Bagian 4

192 35 2
                                    

Byurrr!

"Alvianooo!!!!" Aku berteriak karena sebuah air yang entah darimana asalnya langsung menyambar dan membasahi pakaian yang aku gunakan.

Jleb!

Semua lampu menyala dengan terang benderang, ruangan yang awalnya sangat gelap itu, berubah menjadi terang dengan beberapa orang yang sedang duduk di sofa ruang utama.

Mereka semua tertawa memperhatikanku, ada Alviano dan juga teman-teman lelaki itu. Duduk santai sambil tersenyum melihat aku yang sedang basah kuyup.

Aku juga merasa malu saat melihat seorang perempuan yang sangat aku kenali wajahnya sedang menatapku balik dengan malu. Dia duduk disamping Alviano, namun tidak tertawa seperti yang lainnya.

Aku mendongak ke atas, dan kulihat sebuah ember besar tergantung disana. Ember berwana biru yang digantung menggunakan tali itu, secara cepat jatuh kebawah saat aku membuka pintu tadi.

"Jadi ini maksud lo manggil gue?" Tanyaku menatap Alviano dengan penuh marah.

"Bukannya lo yang perlu gue?" Tanya Alviano balik.

"Kalau lo nggak niat dari awal, nggak usah manggil gue kesini. Lagian ini juga salah gue, nggak seharusnya gue percaya sama orang kayak lo." Ucapku dalam dan menusuk. Menyesal, satu kata itu yang mendefinisikan perasaanku.

"Yaelah, Le. Baperan ah! Nggak seru sumpah!" Ujar Barga, laki-laki berkulit putih, berambut cepak bukan cepmek, yang tinggi tubuhnya lebih pendek dari yang lain.

Memang, semenjak remaja gen-z menciptakan kata baperan, perasaan orang lain justru dibuat main-main dan sikap saling menghargai sudah hampir hilang.

Alviano tersenyum dan melempar senyum itu ke arahku. Tangannya yang kekar, ia letakkan di sisi sofa, persis seperti seorang raja yang angkuh.

"Denger ya Le, air itu tuh bersih loh, kita nggak pake air pel-pelan kayak kemarin. Jadi ya it's okey, lo nggak bakalan kena cacar, apalagi rabies." Sahut Bima, laki-laki berjaket merah itu menyisir rambutnya ke belakang dengan angkuh.

"Kenapa? Lo marah?" Tanya Alviano menatapku dengan kasihan. Sungguh, tatapannya sangatlah aku benci.

Dari jaman purbakala pun, Alviano tidak pernah sekalipun berbuat baik padaku, selalu menganggu dan menyulitkan orang yang sudah susah sepertiku.

Aku berbalik dengan perasaan yang sangat menyesal, hendak berjalan keluar sebelum sebuah Hoodie hitam tesampir di bahuku. Aku menoleh dan menatap sang pelaku, dia menyengir kuda ke arahku.

"Lepasin, gue mau balik!" Seruku dengan kesal.

"Gue nggak ikut-ikutan mbek!" Ucapnya membela diri.

"Dar, lo itu ikut-ikutan. Liat sekarang gue basah kuyup. Lagian lo sih, ngapain juga malem-malem masih keluyuran," Aku menatap wajah bodoh Darrel tanpa rasa bersalah sedikitpun.

Iya, dia Darrel, salah satu pemuda yang termasuk ke dalam kelompok Alviano. Bukan kelompok belajar pastinya, tapi sebuah kelompok dengan tujuan hanya untuk pamer saja, menyombongkan diri, menunjukkan skill ini itu. Itu pandanganku terharap kelompok pertemanan mereka.

Darrel selalu memanggilku dengan kata mbek, mbek, seperti suara Kambing. Dia bilang kalau aku sedang marah, wajahku ini persis seperti kambing.

RivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang