"Re?"Tepukan ringan di bahu Retta tak lantas membuat gadis itu berpaling dari siomay yang sedang ia santap. Ia tidak peduli suasana kantin yang semakin sesak karena banyak anak-anak yang berhamburan masuk ke dalam di saat jam istirahat tiba. Sesekali Retta menyeruput es jeruknya demi melancarkan tenggorokannya menelan makanan.
"Kabarnya di kelas kita akan ada siswa pindahan," ucap Melin lagi memulai obrolan.
"Ouh ya?" timpal Retta acuh.
Melin mengangguk yakin, selain kabar yang ia dengar, tanpa sengaja Melin juga melihat sendiri wali kelasnya bersama seorang murid laki-laki di ruang guru saat ia melintas tadi. Dan Melin semakin meyakini hal itu.
"Baguslah, biar tambah rame kelas kita."
"Dia cowok, Re," ucap Melin lagi.
"Hmm, terus?" tanya Retta setelah berhasil menelan sepotong siomay.
"Ya siapa tahu bisa gue crush-in, tau sendiri Darren itu gimana cueknya."
Retta hampir saja menyemburkan tawa kalau saja tidak ingat dirinya sedang makan. Sahabatnya itu terlalu gengsi jika harus mengungkapkan perasaannya lebih dulu, namun selalu kesal jika tak ada respon dari cowok yang disukainya.
"Ngungkapin lebih dulu apa salahnya sih?"
Bibir Melin mencebik. "Nggaklah!"
"Cie yang gengsinya tinggi," celetukan seseorang yang tiba-tiba datang bersama temannya yang lain seketika membuat melin melotot semakin kesal.
"Diem lo, Thaf!"
Seseorang yang dipanggil 'Thaf' itu hanya terkekeh geli, menarik kursi di hadapan keduanya, diikuti Zoe yang melakukan hal yang sama.
"Jaman sekarang nggak jaman cewek cuma nunggu, ungkapin aja kali, Mel. Paling nanti lo malu kalo ditolak."
Kalimat Zoe sukses membuat mereka tertawa, terkecuali Melin. Gadis itu melempar bekas tisu yang ia pakai ke wajah Zoe. Sudah menjadi rahasia umum untuk mereka jika Melin tertarik dengan Darren sejak lama.
"Emangnya kalo nanti gue diterima nggak masalah nih?" Melin melirik Althaf dengan ekor mata.
Althaf menaikkan alis. "Kenapa sama gue?"
"Ya secara lo 'kan keliatan nggak suka gitu sama Darren."
"Ya terus? Yang mau pacaran sama dia 'kan lo, bukan gue." Dengan santai, Althaf meneguk es tehnya yang baru datang. Menghiraukan Zoe yang berusaha menahan tawa.
"Udah, masalah Althaf sama Darren biar jadi urusan mereka aja. Nggak perlu lo jadiin alasan atas kegengsian lo nembak dia lebih dulu. Bener nggak Thaf?" tanya Zoe meminta persetujuan yang langsung diangguki Althaf dengan acungan jempol.
Retta menanggapi dengan menggelengkan kepala, menggeser piring siomaynya yang telah kosong ke tengah. Tangannya meraih ponsel di saku kemeja, ia belum membukanya sedari tadi. Pop-up pesan dari Aza muncul paling atas ketika Retta berhasil membuka kunci. Kakak lelakinya itu mengirim dua buah pesan.
Bang Aza
Re, nanti plngnya jangan telat y
Abang mau ajak kamu ke rumah Tante SiwiBang Aza
Mereka baru pindahan ke sini kemarenTidak langsung membalas, Retta membaca dengan seksama pesan dari Aza. Memorinya mencoba mengingat ingat nama Tante Siwi. Namun Retta tidak berhasil mengingat nama itu. Ia hanya membalas pesan Aza dengan kalimat persetujuan, lalu menyimpan kembali ponselnya.
"Neng Retta nggak mau ngungkapin perasaan ke Bang Zoe juga nih?" Zoe menaik turunkan alis menggoda Retta yang justru mengernyit.
"Huss!" Melin menggeplak lengan Zeo hingga cowok itu mengaduh. "Udah ada pawangnya noh, samping lo."
Althaf yang sedang menikmati baksonya sontak tersedak. Rasa panas menjalar di dalam tenggorokannya, buru-buru ia meraih air minum. Menetralisir rasa pedas yang membuatnya terbatuk beberapa kali.
Retta yang tepat berada di hadapannya menatap ngeri. "Lo nggak papa Thaf?" tanyanya yang dibalas anggukan dari cowok itu. Retta kini beralih menatap Melin dan juga Zoe. Lalu kembali berucap, "Emang gue ular apa, ada pawangnya segala."
"Iya Re, ular, ular berbisa. Bisa buat seorang Althaf jatuh cinta maksudnnya." Zoe terbahak karena kalimatnya sendiri, menghiraukan tatapan aneh dari yang lain.
Astaga! Ingin sekali Althaf membungkam mulut Zoe yang kurang ajar itu!
***
Jika ditanya apa yang paling membosankan bagi Retta, maka jawabannya adalah menunggu. Sudah hampir lima belas menit ia menunggu Aza yang berpesan akan menjemputnya, namun kakaknya itu belum juga muncul sedari tadi. Retta juga lelah berdiri sendiri di depan gerbang layaknya anak hilang.
Berdecak sebal, Retta akhirnya membuka ponselnya. Berniat memesan layanan ojek online. Namun belum sempat ia menemukan driver, suara motor yang berhenti tepat di hadapannya membuat Retta mendongak. Ah, Retta kira itu Aza.
"Belum pulang?" Althaf melepas helm, turun dari motor dan mendekat pada Retta.
Menggeleng, Retta kembali menatap layar ponselnya.
"Gue anterin aja yuk, sekalian."
Retta kembali mendongak, menatap Althaf yang juga menatapnya. "Rumah lo bukannya searah sama rumah Melin? Yang ada kejauhan kalo lo puter balik."
Althaf menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Ya nggak papa, gue nggak buru-buru pulang kok."
Akhirnya setelah menimbang-nimbang Retta menyetujui ajakan Althaf. Ia akan mengirim pesan untuk Aza saja nanti.
Setelah Retta naik ke boncengan, Althaf melajukan motornya membelah jalan sore yang mulai padat. Retta berpegangan pada sisi jaket boomber Althaf ketika cowok itu mulai menyalip kendaraan di depannya.
Tepat di lampu merah, Althaf berhenti di samping mobil silver yang kacanya tertutup. Retta menoleh ke arah kanan, bertepatan dengan kaca mobil itu yang terbuka. Netranya langsung melebar tatkala tak sengaja bersibobrok dengan iris sehitam jelaga milik seseorang di dalam mobil.
Tidak! Ini tidak mungkin!
Retta langsung melengos, kedua lengannya refleks memeluk jaket yang membungkus tubuh Althaf hingga pemiliknya melirik heran dari spion. Retta ketakutan, tubuhnya sedikit bergetar sekarang. Althaf merasakan hal itu, namun saat berniat menoleh untuk memastikan keadaan Retta, bunyi klakson dari kendaraan di belakang menyentaknya. Buru-buru ia kembali melajukan motornya.
"Re?" Althaf memelankan laju motor saat mulai memasuki kawasan perumahan tempat tinggal Retta. Ia tidak tahu pasti letak rumah Retta, namun gadis yang masih setia memeluk pinggangnya itu tetap bungkam.
Merasa tidak akan mendapat jawaban, Althaf menepikan motornya di depan sebuah minimarket. Lalu pamit terlebih dulu pada Retta sebelum masuk ke dalam dan kembali lagi dengan dua botol air mineral.
Retta menerima angsuran air mineral dari Althaf, wajahnya tampak pucat. Saat ini keduanya sedang duduk berhadapan di kursi yang tersedia di depan minimarket, meja berukuran sedang menjadi sekat.
"Lo nggak papa, Re?" tanya Althaf memastikan.
Retta yang sedang melamun tersentak, mendongak lalu menggeleng pelan.
"Rumah lo yang mana?"
Belum sempat Retta menyebutkan letak rumahnya, getaran ponsel Althaf yang tergeletak di meja menyela lebih dulu. Althaf bangkit, meraih ponselnya sebelum sedikit menjauh.
Sembari menunggu, Retta menunduk, tangannya sedikit meremas botol air mineral yang isinya tersisa setengah itu.
"Gue harus cepet balik, Re. Nggak papa 'kan kalo gue tinggal di sini? Rumah lo udah deket 'kan?" Althaf kembali mendekat pada Retta, ia baru saja mendapat telepon yang mengharuskannya untuk cepat pulang.
"Nggak! Gue...." Retta kesulitan merangkai kata, tangannya yang dingin mencekal sebelah lengan Althaf. "Please... bentar aja anterin gue sampe rumah. Nggak jauh kok dari sini, ya?"
Althaf melirik cekalan tangan Retta di lengannya, lalu beralih menatap matanya yang penuh binar permohonan. Ada apa dengan Retta?
***
3 Mei 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
About Ayodya
Teen FictionSejak kedatangan murid baru di sekolahnya, ingatan kelam yang mulai terkikis kembali muncul menjadi mimpi buruk bagi Retta. Ia tidak pernah mengira semua akan kembali secepat ini. Sekalipun semua orang percaya jika dirinya bukan pembunuh, rasanya sa...