Apa Adanya

93 19 8
                                    

Sepasang suami isteri paruh baya dan seorang wanita tua berkumpul di dalam kamar Lesti. Mereka mengelilingi tubuh yang tak berdaya itu dengan tatapan sedih. Sosok yang begitu kuat dan mampu menghajar lawan dengan modal gelar "Dan 5" karate itu bahkan tak bisa sekadar mengangkat kedua kelopak matanya.

"Kamu benar - benar keterlaluan Idhan. Mama kecewa sama kamu. Mama pikir masa lalu kamu yang begitu kejam gak akan kembali seperti ini. Karena itu mama ijinkan kamu kembali sama Lesti. Tapi apa? Apa yang kamu lakukan?."

"Ma sudah."

Pandangan Tuan Adam sang Papa mertua Fildan beralih kepada Nyonya Nurma yang sedari tadi diam di kursi dekat meja rias. Wanita tua itu terus memandangi empat orang dengan berbagai keadaan itu. Seolah tak ingin ikut campur. Karena memang ia sudah memperkirakan hal ini. Bahkan yang ia perkirakan jauh lebih buruk, mengingat basic keluarga Adinegara yang memiliki banyak rival akibat persaingan bisnis.

"Kamu sudah memberikan pengobatan terbaik kan Tuan Muda?," tanya Nyonya Nurma.

Fildan menoleh sekilas lalu mengangguk.

"Ya sudah. Itu sudah tanggung jawab."

"Ma, cucu mama satu - satunya koma karena ulahnya."

"Rahma, cucuku itu bersatu pertama kali dan kembali setelah berpisah juga atas ijinmu. Karena kamu mencintai menantumu sebagaimana mencintai anak kandungmu sendiri, bukan?."

Nyonya Rahma menunduk, menyadari apa yang dikatakan sang Mama adalah benar. Dialah yang meyakinkan Lesti untuk menikah dengan Fildan. Pun dia pula yang memberi ijin untuk Lesti kembali pada Fildan setelah satu tahun berpisah.

"Tapi bukan tujuannya ini, Ma. Aku mau puteriku bahàgia. Bukan tersiksa lahir dan bathin," sanggah Nyonya Rahma.

"Kenyataannya dia bahagia Rahma. Kamu tidak perlu berbohong, beberapa waktu terakhir Lesti sering mengabari dengan wajah yang penuh kebahagiaan saat menceritakan tentang Idhan. Kamu ibunya, kamu pasti bisa merasakan bagaimana perasaan puterimu."

Lagi - lagi Nyonya Rahma terdiam. Hati kecilnya membenarkan perkataan sang Mama. Lestinya memang selalu penuh semangat menceritakan tentang menantu kesayangannya. Meski mereka hanya berbicara melalui video call karena Lesti semakin sibuk dengan tugasnya di Adinegara Group.

"Tapi lihat keadaan puteriku, Ma."

"Itu sudah resiko yang anakmu terima Rahma," putus Nyonya Nurma seraya mendekati Fildan yang sedari tadi hanya diam mendengarkan para tetua berbicara.

"Aji Bayu pasti sudah memperhitungkan semuanya. Sehingga meminta dengan sangat kepadaku agar Lesti menjadi pendampingmu."

Fildan mendongak ketika puncak kepalanya diusap sayang Nyonya Nurma, perasaan asing yang tidak pernah ia rasakan lagi sejak kecil itu muncul.

"Permisi," ujar Fildan menepis tangan Nyonya Nurma di kepalanya. Fildan tidak mau terlarut dengan kasih sayang siapapun.

"Tidak perlu berbaik hati padaku," sambungnya dengan tatapan elang khasnya.

"Dasar anaknya Aji Bayu."

Nyonya Nurma tertawa kecil lalu beralih ke ranjang cucu semata wayangnya, "nenek sudah pandiri pian resiko mun pian menjadi bini Aji Fildan. Dan pian bapandir kalau pian siap dengan itu semua. Ya sudah, nenek percaya lawan pian nak ae. Lakas bangun. Laki pian butuh pian. Jangan sampai inya mencari bini lain mun pian guring tarus. (Nenek sudah bicara ke kamu resiko kalau kamu menjadi isteri Aji Fildan. Dan kamu bilang kalau kamu siap dengan itu semua. Ya sudah, nenek percaya sama kamu nak. Cepat bangun. Suamimu butuh kamu. Jangan sampai dia mencari isteri lain kalau kamu tidur terus.)"

YANG TERSAYANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang