Bab 1 - Whip Anger (Rev. Ver)

14.6K 270 3
                                    

Author's note:
Holla. Cerita ini author revisi, ya. Akan banyak perubahan di setiap bab revisi, tapi beberapa adegan juga tidak diubah. Latar tempat cerita ini di London, Inggris.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"Argh!"

Jerit derita, menggema di ruang gelap tanpa jendela. Pasrah suara tangisku, kala ke sekian kali pecut mencambuk ragaku yang sudah tak berdaya. Dinginnya lantai pun menembus kulitku, hanya bisa tengkurap sambil meraung-raung, tanpa diizinkan menyelimuti tubuh yang menggigil dengan pakaian layak.

Kedua pergelanganku terbelenggu tali, begitu kuat mengikat di belakang. Aku seperti disekap. Mirisnya, ini bukan kali pertama dalam hidupku. Bahkan dilakukan oleh orang yang sama. Selalu, kata-kata maaf yang berulang kali meluncur di bibir.

"Kumohon hentikan!" Serak, kering sudah tenggorokanku digerus air mata. Basah wajahku, menyertai perihnya kulit yang terluka. Memerah di sekujur tubuh. Sudah pasti esok pagi akan menghiasi lagi. Lengkap dengan lingkaran hitam di bawah mata yang membengkak.

Ia berjongkok. Daguku diangkat, merasakan dingin jemarinya saat memaksa mata kami bertemu. Belum kulihat belas kasihan dari sorot setajam belati itu. Kilat kemarahan masih menyala. Kegeraman menggertakkan rahang tegasnya.

"Cecillia Jaromir. Inilah hukuman bagi gadis nakal yang suka bermain dengan pria lain." Seperti pengumuman, kata-katanya menyatakan dengan tegas. Mengintimidasi dengan sadis.

Memohon pengampunan aku menatapnya. Memelas adalah cara yang bisa kulakukan sekarang. Sekilas, usapan jarinya menghapus air mataku yang menganak sungai.

"Aku suka kau menangis karenaku."

Bukan empati, bukan pula pujian, justru kesenangan atas derita gadis yang menyandang sebagai adik. Seutas seringai iblis menyertai kata-kata yang terucap. Mata elangnya mengamati wajah sembabku. Ada sepercik kasihan dari caranya menatap.

"Kau sudah tahu, kalau aku tidak suka dilanggar. Namun kau tidak mendengarkan. Maka nikmati akibatnya." Ancaman nyata telah terbukti. Aku tahu. Egoku memberontak saat itu, demi masa depan cerah, tanpa tahu akan berakhir menyedihkan di ruang gelap ini.

Ia beranjak ke sudut meja. Melodi kesukaan berputar dari sana. Gesekan biola terdengar mendayu-dayu begitu menyayat keadaanku, lalu masuk denting piano not rendah seolah melengkapi suasana mencekam.

Anggur merah yang dituangkan, mengalir lembut dari botolnya memenuhi setengah gelas kaca, menjadi teman setia Carlo ketika hatinya membaik. Syukurlah, dengan begitu ia bisa diajak bicara.

Terjerat Hasrat Dua Kakak Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang