Aku berjalan dengan pelan sembari menunduk ragu. Mataku melirik ibu yang sedang menjahit beberapa pakaian wanita, milik ibu-ibu setempat yang memang sudah menjadi pelanggan tetap kami.
"Kak, tolong ambilin kain di atas meja sana, ibu mau jahit. Soale esok Buk Dewi mau ngambil bajunya," suruh ibuku, Ayu tanpa melihat ke arahku.
Tanpa melihatku pun, ibu selalu tahu kehadiranku, padahal aku tadi hanya berjalan pelan saja tanpa suara.
"Iya, buk." Dengan cepat aku mengambil kain satin berwarna merah maroon itu dan langsung memberikannya kepada ibu.
"Ini,"
"Makasih," ucapnya mengambil kain di tanganku.
"Kamu mau kemana, ndok? Kok bawa tas kayak gitu?" Tanyanya terheran-heran, melihatku yang sudah siap dengan ransel biru dan jaket merah.
"Buk, kakak minta ijin ya, mau ke ru-rumahnya Si-Sisil," Ibu mengerutkan keningnya dalam.
"Kenapa kamu nggak dari tadi aja? Ini udah malem."
"Ta-tadi kakak lupa buk, soalnya kakak juga sibuk harus buat laporan. Saking sibuknya sampai lupa buat tugas, ak-akhirnya si Sisil pulang duluan, jadinya nggak buat tugas deh." Bohongku dengan gugup.
Aku jarang berbohong dengan ibu, karena aku adalah orang yang tegas, jadi sulit untuk bisa berbohong walau hanya sekali. Jika tidak terpaksa, maka aku tidak akan pergi ke rumah Alviano.
"Mbok yoo, besok aee. Memang nggak bisa besok ta?" Tanya ibukku dengan logat medoknya. Saat berbicara denganku atau orang lain, biasanya ibu suka mencampur bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia, namun jika dikampung, ibu akan berbicara dengan bahasa Jawa sepenuhnya.
"Nggak buk, tugasnya harus dikumpul besok. Kakak janji deh, bakalan pulang cepet, nanti kalau ada apa-apa, kakak bakalan langsung kabarin ibu. Janji,"
"Yasudah, jangan lama-lama tapi ya? Langsung pulang," Aku mengangguk cepat dan mengambil tangan ibu, lalu menciumnya.
"Yaudah, kakak pergi ya, Assalamualaikum,"
"Waallaikumsalam, hati-hati loo yoo, ndok,"
"Iya!"
Aku bergegas menuju ke depan halaman rumah kontrakan ku. Disana ojek online sudah menungguku. Aku menghampirinya.
"Ayo mas, kita berangkat, sesuai lokasi ya,"
××××××××
Selepas membayar ongkos ojek, Aku berbalik dan menatap kagum rumah di depanku ini.
Sebenarnya aku tidak perlu heran, Alviano memang orang kaya, namun terkadang aku iri terhadap laki-laki itu. Hidupnya itu sempurna. Tampan (Kata orang), kaya, berprestasi, bahkan banyak dikenal orang.
Hanya saja dia cukup angkuh, namun keangkuhannya itu entah kenapa hanya ditunjukkannya kepadaku, tidak kepada orang lain. Entah dia itu tidak waras atau bagaimana, suka sekali mencari gara-gara denganku.
Dari dulu, sejak kami berada di bangku kelas empat SD, wataknya sudah sangat keras, dia sudah berlatih pencak silat cukup lama dan sudah hebat juga. Bahkan teman-teman sekelasku pun juga takut kepadanya. Dan yang paling aku benci, dia itu suka sekali memukul ku, iya, kasar kepadaku. Bukan hanya memukul, tapi juga menendang, mencubit, menarik rambutku dan masih banyak lagi, dia memang sesadis itu.
Aku menggeleng cukup keras, lebih baik tidak usah memikirkan laki-laki itu. Aku harus bergegas agar bisa segera pulang, berdekatan dengan Alviano sungguh membuatku tidak betah.
Sebelum aku masuk, aku harus menelpon Alviano, tidak mungkin jika aku nyelonong begitu saja ke rumah orang yang dekat saja tidak.
"Halo, lo dimana? Gue udah didepan!" Seruku sedikit emosi dan lebih banyak mendumel.
"Masuk aja. Manja banget lo, nanti ada satpam disana, tanya aja, terus suruh anterin masuk." Balas Alviano yang tak lama langsung mengangkat telponku.
"Surah suruh surah suruh, pamali lo, dosa nyuruh nyuruh orang tua!"
"Serah lu, cepetan masuk gue udah nunggu lama nih!"
"Iya, iya sabar napa sih!"
Aku merenggut sebal, ku matikan sambungan telepon kami secara sepihak dan memasukkan benda pipih persegi panjang itu ke dalam tasku.
"Assalamualaikum, permisi." Salamku sedikit berteriak.
Tiba-tiba pintu gerbang berwarna putih itu terbuka, menampilkan sesosok pria paruh baya berseragam satpam.
"Waallaikumussalam, mbak mau cari siapa ya?" Tanya pria itu.
"Saya mau cari Alviano, ini rumahnya ya pak?" Tanyaku balik.
Jelas aku bertanya, aku belum pernah ke rumah laki-laki itu walau hanya sekali saja. Bertemu di sekolah saja, kami sering bertengkar, apalagi jika aku harus datang kerumahnya.
"Iya, mbak. Langsung masuk aja, orangnya di dalam. Mari saya antar,"
Aku mengangguk, dan mengikuti satpam itu yang mulai berjalan masuk ke dalam. Setiap langkah, aku menatap ke arah sekelilingku.
Tanganku hanya bisa menggenggam erat tali ransel yang berada di lingkar lenganku. Kakiku terus berjalan mengikuti pria paruh baya yang ada di depan, namun mataku sama sekali tak lepas menatap ke arah sekeliling rumah. Kebun yang ada di depan rumah saja terlihat sangat mewah, mewah sekali.
Hingga kami sudah sampai di depan pintu jati berwarna putih yang begitu besar.
"Neng, nanti masuk saja ya, soalnya mamang mau jaga didepan dulu." Jelas Satpam itu yang aku angguki.
"Tapi mang, kok rumahnya sepi ya?" Tanyaku mencegah Mang Satpam itu untuk pergi. Aku juga melihat keadaan rumah yang terlihat sepi dan cahaya lampu juga tidak terang.
"Oh, memang biasa begitu. Dirumah ini, cuman den Alvi aja yang tinggal, itupun den Alvi jarang dirumah, lebih suka keluar."
Aku membulatkan mulutku, lalu muncul satu pertanyaan dalam benakku. Dimana orang tua Alviano?
"Iya mang, terima kasih udah dianterin." Aku membungkuk untuk mengucapkan terimakasih. Memang sudah adatnya seperti itu kepada yang lebih tua.
Aku memilih menghiraukan pikiranku, tidak perlu ikut campur masalah orang lain, masalahku saja masih banyak, apalagi ditambah pertanyaan seperti itu.
Pak Satpam yang tidak ku ketahui namanya itu tersenyum membalas. Ia pun berjalan untuk kembali ke tempatnya tadi.
Aku tetap saja menuju masuk. Mengetuknya terlebih dahulu sebelum mengucapkan salam.
Ceklek.
"Assalamualaikum,"
Aku masuk. Suasana yang ku tangkap pertama kali adalah sepi dan tidak ada pencahayaan sama sekali. Hingga kejutan besar menerjangku.
Byurrr!!!!
"Alvianooo!!!!"
×××××××××
KAMU SEDANG MEMBACA
Rival
RomanceMereka kerap kali berdebat dan bertengkar. Pertengkaran yang tak pernah usai ketika di masa sekolah dasar dulu, hingga takdir harus membawa Alessia untuk bertemu dengan Alviano, yakni rivalnya sendiri. ---- Saat menginjak kelas sebelas, entah menga...