38. Kami dan Kasmaran

62.8K 5.9K 207
                                    

“Kami dan Kasmaran”

•••••

Hari ini agenda mereka adalah berkunjung ke rumah kakak tertua Andien, Rion. Katanya sih, lokasinya tidak begitu jauh dari rumah orang tua Andien. Sekitar tiga puluh menit waktu tempuh.

Di sana juga, ada Eyang Andien. Eyangnya sudah beberapa hari menginap di rumah Rion menurut informasi dari sang mama. Eyang Andien itu memang sangat senang menginap di rumah Rion dan juga Jian, alasannya? Karena ada cicitnya di sana.

Malah terkadang saat masa menginap di rumah Rion sudah habis, beliau enggan pulang ke rumah dan langsung meminta diantar ke rumah Jian untuk mengunjungi cucu dan cicitnya yang lain.

Walau usianya sudah sangat tua, tetapi Eyang Andien itu nampak lebih muda dari usianya, masih senang kesana-kemari, hanya saja kalau ke Jakarta ikut menjenguk Andien tidak akan diperbolehkan karena jarak yang jauh.

Eyangnya juga belum tahu kalau Andien sudah tiba di Jogja. Kalau tahu, pasti dia sudah kembali untuk menyambut cucu paling bontotnya itu.

Ada banyak kenangan dengan sang Eyang, banyak juga cerita yang Eyangnya turunkan padanya terlebih lagi soal Eyang kakungnya yang sudah meninggal dunia sebelum Andien lahir. Saat itu Eyang putrinya banyak menceritakan hal-hal yang sekiranya perlu Andien tahu.

Andien juga masih ingat, walau sudah lama sekali, hari dimana ia awal masuk TK. Menangis sejadi-jadinya karena tidak mau ditinggalkan orang tuanya selama jam pelajaran, papanya harus kerja sedangkan mamanya yang saat itu belum resign dari pekerjaannya juga memiliki tugas yang sama, bekerja.

Jadi semasa awal TK, Eyangnya yang selalu menunggu Andien sampai jam pulang. Cepat, hanya sampai jam sepuluh, tetapi bagi si kecil Andien saat itu merupakan waktu yang sangat lama. Pulang dari TK Eyangnya selalu mengajaknya naik angkot, berhenti di pasar untuk membeli printilan anak-anak sebagai upah karena Andien sudah tidak menangis lagi setiap tidak ditemani papa atau mamanya.

Hari-hari berlalu, sampai akhirnya Andien terbiasa tidak ditemani lagi semasa TK, baik oleh orang tuanya maupun Eyang. Terkadang ia akan pulang bersama dengan mama dari teman satu kompleknya yang kebetulan juga bersekolah di sana. Kadang juga Rion atau Jian yang menjemput, papa dan mamanya terbilang jarang.

Masuk Sekolah Dasar, Andien semakin berani. Pulangnya naik angkutan yang dibayar perbulan untuk mengantar-jemput anak-anak satu komplek, terkadang berangkat dengan angkutan itu tetapi juga bisa dengan orang tuanya. Tidak dengan Rion dan Jian karena mereka naik motor berdua saat berangkat ke sekolah mereka dan arahnya berbeda dengan sekolah Andien.

Andien kecil adalah anak-anak pada umumnya, sampai beranjak dewasa pun dia masih seperti orang-orang pada umumnya. Yang tidak umum hanyalah kehadiran Dirga.

“Di belakang nak, temenin mamanya itu lho.” Tepukan di pundak Andien membuatnya memutar tubuh.

Niat hati duduk di depan bersama dengan Dirga yang hari ini akan menyetir mobil membawa keluarga kecil itu ke rumah Rion. Tapi apa daya, papanya berkehendak lain.

Andien masuk melalui pintu kiri dan duduk di sebelah mamanya yang tersenyum lebar. Mengulurkan tangan untuk mengusap puncak kepala anak bungsunya.

“Eyang pasti seneng banget nanti liat Andien. Udah maksa-maksa mama suruh kamu pulang.”

Andien memeluk mamanya dari samping, ia mengangguk sebelum menjawab, “Andien nggak sabar ketemu Eyang super itu, masih aja kuat kesana-kesini.”

Sementara Andien sibuk mengobrol kecil dengan namanya, di depan sana Dirga dan Fatir justru belum ada yang membuka suara walau sudah beberapa menit mobil melaju di sepanjang jalan besar.

[6] Stop, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang