“Woy lo! Jangan main-main kalau lagi pemanasan!”
“Jongkok bangun lima puluh kali di tempat! Sekarang!!”
Suara bariton yang tegas itu langsung membuatku dan Mila seketika menoleh.
Dia Farrel, salah satu antek-antek Alviano yang tegas dan sangat galak. Hal itu terbukti dari wajahnya yang sangat datar dan auranya yang membuatku merinding.
Aku menoleh ke arah Mila yang sudah gemetar ketakutan sembari menundukkan kepalanya. Farrel mendekat dan berdiri dihadapan Mila, menatap perempuan itu tajam dengan wajahnya yang sangat judes.
“Kamu tau masih pemanasan? HAH!?” teriaknya dengan marah.
Aku pun ikut meringis mendengarnya, ini bukan salah Mila, tetapi aku, aku yang memanggil gadis itu duluan.
“Eh, gue yang panggil dia duluan. Bukan dia yang salah.” Sahutku membuat Farrel menoleh dan menatapku.
“Lo tau ini masih jam latihan kami kan? Sadar dong! Dia masih anak kelas sepuluh, jangan sampai dia main-main di sini.”
“Gue cuman panggil dia bentar! Karena gue butuh dia buat panggilin ketua lo!” Teriakku tak kalah kencang membuat semua yang ada disana menatapku, termasuk Farrel dan Mila. Sungguh, aku paling benci seseorang yang berteriak seperti itu, padahal aku juga berkata baik-baik.
“KALAU KALIAN MASIH LIATIN MEREKA, LARI KELILING LAPANGAN SEBANYAK DUA PULUH LIMA KALI!” Serentak semuanya langsung kembali ke urusan masing-masing saat mendengar seruan dari sang ketua yang sedari tadi aku cari.
Aku menatap ke arah sumber suara, aku mengenal suaranya, dan mataku terus menatap wajah itu.
Hampir satu tahun, aku dirundung oleh laki-laki itu. Kami hampir tidak bertemu 3 tahun lamannya sejak masuk ke sekolah menengah pertama, namun saat masuk ke sekolah menengah atas, aku kembali bertemu dengannya. Dia yang terkenal karena hebat dalam hal bela diri. Namun, semua keahlian itu ia salah gunakan dengan merundungku seperti waktu SD dulu.
Aku benci.
Sangat benci.
Dengan wajahnya yang santai tapi menusuk, Alviano berjalan ke arah kami tanpa melepaskan pandangannya dariku.
Aku mengalihkan pandanganku sinis, saat dia sudah benar-benar ada diantara kami bertiga.
“Nggak usah cengeng. Sana, ulang pemanasan dari awal. Rel, liatin dia, biar gue yang urus nih cewek.” Perintahnya pada Farrel yang diangguki laki-laki itu.
Selepasnya, Mila berjalan di belakang Farrel. Aku meringis, tadi Mila sudah pemanasan lama hingga keringat bercucuran di keningnya, tapi ia harus mengulanginya lagi dari awal karenaku.
“Kenapa? Lo mau gue jatuhin air pel kayak dulu? Atau mau gue buat kepleset di koridor sekolah?” Ujarnya remeh. Aku pun menatapnya sembari menggeleng kecil, dari dulu hingga sekarang, dia selalu sombong dan angkuh.
Dulu waktu kelas sepuluh, dia melakukan semua hal hanya untuk menyerangku. Semua orang juga tau kalau aku, Alessia, adalah orang yang suka dibully oleh Alviano.
Dia selalu sombong, seperti dia saja yang paling hebat di dunia ini. Bahkan aku pun, tidak pernah menyukai keangkuhannya itu, hanya kak Dimas lah yang menurutku lebih hebat dari laki-laki di depanku ini.
“Lo masih sama aja ya dan nggak pernah berubah. Udah lah, gue paling males kalau harus berurusan sama lo. Gue cuman mau bilang, lo harus ikut wawancara sama gue.” Alviano menaikkan alisnya sebelah dengan sikap angkuhnya.
“Wawancara? Nggak menarik. Pasti soal perlombaan antar provinsi itu kan? Gue nggak mau, pasti bosenin,” aku mengepalkan tanganku kuat, sungguh berbicara dengannya dari dulu selalu membuatku geram.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rival
RomanceMereka kerap kali berdebat dan bertengkar. Pertengkaran yang tak pernah usai ketika di masa sekolah dasar dulu, hingga takdir harus membawa Alessia untuk bertemu dengan Alviano, yakni rivalnya sendiri. ---- Saat menginjak kelas sebelas, entah menga...