Retta batal menemani Aza untuk pergi bersama ke rumah Tante Siwi. Gadis itu langsung mengurung diri di kamar setelah Althaf dengan baik hati mengantarnya sampai depan rumah.Aza yang baru saja kembali dengan motornya menatap adiknya heran ketika tergesa masuk kamar. Berdiri di depan pintu kamar Retta, Aza mengetuknya beberapa kali.
Tok, tok, tok.
"Re? Retta? Marah ya sama Abang?" Tidak ada sautan dari dalam. Aza hendak mengetuk pintu kembali saat getaran ponsel di saku celananya menyela lebih dulu.
Aza menatap layar ponselnya dengan heran. Alih-alih menjawab langsung, Retta justru mengiriminya pesan.
Retta
Aku g jadi ikut ke rumahnya Tante Siwi
Abang klo mau ke sana sendiri gpp kan?Aza
Iya gpp
Kamu jgn lupa makan
Maaf g bisa jemput tadiAza menyimpan ponselnya kembali setelah pesan balasannya telah dibaca. "Abang pergi dulu ya, Re. Kamu jangan di kamar terus, mandi abis itu makan."
Mendengar langkah seseorang menjauh, Retta menghembuskan napas pelan. Hatinya terasa mengganjal karena satu hal yang ia lihat tadi. Rasa takut kembali menyerangnya. Mengapa dia harus kembali? Dan mengapa pula Retta harus setakut ini?
Berusaha menenangkan diri, Retta melangkah keluar kamar dengan pakaian yang sudah berganti. Ia hanya melirik sekilas meja makan yang tersedia banyak lauk di sana. Ah, Mbak Eno pasti yang menyiapkan itu semua. Wanita pertengahan empat puluhan yang memang dipekerjakan ayahnya untuk membantu mengurus rumah sekaligus menyiapkan makanan. Rumahnya tidak jauh dari sini, sehingga hanya akan bekerja dari pagi sampai sore sebelum pulang kerumahnya.
Membuka kulkas untuk mengambil es krim vanila di freezer, Retta berjalan menuju kolam renang yang terletak tepat di samping rumah. Rasa laparnya menguap begitu saja, ia tidak napsu untuk makan sekarang.
Retta memperhatikan pantulan bayangan dirinya di atas air kolam yang tenang. Duduk bersila di tepian kolam dengan tangan yang sibuk membuka bungkus es krim. Rasa manis langsung melumer di lidahnya usai sesendok kecil es krim berhasil tersuap. Vanila, rasa kesukaannya. Sekaligus rasa yang dibenci seseorang di masa lalunya. Juga seseorang yang membuatnya merasa bersalah sepanjang hidupnya.
Empat tahun lalu, adalah masa-masa terberat yang pernah Retta alami. Masih terekam jelas diingatan saat sang sahabat meregang nyawa di hadapannya. Bertepatan dengan satu tahun kepergian ibunya. Tubuhnya gemetar saat mencoba membawa kepala Arta yang bercucuran darah ke pangkuannya. Retta bahkan sempat melihat Arta tersenyum sebelum menutup mata.
"Arta bangun Ta! Gue mohon bertahan sebentar ya? Jangan tinggalin gue! Nggak, lo nggak boleh pergi! ARTA!!" raungan Retta tak lantas membuat Arta membuka matanya. Orang-orang mulai berdatangan mengerubungi mereka. Sebagian malah mengejar mobil yang melarikan diri usai menabrak Arta.
Retta tak mampu menahan tangisnya saat itu. Ia peluk erat tubuh Arta yang sudah lemas, tak peduli jika jaket putihnya berubah warna merah darah. Gadis tiga belas tahun itu benar-benar takut. Tangisnya tak lantas berhenti saat tubuh Arta diangkat menggunakan tandu dan dibawa menggunakan ambulance untuk segera di bawa ke rumah sakit.
Retta bahkan memaksa masuk untuk menemani Arta di ruang UGD saat sampai di rumah sakit. Namun karena tidak diijinkan, yang Retta lakukan hanya tergugu, duduk memeluk lutut bersandar pada pintu kaca buram.
Kedatangan keluarga Arta ke Rumah Sakit membuat keadaan semakin pelik untuk Retta. Dengan susah payah, Retta menjelaskan kronologi kejadian disertai isakannya yang belum juga berhenti. Namun apa yang ia dapat? Tamparan keras di pipi kirinya. Bukan, bukan dari kedua orang tua Arta, melainkan dari kembarannya—Arsa.
Arsa semakin menjadi ketika pintu ruang UGD terbuka dan dokter menjelaskan jika nyawa Arta tidak tertolong. Benturan keras di kepalanya mengakibatkan pendarahan yang membuatnya kehilangan banyak darah. Sungguh, rasanya Retta ingin ikut mati saat itu juga.
"Kalo seandainya Arta nggak nemuin lo, dia nggak akan mati sia-sia kayak gini! Ini semua karena lo, Re!" Arsa menuding Retta yang ketakutan dengan telunjuknya."Pembunuh! Lo yang udah bunuh saudara kembar gue, Re! Lo pembunuh!" Rahang Arsa mengeras, matanya memerah menahan tangis. Berbalik, Arsa mendekati orang tuanya yang tak kuasa memeluk tubuh kembarannya yang terbaring kaku. Meninggalkan Retta yang bergetar berusaha menopang tubuhnya agar tetap tegak berdiri.
Aza baru datang saat Retta hampir saja ambruk. Memeluk erat adiknya yang pucat pasi.
Retta menghembuskan napas panjang mengingat peristiwa itu. Kepalanya mendongak demi menghalau air mata yang berkumpul di pelupuk matanya. Rasanya masih sama menyakitkan. Ia sungguh bersyukur bisa tetap bertahan sampai detik ini. Melempar bungkus es krim yang telah kosong ke tempat sampah terdekat, Retta berniat bangkit ketika sesosok makhluk berbulu berlari menabrak kakinya, lantas tanpa permisi naik ke pangkuan Retta.
Meong... meong...
Retta terkekeh geli, mengelus pelan kepala Gembul—kucing abu milik kakaknya—yang semakin bergelung nyaman di pangkuan. Mendongak, kucing yang memiliki dua warna bola mata berbeda itu mengerjap lucu. Oh rasanya Retta tidak tahan untuk tidak membelainya. Dari sekian banyak orang terdekat yang selalu menyalurkan energi positif serta dukungan, kucing odd eye ini juga menjadi salah satu alasan Retta tersenyum.
Iseng, Retta meraih ponsel, melakukan panggilan video dengan Melin—sebagai fans berat si Gembul. Retta yakin sahabatnya itu tidak tahan melihat makhluk berbulu yang kini turut memperhatikan layar ponsel Retta.
"Oyy, tumben video call. Kenapa Re?"
Retta menahan senyum, seolah melupakan kejadian tadi. Tampak Melin tidak memperhatikan layar karena sibuk melayani pembeli dengan apron berwarna hitam bertuliskan Elin Cake&Bakery terikat di pinggangnya.
"Coba deh, lihat sini," pinta Retta usai Melin mengucapkan terimakasih kepada pembeli terakhir.
Menoleh, Melin mengedipkan mata beberapa saat. "Astaga imutnya si Gembul." Gemas, Melin bertingkah seolah ingin meraih si Gembul ke pelukannya. "Nggak tahu aja lo Re, gue lagi bantuin Mama di toko. Nggak bisa ke rumah lo main sama si Gembul!" Seru Melin kesal.
Terbahak, Retta justru semakin menggoda Melin dengan menguyel-uyel pipi Gembul yang tetap anteng. "Kasihan... makanya pelihara aja di rumah, biar punya sendiri."
Melin berdecak, kedua tangannya bertumpu di sisi pinggang. "Mau sih gue. Cuma siapa yang mau urus? Lagian yang odd eye 'kan jarang Re, di pasaran."
Memang kucing seperti ini tidak banyak di pasaran, berbeda dengan kucing-kucing lain. Aza mendapatkan si Gembul juga berkat temannya yang bergabung di kominitas kucing langka. Kakak dari Retta itu mengadopsinya sejak kecil.
"Besok pulang sekolah, gue harus ke rumah lo pokoknya. Main sama si Gembul," lanjut Melin lagi.
"Iya, mau sekalian nginep juga nggak papa mumpung lusa weekend," tawar Retta yang ditanggapi antusias.
"Ide bagus! Udahan dulu, gue mau bilang Mama. Bye!"
Retta melambaikan tangan sebelum panggilan di tutup.
Lagi. Retta diserang rasa sepi. Mengasihani diri yang tak pernah merasa bahagia dengan pasti. Tapi ini pilihannya, dan ia harus tetap menjalani meski tidak pernah tau jalan seperti apa yang nanti akan dijalaninya.
***
8 Mei 2023
![](https://img.wattpad.com/cover/300996728-288-k679049.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
About Ayodya
Teen FictionSejak kedatangan murid baru di sekolahnya, ingatan kelam yang mulai terkikis kembali muncul menjadi mimpi buruk bagi Retta. Ia tidak pernah mengira semua akan kembali secepat ini. Sekalipun semua orang percaya jika dirinya bukan pembunuh, rasanya sa...