Bab 3 - Mine

5.4K 192 4
                                    

[Flashback]___

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Flashback]
___

"Who is she!!!"

"Dia hanya teman kerjaku."

Teriakan galak menghentikan kakiku masuk ke rumah. Selesai sekolah langsung ke tempat les, pulang-pulang menjelang malam, dan seketika disambut perdebatan mom dan dad di ruangan.

Hampir sering kudengar perdebatan mereka berdua yang diam-diam kuperhatikan dibalik celah pintu. Lalu dengan tertunduk lesu, kuseret langkah menuju kamar. Tidak ada yang pedulikan aku di rumah. Dad dan mom sibuk bertengkar hampir setiap hari, kedua kakakku juga belum pulang dari sekolah.

Kalender di meja belajar menjadi pengingat, lingkaran merah di tanggal itu merupakan angka sakral dalam sejarah kelahiranku, dan angka itu jatuh pada hari ini. Tepat hari di mana aku lahir dengan penuh cinta dari perut mami.

Cinta? Aku tak percaya apakah kelahiranku dicintainya atau menjadi petaka mereka.

Tak ada sambutan selamat ulang tahun apalagi kejutan dengan taburan kertas mika. Tidak ada kue ulang tahun yang disiapkan khusus untukku. Hari ini sama dengan hari-hari biasanya. Tidak ada yang berubah sama sekali dari kami.

Sedih menghampiri hatiku kala anak-anak lain diberi kado di hari ulang tahunnya, sementara aku terdiam di kamar sendirian.

Prang!

Sontak mataku terpejam kaget. Pecahnya benda, membelah konsentrasiku seketika. Kututup buku tugas, lalu menekan kedua telinga dengan telapak tangan. Suara keras dan bentakan mereka, tak hentinya mengagetkan detak jantungku, hingga sepaket ketakutan menjadi hantu tak kasat mata yang mengguncang jiwa.

Kapan mereka akan berhenti?

Aku takut sekali...

Tak betah hati tinggal di rumah lebih lama, seribu langkah kupacu pergi keluar rumah. Tak ada yang peduli, tak sudi aku kembali. Kemewahan rumah bukan ciri kebahagiaan penghuni, panasnya api pertengkaran sering menghiasi hari-hari kami.

Terkadang ingin kabur, tapi kemana? Menginap di rumah teman, pun masih menjadi tanggungan orang dewasa. Menggelandang di jalanan bukan pilihan bagus. Sebab aksi penculikan dan pedofilia menjadi ancaman.

Akhirnya aku hanya bisa terdampar di taman rumah perkomplekan. Lampu-lampu perumahan cukup menerangi jalanan yang gelap. Kesunyian mengelilingi ragaku yang berayun-ayun sendirian.

Jendela rumah orang lain di depanku justru menampilkan pemandangan yang mencengkram hati, di mana sebuah keluarga utuh tampak akur menikmati makan malam mereka, sebelum tirainya ditutup begitu tahu ada yang memperhatikan.

Kepalaku jatuh tertunduk lesu. Hampa pikiran menjadi bahan empuk rayuan iblis, hingga membawa anganku pada urat nadi di tangan. Sejenak otakku berbisik, tak ada yang menyayangiku, tak ada yang peduli aku hidup atau mati. Jadi, untuk apa---

"What are you dreaming about?"

Suara anak laki-laki, membuyarkan pikiranku. Aku mendongak. Usianya dua tahun lebih tua dariku saat melihatnya ada di sini.

"Sean..." lirih suaraku menyebut namanya. Sean satu-satunya teman dekatku, berjalan menghampiri.

"Sedang apa kau duduk melamun sendirian di tempat gelap seperti ini?" tegur Sean berhenti tepat di depanku.

Aku menggeleng lemah. Tiba-tiba sepasang tangan terulur, sepotong cake disodorkan, masih rapi di dalam kemasan. "Happy birthday," kata Sean.

"Kau tahu aku ulang tahun hari ini?" tanyaku, berbalas anggukan kepalanya.

"Niatku ingin membeli kue utuh, tapi sudah keburu habis. Akhirnya aku hanya bisa membeli sepotong cake. Ah aku juga membawa lilin dan pemantik." Sean merogoh kantong celana pendeknya, mengeluarkan pemantik dan lilin di telapak tangan.

"Aku hidupkan lilinnya dulu," kata Sean, menancapkan lilin kecil itu di tengah cake lalu menekan pemantiknya, mendekatkan nyala api ke sumbu lilin.

Tak sengaja sudut mataku menangkap gerakan di langit. Sean mengetahuinya juga. "Bintang jatuh, Cecil!" pekiknya.

"Memangnya kenapa dengan bintang jatuh?" tanyaku, dibalas mata membulat Sean menatapku antusias. "Kata orang-orang, kalau kau melihat bintang jatuh, doamu akan cepat terkabulkan. Ayo cepat berdoa!"

Alasan yang pernah kudengar di mana-mana. Tapi tidak ada salahnya mencoba, karena kupikir ini adalah kesempatan yang tidak datang dua kali. Lantas kupejamkan mata dan membuat permintaan saat Sean masih memperhatikan.

"Aku ingin dad dan mom tidak bertengkar lagi. Lalu Carlo dan Cedric menyayangiku," ungkapku.

"Kau mengatakannya secara terbuka?" tanya Sean, membuka mataku lalu menoleh kepadanya. "Memangnya kenapa?" Aku bertanya dengan keheranan.

"Tidak apa-apa, hanya saja berdoa sampai terdengar orang di sekitarmu, agak aneh...." Sean terkekeh hambar, sementara diriku terbengong polos.

"Ya sudah, tiup lilinnya."

***

Aku keluar dari kamar mandi, duduk di depan meja rias dan menghidupkan hair dryer, mengeringkan rambut basahku usai keramas. Selesai merapikan rambut, aku beranjak ke lemari. Berdiri di depan lusinan pakaian mahal.

Ada begitu banyak setelan baju hingga gaun yang menyesaki lemari empat pintu, dan dari semua itu hampir tidak satu pun baju yang kubeli sendiri. Semuanya dipilihkan dan dibelikan oleh Carlo tanpa persetujuan dariku dulu.

Carlo selain kasar dan tak berperasaan, juga semaunya sendiri. Ia mengontrol diriku. Tanpa sanggup aku menolaknya selama masih bisa diterima, kecuali kejadian semalam! Itu di luar kuasaku.

Kutarik napas dalam dan mengembuskan. Pandanganku jatuh pada blouse biru langit yang dipadu celana jeans ketat. Dua potong pakaian yang simpel, sopan serta tidak menonjol.

Baiklah. Lantas kulepas simpul jubah mandi, melepaskannya dari pundakku hingga meluncur turun ke bawah kaki. Kukenakan pakaian pilihanku, setelahnya kemudian menutup pintu lemari, dan seketika tercekat.

Membeku tubuhku, nyaris copot jantungku dari tempatnya, melihat Carlo bersandar di tembok sambil melipat lengannya di bawah dada. Ia memperhatikan aku dari sana, dengan segaris bibir tipisnya mengukir senyuman.

"Se-sejak kapan kau di kamarku?" Di luar dugaan. Padahal pintu selalu kukunci dengan benar. Bahkan aku saja belum sempat keluar kamar setelah terbangun dan langsung mandi. Tapi mengapa Carlo bisa menerobos masuk?

Benda kecil tiba-tiba meluncur dari jemari Carlo. Bergemerincing dengan seringaiannya, ia menunjukkan kunci di depan mataku. "Aku memiliki kunci cadangan," katanya seolah membaca pikiranku.

Matanya yang tajam, bergerak menilai penampilanku dari atas ke bawah. Aku berdiri kaku, karena tatapannya kepadaku seperti sedang menelanjangi. "Pilihan yang bijak, my little sister," komentarnya.

"Ayo kita pergi."

"Tunggu!" tahanku sontak menghentikannya pergi. Mendadak jantungku berdebar kencang. Keberadaannya di kamar, mengundang hawa panas yang mengintimidasi. Sial. Seharusnya mulutku tidak mengatakan itu.

"Ada apa?" Ia berbalik badan.

Aku menelan ludahku. "Sejak kapan kau sudah di kamarku?" tuntutku saat berusaha berpikir sehat.

"Sejak kau memilih baju," jawab Carlo, meruntuhkan positif thinking-ku dalam sekejap. Artinya ia melihat tubuh setengah telanjangku?

"Apa kau pikirkan? Jika aku melihat tubuhmu memangnya kenapa?" Suaranya dekat. Tepat berdiri di depanku. Bicara tanpa memedulikan bagaimana rasa maluku saat ini. Hingga jemarinya mengangkat daguku mendongak, mempertemukan mata kami dengan iris serupa.

"Tubuhmu hanya milikku, dan hanya aku yang boleh melihatmu telanjang," klaimnya tegas, menghantarkan getaran serak hingga meremang bulu romaku.

***

Terjerat Hasrat Dua Kakak Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang