Bab 2 - It's So Hard

7K 209 14
                                    

***"Bagaimana dengan kegiatan di kampusmu?" tanya Sean

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***
"Bagaimana dengan kegiatan di kampusmu?" tanya Sean.

"Aku masih mencari tempat untuk magang untuk memenuhi syarat tugas akhir...."

"Kenapa tidak di kantor ayahmu saja?" Pertanyaan yang sangat wajar terucap dari sahabatku.

"Aku tidak ingin bertemu dengan Carlo di sana," cicitku.

Sean menarik napas dan mengembuskan. "Sekantor dengannya bukan berarti sering bertemu," katanya.

"Memangnya di kantormu tidak ada lowongan untuk anak magang?" Setengah putus asa sampai meminta bantuannya.

"Tidak mungkin seorang direktur perusahaan tak punya lowongan kecil barang untuk jadi pelayan pun," desakku, merayunya dengan sindiran. Kalau ia sahabatku, pasti bisa meloloskan aku untuk bekerja di kantornya. Nepotisme. Ia juga bisa mendapat jabatan itu di usia muda karena ayahnya sang bos besar.

"Sayangnya tidak ada, Cecil. Maaf...." Sean tertunduk. "Kalau saja aku bisa, aku pasti sudah lama membantumu bekerja di perusahaan ayah." Alasan kata-katanya, membungkam lisanku.

"Huh. Pelit." Aku cemberut.

"Bukan begitu, Cecil," elak Sean buru-buru. "Hanya saja..." Kalimat yang digantung, mendesak kepoku, hingga gelengan lemah menjatuhkan harapanku. "Untuk saat ini sudah penuh dengan anak magang lain," tandasnya menegaskan.

Aku menarik napas dalam. Mengembuskan dengan pasrah. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain terus melamar pekerjaan, lalu wisuda dan mencari pekerjaan di luar sana agar bisa terbebas dari rumah terkutuk itu.

***

Berpisah dengan Sean dari restoran, langkahku menyusuri trotoar. Melambaikan tangan guna menyetop taksi, satu persatu sedan biru melaju acuh, melewatiku yang mengharap tumpangan pulang. Dibawah terik mentari, embusan angin membawa pandanganku ke jalanan. Mercedes hitam yang kukenal, muncul di saat aku tak ingin bertemu. Persis berhenti di depanku.

Perawakan tegapnya keluar, membanting pintu. Ia berjalan menghampiri diriku yang seketika berbalik, berniat pergi dengan seribu langkah, hingga cekalan kuat di pergelangan berhasil menjegal kakiku. Aku menengok dengan takut-takut.

"Pergi kemana saja siang-siang bolong begini? Masuk ke mobil!" titah sang raja tidak boleh dibantah harusnya, tapi lidahku berjuang mengutarakan isi otak yang memberontak.

"Tidak mau! Aku mau pergi sendiri!" Entah keberanian datang dari mana, sampai menolaknya. Apa karena ini di tempat umum, sehingga tidak memungkinkan Carlo berbuat jahat?

Terjerat Hasrat Dua Kakak Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang