Aku menatap wanita yang berdiri di samping Mama dengan tatapan hampir kosong. Wanita yang bersurai hijau gelap pendek dan berkacamata, memakai pakaian yang mirip dengan Mama. Aku menoleh ke belakang, untuk mendapati Ray dan Norman menatap setengah nanar ke arah wanita itu.
"Semuanya, sambut Sister Gilda dengan baik ya!" ujar Mama riang.
"Selamat datang Sister Gilda!" seru anak-anak yang mulai berkerumun di antara Sister Gilda.
"Hei, apa maksudnya ini?" cicitku dengan suara pecah.
"Tidak ada," kata Ray dingin. "Meski ada tambahan orang dewasa pun, kita pasti akan kabur. Harus."
Norman menatap Ray dengan senyum sendu. "Ya, pasti bisa kabur."
"Kalian gila?! Mereka itu orang dewasa! Lebih kuat dan pintar dari kita!" Aku berbisik dengan nada tinggi.
"Tenang, Kanya. Kalau kita sudah menemukan cara memanjat dinding itu.. Yah, mungkin kita bisa langsung kabur..." Kalimat itu seharusnya menjadi kalimat dorongan dan motivasi, tapi entah kenapa dari caranya bicara, dia terdengar putus asa.
"Ah! Inilah yang ingin kukatakan tadi," aku menjentikkan jari, mencoba menukar alur percakapan. "Bagaimana dengan tali?"
Mata Ray sedikit memicing. Aku menutup mulut dan memiringkan kepala sedikit bingung. Dan kusadari dia menatap ke balik punggungku. Aku menoleh, mendapati Sister Gilda sudah berdiri di belakangku dengan senyum lembut. Aku mengernyit saat menyadari langkahnya sangat pelan, bahkan saat memakai sepatu boots di atas lantai kayu yang berderit-derit ini.
"Sister Gilda, selamat datang!" ujarku dengan keceriaan yang palsu. "Aku Kanya,"
Sister Gilda mengangguk dan tersenyum semakin lebar ketika mendengarku bicara. "Aku dengar kamu salah satu anak paling berprestasi di sini, ya?" tanya wanita itu. "Senang berkenalan denganmu, Kanya!"
Sister Gilda menepuk puncak kepalaku yang berwana oranye terang sebelum akhirnya tersenyum sekali lagi dan pergi mengikuti Lia yang menarik-narik rok bercelemeknya.
Aku mendengus kecil dan kembali berbalik. "Apa-apaan itu.." Aku mengangkat alis melihat Ray dan Norman berdiri sangat kaku seperti patung diam saat berbalik. "Kenapa kalian kelihatan tegang sekali begitu?"
Norman terlihat merilekskan diri dan menggeleng, lalu tersenyum. "Tidak apa."
Lalu Ray dengan cepat menggamit tanganku dan menyeretku. Kali ini ke depan ruang tes. "Dengar, Kanya. Kita harus cepat-cepat pergi dari sini. Cepat-cepat."
"Iya... Dan omong-omong kita bisa pakai tali untuk memanjat temboknya 'kan?" tukasku. "Malam ini kubuat talinya. Besok kita langsung lari saja. Kalian siapkan makanan secepat yang kalian bisa.."
Aku mengetuk-ngetuk jari ke pipi. "Omong-omong.. Hanya... Kita bertiga?" tanyaku ragu.
Ray dan Norman berpandangan. "Soal itu..." Norman tersenyum. "Kita bicarakan soal itu nanti saja. Makan siang sudah mau mulai, Kanya. Mama akan segera membunyikan bel. Kami antar kamu ke depan ruang makan."
Aku mengerutkan alis merasa sedikit aneh, tetapi mau-mau saja diseret ke ruang makan oleh kedua temanku ini. Akhirnya mereka meninggalkanku di depan pintu ruang makan. Mereka selalu makan sendiri di kamar.
Kali itu, pintu ruang makan terasa sangat berat, sangat sulit dibuka. Suara derit engselnya pun terdengar sangat memekakkan. Mataku memicing ketika aku berhasil membukanya dan dari sudut ini, aku bisa melihat semua yang terjadi di ruang makan. Mama yang menata piring, anak-anak berlarian, beberapa yang lebih tua—seperti Kiel dan Rose sedang menata alat makan, atau Milo yang mendorong meja dorong dan Lia menaruh teko berisi susu di atas meja—dibantu Sister Gilda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imaginary - Ray × Kanya(OC) ; [TPN FANFICTION] - end
Fanfiction#1stpersonaproject Mereka bilang mereka itu spesial. Punya kamar sendiri, makan sendiri, ikut tes juga sendiri. Mereka tidak pernah ikut mengerjakan tugas rumah, selalu mendekam di perpustakaan kala kami-anak-anak lain -mengerjakannya. ××× Yakusoku...