Tanganku bergetar. Sebisa mungkin aku menahan napas supaya tak terdengar. Kuarahkan fokus pada suara-suara di balik pintu.
"12 Oktober? Wah, wah."
"Ada apa? Kamu teringat hari itu?"
"Sudahlah. Tak perlu bicarakan hal yang tidak penting. Sebenarnya kebetulan sekali Grandma meminta kiriman mendadak, bocah itu tahu,"
"Haha, bukankah dia mengingatkanmu akan seseorang?"
"Jangan bercanda."
"Oke, oke."
Kemudian percakapan tentang anak-anak panti asuhan lain mulai mengalir. Sesuatu yang kupikir tidak perlu kuketahui. Aku berusaha melangkah pelan menuju ruang kesehatan, namun kedua kakiku terasa sangat berat seakan ada tali-tali yang mengikatnya. Aku menghela napas tertahan setelah berhasil melewati ruang kerja Mama.
Lalu aku jatuh. Kakiku selemas agar-agar. Aku sudah berada di depan ruang kesehatan, namun rasanya tanganku tak memiliki setitik kekuatan pun untuk sekedar memutar kenop kaca pintu di depanku.
Aku panik. Desah napasku bergetar tiap kali kuhembuskan mereka. Kepalaku pening, dan tenggorokanku tersekat. Apa kata mereka tadi? Aku akan dikirimkan pada 12 Oktober?
"Kanya?" seseorang memanggil namaku. Aku menoleh, dan hampir menangis ketika melihat siapa yang berdiri di sampingku.
"Ray.." lirihku dengan suara serak.
"Astaga, Kanya. Ada apa?" tanya Ray. Namun sebelum aku membuka mulut dan mulai menjelaskan, Ray terlebih dahulu menyambung. "Lenganmu, obati dulu lukamu, baru kauceritakan apa yang terjadi padaku. Ayo."
Ray mengulurkan tangannya dan aku sedikit demi sedikit bangun dibantu olehnya. Aku bernapas pendek-pendek menahan tangis. Air mata telah menggenang membuat iris hijau emeraldku tampak seperti terlapisi kaca.
"Ray.. Aku..." aku melirih ketika Ray pelan-pelan mengangkat lengan kemeja putihku yang bernoda merah.
"Aku mendengarkan," ujarnya pelan seraya dengan sangat hati-hati mengusap lukaku dengan kapas dan obat merah.
Kali ini air mataku jatuh. Sembari sesenggukan dan terceguk beberapa kali, aku mrnceritakan apa yang kudengar dari ruang kerja Mama. Ray membebat lukaku dengan perban seraya mendengarkan.
"Tidak apa-apa, Kanya," Ray mengusap lenganku yang sekarang berlapis perban putih. Ray melirik sekilas kalender pada dinding ruang kesehatan. Di sana, terdapat coretan tinta merah yang berhenti pada tanggal 9. Ray mengangguk. "Sebelas."
Aku menatapnya bingung dengan mata sembap. Ray menambahkan. "Tanggal sebelas kita kabur. Apa kamu siap?"
Aku mendesah. "Aku siap. Aku harus siap." Lalu kutatap Ray sekali lagi dengan bingung. "Memang kita sudah melakukan persiapan? Kita bahkan belum mebuat tali..."
Ray tersenyum. "Kamu menerima situasi dengan baik. Aku dan Norman telah membagi tugas di perpustakaan tadi." Ray meringis tertahan mengucap nama Norman-yang tidak terlalu kuperhatikan. "Kami akan mempersiapkan perbekalan. Apa kamu bisa mengecek temboknya, Kanya?"
Aku mengangguk pasti. "Ya."
Ray menepuk bahuku pelan. "Bagus, sekarang gantilah pakaianmu, sebaiknya kamu tidak jalan-jalan dengan pakaian bernoda darah seperti itu."
《 ¤ 》
Aku mendesah lega ketika tali yang kubuat telah selesai. Api dari lentera yang kubawa menari-nari liar di atas sumbunya. Minyak pada lentera itu hampir habis, berarti aku bisa ditinggalkan tanpa cahaya di gudang berdebu ini olehnya.
Aku buru-buru memasukkan tali ke dalam kain yang tak terlalu lebar lalu mengikatnya menjadi sebuah buntalan kecil. Aku berdiri dan meringis ketika kurasakan kakiku kesemutan karena terlalu lama duduk di sana.
Kusembunyikan buntalan itu dalam pakaianku, lalu aku mengendap-endap keluar gudang. Aku mematikan lentera dan meninggalkannya di meja sebelah pintu gudang sebelum keluar. Lalu kulangkahkan kaki ke arah dapur untuk mengambil air-aku haus.
Aku hampir berteriak ketika melihat Ray duduk di meja makan, dengan tenang membaca sebuah buku.
Ray tersenyum melihatku. "Hei." sapanya.
"Hei," sapaku riang. Aku mengambil sebuah gelas dan mengeluarkan teko berisi susu. "Belum tidur?"
"Belum." ujar Ray. Pandangannya kembali ke arah buku itu-tapi aku tak yakin jika dia sedang membacanya. "Aku merindukan ini."
"Hm?" aku bergumam bingung ketika aku duduk di samping Ray dan meneguk susu.
"Maksudku, aku akan merindukan ini. Kamu tahu, jendela di ruang makan ini sangat besar. Jendela tinggi di dekat atap itu," Ray menatap sebuah jendela lebar di salah satu sisi tertinggi tembok ruang makan. Aku tak begitu memperhatikan sampai sekarang. Dan aku menyadari bagaimana ruang makan bisa tetap terlihat terang di saat malam karena jendela-jendela itu menampakkan langit malam dengan bintang bertebaran. "Aku akan merindukan semua ini setelah keluar dari sini."
Aku mengangguk tanda mengerti. Kami duduk bersisian dalam diam selama beberapa detik. Aku lalu menaruh gelas susu di meja dan menepuk lutut Ray seraya tersenyum lebar. "Jangan khawatir, Ray! Di luar sana kita pasti akan melihat lautan bintang yang lebih luas lagi!"
Ray tersenyum. "Ya, kita akan melihatnya."
Lalu jam berdentang dua belas kali.
《 ¤ 》
Aku mendesah. Lalu aku merebahkan kepala di meja perpustakaan. "Gimana dong?"
Ray mengangkat kepala dari buku yang dibacanya. "Gimana apanya?"
"Ih, rencana kita! Kapan sih, kita bakal kabur? Ditambah lagi, Sister Gilda itu menguntit kita terus ke mana-mana!" omelku.
"Gimana kalau nanti siang saja? Setelah makan siang." usul Norman.
Aku mengangkat kepala dari meja dan menumpukannya pada tangan. "Kok rencana kita jadi berantakan begini, sih?"
Ray menatap kosong rak buku di belakangku. "Entahlah, mungkin dewa tidak mengizinkan kita keluar."
"Parah! Padahal tinggal menghitung jam sampai kematianku." Aku mengusak rambutku kasar.
"Enggak, aku bercanda. Mana mungkin dewa-dewa atau apalah itu ada," ujar Ray. Matanya kini memicing tajam. "Ya, mereka itu enggak ada. . ."
Norman menepuk bahu Ray dan tersenyum memukau. "Bagaimana kalau kita tebak dulu ada apa di balik tembok? Supaya kita ada rencana."
"Bagaimana kalau di balik tembok itu ada hewan-hewan buas?" Aku mengetuk-ngetuk meja dan mengangkat alis.
"Aku sebenarnya sudah membuat sedikit senjata. Bukan yang sangat mengesankan, paling hanya pemukul," ujar Norman.
"Aah! Aku pusing." Aku sekali lagi merebahkan kepala di kedua lenganku. "Aku mau tidur siang."
《 ¤ 》
"Kanya! Kanya!" Seseorang menggoyangkan bahuku keras-keras. Aku terbangun.
"N- Norman?" Aku menatapnya bingung. "Ada apa?"
"Dengar, Kanya. Kita harus kabur sekarang.. Iblis-iblis itu sekarang ada di sana, di gerbang.. Mereka sudah bersiap untuk mengirimmu!"
Aku terkesiap tajam. "Tapi 'kan pengirimanku besok?" tanyaku menolak untuk percaya.
"Aku tahu, Kanya, tapi mereka ada di sana!" Norman menarik lenganku sehingga aku berdiri dari kursi.
Norman berbeda, tidak biasanya dia gegabah seperti ini. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk mempercayainya. Karena itu berarti aku dalam situasi yang membahayakan—sangat membahayakan.
《 ¤ 》
- Vidia
18 Maret 2022, 02:17 AM
KAMU SEDANG MEMBACA
Imaginary - Ray × Kanya(OC) ; [TPN FANFICTION] - end
Fanfiction#1stpersonaproject Mereka bilang mereka itu spesial. Punya kamar sendiri, makan sendiri, ikut tes juga sendiri. Mereka tidak pernah ikut mengerjakan tugas rumah, selalu mendekam di perpustakaan kala kami-anak-anak lain -mengerjakannya. ××× Yakusoku...