Halo semua. Semoga kalian dalam keadaan sehat. Maaf jika ada typo, tapi tolong kalau ada typo ingatkan saya hehe
Jangan lupa vote dan komen.
Kritik dan saran juga saya terima, asal masih dengan bahasa yang sopan.
Terima kasih❤Happy Reading!
***
Laovhy memakan pizzanya dengan khidmat di tepi sungai, duduk lesehan di atas rumput, tanpa merasa takut sama sekali di malam yang gelap ini.
Tapi tentu saja akan ada setitik cahaya yang hidup, entah itu bulan, bintang, atau pun senter ponsel yang sedang dinyalakannya.
Mencoba melupakan semua kejadian menyebalkan hari ini. Yaoghy yang memang selalu membuat kesal dan lemah secara bersamaan, dan semua orang yang tiap harinya selalu saja membuat kadar emosi Laovhy jadi meningkat. Semuanya ... menyebalkan.
Siapa mereka berani mengatur kesedihan seseorang? Laovhy tidak bersedih, hanya saja ... semuanya sulit untuk dijelaskan—terlalu rancu.
Sepi. Tidak ada orang. Nyaman. Memakan pizza dan burgernya secara rakus. Kepalanya otomatis langsung memikirkan ayahnya, ayahnya sering mentraktirnya pizza dan burger. Ia ... merindukan bentakan ayahnya yang keras kepala dan merindukan sifat keprotektifannya.
Kembali memakan burgernya dengan satu gigitan lebih besar. Namun matanya otomatis membelalak saat melihat sosok Yaoghy yang sedang berjalan menghampirinya.
Terheran-heran, bagaimana bisa Yaoghy tahu keberadaannya?
Malas berbicara dengan Yaoghy—Laovhy segera saja bangkit dan memunguti makanannya berniat menuju mobil merah kesayangannya.
Namun tentu saja Yaoghy dengan cepat menghentikannya. Memegang kedua bahu Laovhy dengan erat.
“Mau kemana, hmm?” tanya Yaoghy membuat Laovhy merinding. Deep Voice-nya itu loh. Terlalu melemahkan.
“Lepasin, Yaoghy. Mau pulang. Tidak mau berbicara dengan pria jahat sepertimu,” kata Laovhy sinis.
Yaoghy menggeleng sembari membantu Laovhy untuk duduk kembali di atas rumput, menata kembali makanan yang sebelumnya berada di tangan Laovhy.
“Sudah, di sini saja dulu. Habiskan makananmu, katanya kau lapar?” Yaoghy menatap Laovhy dengan lembut. Seakan melupakan kejadian tadi siang yang membuatnya kesal.
“Iya, memang lapar. Tapi kau tidak memberiku makan.”
“Apa kau menganggap dirimu ini adalah hewan peliharaan?” tanya Yaoghy tidak habis pikir.
“Huh, aku benar-benar berharap begitu. Tapi nyatanya, aku hanyalah seorang perempuan jelita yang lembut dan penuh kasih,” ujar Laovhy tidak tahu diri.
Yaoghy berdecak. “Penuh kasih apanya? Lihat pelipismu, tanganmu, bajumu. Itu semua tidak mencerminkan kau gadis baik-baik. Kau hanya gadis bar-bar yang butuh perhatian,” ucap Yaoghy sembari memegang tangan Laovhy dan mulai mengoleskan krim pereda rasa sakit yang sebelumnya ia bawa. Tidak lupa juga dengan pelipisnya yang sudah diberi obat merah. Yaoghy memang setelaten itu jika menyangkut soal Laovhy.
“Bagaimana bisa kau tahu aku ada di sini?” tanya Laovhy.
“Bagaimana aku tidak tahu? Kau sering sekali ke sini jika sedang marah. Asal kau tahu, tidak sulit menemukanmu, Vhy,” ucap Yaoghy sambil memajukan wajahnya. Dekat. Dekat sekali. Yaoghy pasti sudah gila. Namun hanya beberapa detik, karena setelahnya Yaoghy sudah menarik wajahnya lagi dan kembali mengobati Laovhy.
Laovhy memukul kepala Yaoghy sampai membuat meringis. “Kau sepertinya sudah terlalu berani padaku. Siapa yang mengajarimu? Para gadis tidak tahu diri yang membuntutimu itu?”
Yaoghy menghentikan aktivitasnya, menatap Laovhy dalam sebelum akhirnya membuang napas panjang. “Kau tidak sedih? Ayahmu meninggal. Kau baik-baik saja? Jangan pura-pura terlihat tegar di depanku, Vhy. Aku tidak bisa kau tipu.”
Laovhy tersenyum asimetris. “Siapa yang tidak baik-baik saja saat Ayahnya mati? Tapi, aku adalah jelita. Seorang jelita tidak pantas bersedih. Hanya kalian rakyat jelata yang pantas melakukannya.”
“Tidak, kau salah, Laovhy. Kau itu manusia, sudah sepantasnya bersedih. Ibumu akan menangis darah saat mengetahui anaknya tidak menganggap dirinya sebagai manusia, melainkan sebagai hewan peliharaan.”
“Kau mau kubunuh di sini, ya? Jangan banyak omong. Kau tidak tahu apa-apa. Jadi, diam saja dan—“ Ucapan Laovhy terpotong saat Yaoghy menariknya untuk berbaring di atas rumput. Menjadikan tangan Yaoghy sebagai bantalan di kepala Laovhy.
“Ayahmu pasti bangga melihatmu, Laovhy. Melihat anaknya yang tangguh dan tahan banting. Dia benar-benar menyayangimu. Jadi, menangislah, tidak apa-apa. Menangis itu perlu di saat-saat seperti ini. Tapi setelah ini, berjanjilah untuk tidak menangis lagi,” ucap Yaoghy lembut.
Laovhy terdiam beberapa detik, memang mengiyakan apa yang baru saja Yaoghy katakan.
“Percaya diri sekali kau, aku akan menangis. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah menangis. Cepat lepaskan, aku ingin pulang.”
Yaoghy hanya terkekeh pelan, menertawakan sifat keras kepala Laovhy sembari mengeratkan dekapannya.
“Kau percaya tentang mitos bahwa orang yang sudah meninggal itu akan menjadi bintang di atas sana?” tanya Yaoghy sambil memandang jauh taburan bintang di atas sana. Indah sekali.
Laovhy berdecak. “Dongeng macam apa itu? Tidak bermutu sekali.”
“Kalau memang benar? Pasti Ayahmu sedang memandangmu dan ibumu dari atas sana. Menatap dengan penuh kerinduan.”
Yaoghy tersentak saat merasakan lengannya basah. Apa itu air mata Laovhy? Laovhy menangis? Ck, gadis itu benar-benar.
“Iya, menangis saja yang keras. Tidak apa-apa.”
“Aku tidak menangis, bodoh!” Apanya yang tidak menangis? Menyahut saja dengan isakan pelan dan nada bergetar. Sudah dipastikan Laovhy sedang menangis detik ini juga.
“Iya-iya,” sahut Yaoghy pada akhirnya.
Dasar! Laovhy tukang gengsi!Yaoghy mengusap puncak kepala Laovhy penuh sayang. Sungguh berharganya kehadiran gadis di sampingnya bagi hidupnya.
"Laovhy, tetaplah bahagia."
Tangisan Laovhy menjadi lebih keras setelah mendengar Yaoghy berkata seperti itu.
Sungguh, Laovhy sedih. Laovhy sedih mendengar Yaoghy berkata bahwa dirinya adalah gadis yang kuat, gadis yang tahan banting. Omong kosong! Jauh di dalam hati Laovhy dan batinnya, Laovhy amat sangat rapuh.
Dia membutuhkan seseorang untuk ia bersandar. Ia tidak bisa berdiri sendiri. Sungguh, ekspektasinya akan dunia penuh tentang kegagalan. Dia takut berekspektasi terlalu jauh, dia ... sudah sering dipatahkan oleh ekspektasi.
Namun, memang ini yang Laovhy ingin tunjukkan pada Yaoghy dan dunia. Seharusnya Laovhy sudah tidak heran.
Dia ingin menjadi kuat di mata orang-orang. Entah itu benar atau tidaknya, Laovhy tidak peduli. Dia hanya takut diacuhkan, ditinggalkan, dipandang rendah, dan yang lebih parah di imajinasinya adalah, ia takut ditindas. Dunia amat sangat kejam.
***
The Queen
Author by Masadah Regita

KAMU SEDANG MEMBACA
The Queen
Teen Fiction"Sekali jelata tetap jelata." ** "Tidak apa-apa untuk terlihat tidak baik-baik saja." "Tidak, Yao. Aku jelita. Seorang jelita tidak pantas bersedih."