[ 08 ; Is It Really Over? ]

13 1 0
                                    

Aku menghela nafas sangat berat. Catat, sangat berat. Pertama kalinya ruangan ber AC tidak bisa membuat udara disekitarku sejuk, aku bisa merasakan suasana penuh kesuraman.

Pikiranku berkecamuk dengan kenyataan klub bunuh diri tidak pernah akan kembali. Dan juga, Dazai-sensei tidak bisa kulihat lagi. Aku mengambil nafas panjang kemudian menghembuskannya secara kasar, apakah aku masih menghirup udara di daerah yang sama dengan Dazai-sensei, ah, maksudku, Dazai-san.

Apakah aku masih harus memanggilnya dengan sebutan Sensei? Lagipula, pria berperban itu bahkan menyatakan bahwa ia tidak menjabat gelar guru lagi.

Kenapa tiba-tiba?

Keningku berkedut, memikirkan hal yang terjadi seharian ini membuat kepalaku terasa menyakitkan. Aku masih diselimuti pertanyaan mengapa Dazai-sensei tiba-tiba keluar sekolah, padahal jika ada guru pensiun atau mengundurkan diri pasti pemberitahuan sampai ke telinga murid, serta pidato singkat dari guru berkenan.

Aku memandang sekeliling, melihat keadaan kelas tampak kosong nan sunyi, sinar matahari sore menembus jendela walaupun akan tenggelam beberapa saat lagi. Aku benar-benar tidak bergairah, apalagi dengan mood yang cukup kacau.

Kupasang earphone di kedua telinga, membuka aplikasi Spotify dengan tujuan ingin menenangkan diri kemudian menghela nafas berat, aku menggulir aplikasi dengan dominasi hitam hijau tersebut, namun kegiatanku berhenti saat melihat sesuatu yang membuatku dongkol.

Untuk kamu yang sedang bersenang-senang hari ini

Aku berdecak kesal.

Berseneng-senang bapak lo pake baju Golkar bolong-bolong.

Aku mendengus jengkel, memutar lagu pada playlist kesayangan lalu menenteng tas. Astaga, berat sekali, apakah tas ini punya banyak dosa? Aku tidak menggubris, lebih memilih memasukkan ponsel ke saku dan melangkah pergi dari kelas.

Aku berjalan dengan pikiran berkalut. Aku mengigit bibir cemas, padahal sejak kelas sebelas aku sudah berencana ingin mengungkapkan perasaan saat lulus nanti, namun takdir tidak mengizinkannya. Aku frustasi, bahkan ingin melihat pria bernama Dazai Osamu itu saja tidak memungkinkan.

Dia ada dimana? Apa yang dia lakukan? Mengapa Tuhan menjauhkan ku darinya? Semakin kupikirkan, kepalaku semakin terasa sakit. Aku tidak peduli dengan Dazai-sensei, ralat, Dazai-san menganggapku apapun, lagipula tujuanku hanya untuk melegakan hatiku dengan rencana itu.

Ratusan kalimat yang sudah kuhafalkan sia-sia begitu saja untuk kelulusan nanti didepan Dazai-san. Sungguh, aku tidak menginginkan apapun, aku hanya merasa bahagia bisa melabuhkan hatiku pada lelaki yang jauh lebih tua.

Maksudku,

Mengapa tiba-tiba?

Apakah aku bisa terbiasa tidak merasa aman dia masih dalam jangkauanku? Apakah aku akan terbiasa tidak melihatnya lagi?

Kenapa rasanya hatiku begitu kosong? Walaupun aku memang jarang melihat Dazai-san, tapi setidaknya aku tahu aku pasti melihatnya suatu saat. Setidaknya, aku punya zona aman itu merasa tidak terpisah olehnya karena dia ada dalam jangkauan penglihatanku.

Aku juga mengikuti klub bunuh diri awalnya untuk bisa memiliki kesempatan melihat Dazai-san, anggota klub itu dulu juga ada puluhan siswi dengan tujuan yang sama denganku, kan? Walau mereka berakhir muak karena kedatangan Dazai-san bisa dihitung jari, hingga tersisa aku seorang.

Mengapa? Mengapa? Kenapa?

Bruk.

"Hey, perhatikan jalanmu!"

Sebuah teriakan kencang membuatku seketika tersadar dan terlonjak kaget melihat apa yang ada didepanku.

Ranpo-sensei?!

Suicidal Lessons ; Dazai Osamu x Reader [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang