atas, Kanya. Kita harus kabur."

"Tapi Norman, Ray.. Kamu mau bilang kita bakal meninggalkannya?" Aku menatap Norman dengan mata lelah. "Tidak, 'kan?"

"Naiklah dulu, panjat tembok ini! Jangan khawatirkan Ray, kekhawatiranmu itu sia-sia, dan akan hanya menghambat pelarian kita!" Norman mendorongku.

Aku menggigit bibir, tapi tak dapat melawan. Norman sudah segusar ini, aku yakin sekarang kondisinya sedang gawat sekali, jadi kuyakinkan diri untuk mengayunkan kakiku, melompat ke atas tembok. Namun, ketika kujejakkan kakiku di atas tembok itu, aku langsung jatuh.

Sebuah tebing menganga lebar memangkas jalan menuju hamparan hutan hijau di seberang sana. Kulihat Norman yang sekarang tiba-tiba berdiri di sampingku. "Norman.."

"Kanya," dia menghela napas. Lalu tak lama, pandangan nanarnya berubah. Ia kini menyeringai. "Melompatlah."

Aku membelalak. "Apa?!"

"Melompatlah, Kanya."

"Apa maksudmu?" tukasku marah. "Kamu tidak berpikir aku bisa melompat sejauh itu, 'kan? Itu sama saja dengan melempar diri ke jurang!"

Namun Norman tidak langsung menyangkal. Dia menatapku dengan mata birunya yang kosong. "Ya, itu yang akan kaulakukan."

Sekarang aku takut. Tidak bercanda, Norman selalu membuatku takut dengan kecerdasannya, sekarang dia bertingkah seperti seorang psikopat dan menyuruhku melompat membuat tubuhku gemetaran. Mata kosongnya terlihat sangat mengintimidasi.

"Jadilah logis, Kanya. Sekalipun tidak menjadi santapan iblis, kamu tahu kamu tak akan bisa hidup lama, 'kan?" Norman terkekeh. "Obat itu. Obat milik Lambda yang selalu diberikan kepadamu dan anak-anak lain. Itu memaksimalkan performa tubuh ke otak, sementara banyak efek samping berbahaya menyerang imun. Kamu tahu itu, Kanya."

Norman maju, membuatku beringsut mundur dan menatapnya dengan tajam. Napasku masih memburu, dan keringat dingin mengalir di pelipisku. Aku menggeleng kuat-kuat.

"Ayo, Kanya. Daripada mati bodoh karena efek samping suatu obat, atau dimakan oleh iblis, lebih baik kalau kamu pergi dengan cara ini, 'kan?" Norman tertawa pelan. Tangannya yang dingin menyentuh pipiku. Menarik wajahku beberapa senti lebih dekat ke arah wajahnya. "Lihat matamu. Cahayanya sudah hilang. Kamu benar-benar mirip dengannya, benar-benar seperti replika-nya."

Sebuah tangan lain menarik pundakku dan menjauhkannya dari Norman. Tangan yang sangat kukenali. "R- Ray!"

Aku menatap tajam Norman di belakang punggung Ray. Aku tidak sempat melihat bagaimana ekspresi Ray saat menarikku tadi—dan aku sedikit terkejut karena dia datang dengan sangat tiba-tiba.

Angin dingin menerpa. Menerbangkan beberapa helai rambut pendekku yang sudah kusut. Tapi daripada angin itu, aku merasakan sesuatu yang lebih menusuk. Aura dingin dari kedua laki-laki di depanku. Aura yang menyeramkan.

"Sudah kuduga kamu bisa lepas darinya. Kamu memang anak yang pintar, Isabella pasti bangga memilikimu." ucap Norman.

Mata Ray memicing. "Tutup mulutmu, sialan. Aku bukan milik siapa-siapa,"

Imaginary - Ray × Kanya(OC) ; [TPN FANFICTION] - endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang