Bab 7 - Mini Bar

2.3K 117 4
                                    

"Aku tidak tahu ternyata kau puteri pemilik perusahaan impian para mahasiswa di kota ini. Sampai-sampai kami harus bolak-balik dan ditendang keluar dari berbagai perusahaan hanya untuk melamar magang." Sindiran halus langsung menyambutku. Dinginnya embusan angin di atap taman gedung, tidak sebanding dengan dinginnya lirikan Olivia padaku.

"Olivia, Roma..." Posisiku sulit untuk menjelaskan alasan logis. Olivia dan Roma sudah terlanjur kecewa padaku.

"Kenapa kau tidak mengatakannya sejak awal?" desak Olivia lagi.

"Apa kau tahu? Semua karyawan di sini memuji-mujimu. Mereka berusaha terlihat baik di depanmu. Sedangkan kami berdua di sini seakan terasingkan." Olivia meledak. Tatapan kecewanya menghujam diriku yang hanya bungkam.

Aku tertunduk. Sungguh aku tidak tahu kalau berakhir seperti ini. "I'm so sorry..." Bingung bagaimana harus menjelaskannya pada mereka. Tapi jika dipikirkan lagi, hal ini terjadi karena egoku. Menyembunyikan fakta tentang latar belakang keluargaku, yang jika digunakan mungkin kami tidak akan susah payah mencari tempat untuk magang, karena sudah ada hak privilege.

"Kau anggap apa persahabatan empat tahun kita? Aku benar-benar kecewa padamu, Cecillia," tekan Olivia. Matanya memerah. Amarah tertuju padaku.

Aku sadar dan paham mengapa ia sampai marah karena hal seperti itu. Persahabatan kami sudah seperti saudara. Namun, aku masih menjaga jarak darinya bahkan dari siapapun di dunia ini, enggan membagi curhatan pribadi tentang masalah di rumah padanya. Sementara Olivia sangat terbuka padaku. Maka kejadian ini menjadi tidak adil baginya.

"Cecillia pasti punya alasannya sendiri dengan tidak menceritakannya pada kita," timpal Roma.

Olivia mendengus, melempar pandangan ke kejauhan pemandangan kota. Tiupan angin sedikit mengacaukan rambutnya.

"Olivia, aku minta maaf. Aku terlambat memberitahumu," bujukku.

"Aku memang tahu kalau kau punya saudara. Aku juga sering melihat Carlo mengantar jemputmu ke kampus. Tapi tidak dengan latar belakangmu yang sekaya itu! Wah, aku tak bisa membayangkan sebesar apa rumahmu. Enak juga ya jadi anak konglomerat, bisa bebas melanggar janji," tandasnya, tepat sasaran. Aku baru saja mengkhianati janji makan siang bersama mereka hari ini saat keburu ditarik Carlo pergi.

"Olivia, Roma, aku minta maaf tak bisa memenuhi janji itu. Itu di luar kuasaku. Saudaraku sangat pemaksa. Tolong mengertilah," pintaku memohon, sampai harus mengambinghitamkan Carlo. Malah, Carlo memang patut menjadi kambing hitam pertengkaran kami.

Terlihat pundak Olivia naik saat ia menarik napas dalam. Lalu kembali berputar badan menghadapku. "Aku memaafkanmu jika kau membayar hutang cerita padaku," tuntutnya. Aku tergagu. Bagaimana aku akan menceritakan alasannya, bahwa aku ingin menjauh dari Carlo karena kegilaannya?

Tapi untuk sekarang, aku harus mengiyakannya dulu. "Baiklah..." finalku.

Jeda sejenak. Kami bertiga saling diam memandang perkotaan dari atap gedung.

"Ngomong-ngomong..." Olivia memulai. "Tadi siang pertama kalinya aku melihat saudaramu sedekat itu di mataku. Biasanya aku hanya melihatnya dari mobil dan sekilas lalu. Ternyata kalian terlihat mirip," komentarnya.

***

Kata-katanya berputar di kepalaku. Membuatku dengan penasaran mengamati wajah Carlo yang sedang menyetir. Carlo memiliki rahang tegas dibalut rambut halus yang ditata rapi. Pipinya tirus. Bibirnya sedikit tebal, terkesan sexy menuruni garis bibir mom. Alisnya tebal dan panjang, sama dengan bentuk alis dad. Satu-satunya yang mirip denganku hanya di bola matanya. Kami mempunyai iris sama, yaitu warna honey cerah.

"Kenapa kau terus menatapiku?" Suaranya mengejutkanku. Aku berkedip dan berpaling menatap ke depan lagi.

"Hanya menganalisa kemiripan wajah kita, ternyata kita benar-benar mirip," jawabku tak berbohong.

"Apa kau berharap kita bukan bersaudara?" tembaknya membulatkan mataku.

"Kenapa kau berpikir begitu!" elakku. "Itu tidak benar. Aku senang mempunyai dua saudara. Bagaimana pun kalian memperlakukan aku, aku tetap menyayangi kalian sebagai saudaraku." Tulus dari hati kata-kata itu terucap mulus dari bibir.

"Aku tidak senang mendengarnya," bisik suara Carlo setelah beberapa detik kami diam, yang mana memalingkan tatapanku ke arahnya. Kutatap ia yang melihat lurus. Meskipun tadi terdengar melirih tipis nyaris hilang, aku masih dapat menangkap kalimatnya.

Gurat kesedihan terlihat di wajah tegas Carlo. Ia menarik napas dalam-dalam, matanya bergulir gelisah sembari membelokkan stir. Aneh memunculkan tanda tanya di kepalaku. Sikap Carlo seringkali berubah-ubah. Terkadang ia kasar, pemaksa dan semaunya sendiri, terkadang pula matanya menyimpan kesedihan serta luka. Namun aku tak pernah tahu apa yang sedang ia pikirkan.

Tak pernah juga aku mendengar cerita tentang keluhannya hingga kisah asmaranya. Seumur-umur pula tidak pernah melihat ia mengekspresikan kesenangannya selain raut datar nan sedingin kulkas itu. Yang sering kulihat hanya air muka kemarahan kepada diriku.

Tidak terasa, kami akhirnya tiba di kediaman pribadi keluarga. Teringat lagi ucapan Olivia, nyatanya rumah kami tidak sebesar yang ia bayangkan.

Rumah kami tidak memiliki halaman yang luas. Begitu masuk gerbang, hanya berjarak beberapa meter sudah tiba di garasi mobil. Hanya saja konsep bangunan klasik memberi kesan mewah pada desain rumah berlantai dua.

Aku keluar dari mobilnya setelah parkir di garasi. Beberapa koleksi mobil lain hanya menjadi pajangan garasi. Aku mendengus acuh. Dari semua kendaraan itu, tak satu pun ada yang menjadi milikku.

Bukan karena dan atau mom tidak membelikannya satu untukku. Namun karena pengaruh dari Carlo yang melarangku menyetir mobil sendirian.

Sejenak langkahku terhenti di depan kamar Cedric. Pintu putih itu selalu tertutup, dan pemiliknya hampir jarang terlihat di sekitar rumah.

"Cedric.... Aku hanya ingin akrab denganmu."

Teringat lagi kejadian sewaktu di kamar hingga ia mengusirku, aku harus bicara dengannya dan memperbaiki hubungan yang hampir terjalin. Tak ambil pusing lagi, aku berputar arah, berlari menuruni anak tangga dan suara serak menghentikanku seketika. "Mau kemana?" Terdengar dari belakang, aku berbalik badan.

Menemukan Carlo menaruh gelasnya di meja pantry, ia berjalan ke arahku. "Aku mau menemui Cedric," ungkapku.

"Cedric sedang sibuk dengan bisnisnya. Kau jangan mengganggunya," tuduh Carlo. Tajam kata-katanya, tak pedulikan diriku yang tertohok. Ia pikir aku pergi untuk mengusik Cedric? Memangnya aku orang macam apa?

"Aku akan menunggu Cedric selesai," kekehku lantas menarik langkah pergi dan menyadari sesuatu mencekal pergelangan tangan.

"Jangan pergi. Temani aku." Suaranya serak, tatapan memohon itu menggoyahkan batinku. Haruskah aku menurutinya?

Pertimbanganku tidak berlaku untuknya, ketika ia mendapat panggilan telepon lalu aku mendapat kesempatan untuk pergi. Naik bus menuju tempat kerja Cedric. Tepat ketika turun di halte berikutnya, langit semakin gelap.

Jalanan sepi kutembus seorang diri, melewati jalan setapak gang yang temaram, hingga perjalananku tiba dan berhenti tepat di depan pintu yang memiliki papan LED bertuliskan Lupin terpampang di atasnya.

Membuka pintunya, aku melangkah masuk. Menyapukan pandangan ke penjuru ruangan remang-remang mini bar.

***

Terjerat Hasrat Dua Kakak Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang